Senin, 04 Januari 2010

TEMAN DEKAT LAINE


Lia F namanya. Ia adalah teman dekat Laine semenjak menjadi Siswi baru di SMA Cempaka. F adalah singkatan dari Fitriana, dan ia lebih suka ditulis atau dipanggil Lia F saja. Kedekatan mereka nampak jelas ketika mereka sesering mungkin jalan bersama. Makan di kantin bersama, ke perpustakaan bersama, hingga mau izin ke WC pun ketika sedang pelajaran berlangsung bersama. Lia F dan Laine ibarat kedua kakak beradik yang rukun. Kerukunanya semakin erat ketika setiap masalah yang ada dalam Lia F maupun Laine saling diutarakan. Seperti hari ini, ketika semua teman-teman belum datang dan masuk ke kelas, Lia F sudah berada di kelas sambil menunggu Laine.
“Laine . . . cepat datang ke kelas! Ada yang ingin aku omongin niiih . .” tutur Lia F tak sabar ketika ia menelfon Laine. Sedangkan Laine masih kucek-kucerk mata.
“Emmm A-p . . . apa? apa kamu bilang . . . datang . . .?” tanya Laine sambil menguap. Pagi itu sudah pukul enam, dan Laine baru bangun karena malamnya ia membaca Harry Potter hingga pukul tiga dini hari.
“Weeei Laine bangun dooong! Pokoknya aku tunggu lima belas menit lagi di kelas titik.” bentak Lia F dalam telfonya hingga Laine terhenyak mundur ke belakang.
“Aduuuh ya . . . ya aku akan datang” tutur Laine kemudian sambil bangkit dari tempat tidur, lalu langsung melakukan mandi bebeknya. Ia memakai seragamnya dengan super kilat . . . seakan pesawat terakhir yang akan membawanya ke Silicon Valley hampir tinggal landas. Silicon Valley adalah negara bagian yang diidam-idamnya. Tanpa sarapan dulu, Laine langsung menggas sepeda motornya ke sekolah di SMA Cempaka.
Laine sudah mengetahui sifat teman dekatnya yang sering cudes dan tiba-tiba marah. Ya . . . begitulah ciri khas Lia F, bila ada masalah ia akan bercerita pada Laine. Hanya kepada Laine-lah ia dapat mengutarakan isi hatinya dengan leluasa. Laine selalu menjadi pendengar yang baik yang sesekali memberikan solusi yang menurutnya logis.
Dengan napas ngos-ngoson, ibarat seorang pelari sprint jarak 100 m Laine memasuki kelas.
“Terlambat tiga puluh menit . . .” todong Lia F langsung sambil menampakkan muka cuteknya.
“Aduh Li . . . maaf aku tadi bangun kesiangan terus ak . . .
“Cukup . . .”potongnya kemudian. Terus tiba-tiba ia menangis dengan sesenggukan.
“Li . . . maaf, Aduh aku tidak sengaja sungguh, Ak . . Aku tadi malam tidur jam tiga pagi. Tadi Aku sudah ngebut dan aku juga tidak sarapan biar gak makan waktu banyak. ta-tapi aku terlambat maaf Li !” tukas Laine kemudian seakan tangisannya disebabkan karena keterlambatan Laine.
“Aku benci Laine . . . aku benci sama dia! Tidak punya perasaan dan egois . . .”
“Ha . . . benci? Kamu sedang marah sama siapa?” Tanya Laine kebingungan sambil mengusap-usap bahu Lia F.
“Lita . . . Lita memang egois. Sudah seminggu ia tidak mengembalikan buku kesayanganku. Padahal aku sudah kangen sekali ingin membacanya. Kalau aku bisa membaca buku itu, masalahku di rumah dapat aku alihkan. Huuuh aku benci benci . . .” Oh . . . gara-gara itu too aku disurut berangkat pagi-pagi ampe ngebut dan mandi bebek segala. Batin Laine sambil menghembuskan napas.
“Kamu sudah menghubungi Lita untuk segera mengembalikkan bukumu?” Tanya Laine ingin tahu.
“Sudah ratusan kali. Tapi hpnya selalu pending, apalagi di rumah . . . mamaku semakin sayang aja sama Kak Roby nambah aku sebel . . . sebel” tukas Lia dengan volume high.
“Laine nanti malam aku tidur di rumah kamu aja ya?” pinta Lia F pada akhirnya.
Tidak hanya sekali dua kali Lia F tidur dan bermain di rumah Laine, tapi beberapa kali. Apalagi kalau Lia F sedang ada masalah dengan mama dan kakaknya, tak jarang Lia F curhat pada Laine dan menginap di rumahnya. Mamanya Laine pun tak keberatan. Bahkan mamanya merasa senang bila Laine mendapatkan teman. Dan mamanya Laine tak segan-segan memasakkan masakan kesukaan mereka berdua ketika Lia F menginap di rumah.
Seperti malam ini, ketika sang bulan menampakkan rupanya yang cantik dengan sinarnya yang penuh Lia F menangis sesenggukan sambil mendekap bantal erat-erat di kamar laine.
“Laine . . . tadi siang mama membelikan Kak Roby sepeda motor baru!. . .” tutur Lia F mengawali curhatnya setelah tangisnya sedikit mereda.
Dan seperti biasanya, Lia F akan menceritakan perihal mamanya yang pilih kasih. Mamanya lebih senang memanjakan kakaknya Roby dibandingkan dengan dirinya. Bahkan ia sering mendapatkan marahan dari mamanya bila ia tidak mau mengepel atau sekedar membantunya memasak. Sedangkan kakaknya Roby selalu dibuatkan makanan kesukaannya dan tidak pernah disuruh bekerja. Kerjaannya hanya bermain dan tidur. Sedangkan Lia F harus berusaha menyenangkan mamanya dengan selalu bangun pagi, mencuci piring, menyapu, mengepel dan tak jarang harus menyiapkan sarapan untuk kakaknya Roby. Bagi Lia F, semua pekerjaan itu menjengkelkan dan menjemukan. Apalagi kalau mamanya sedang mengadakan jamuan makan, maka tuntas sudah yang menjadi pembantu tak bergaji adalah dirinya.
Tak hanya di situ saja kejengkelannya pada mama dan kakaknya Roby. Lia F kadang kala tidak diperbolehkan untuk sekedar jalan-jalan di Mall atau Plaza layaknya teman-teman yang lain. Ia seakan di kurung dalam tembok-tembok rumah yang membuatnya gerah. Hanya kepada Laine-lah ia bisa berbagi suka maupun dukanya. Termasuk cowok yang akhir-akhir ini sedang ia taksir.
Kalau sudah ngomongin yang satu ini, Lia F akan berubah menjadi sebuah kuntum bunga yang siap mekar. Dengan senyum yang menghiasai wajahnya. Dillon namanya. Ia adalah anak dari teman dekat papanya yang kemarin ikut serta dalam acara syukuran keluarga. Ketika Lia F sedang sibuk menyiapkan gue-gue di nampan yang penuh dengan minuman . . . Dillon memandangnya dengan tatapan yang membuat hati Lia F menjadi bergetar. Dan semenjak itulah hubungan mereka berdua melebihi sekedar teman biasa.
“Laine . . . masih bolehkan besok malam aku menginap di sini lagi?” tanya Lia F kemudian sebelum mengakhiri curhatnya dan tertidur.
“Ya . . . tentu rumahku selalu terbuka untukmu ” jawab Laine kemudian yang juga sudah mengantuk, karena sedari tadi ia sudah menahan kantungnya dengan mencoba bolak-balik masuk kamar mandi sekedar mencuci muka. Laine adalah pendengar yang baik, . . . hingga ia merasa tak enak diri bila harus tertidur ketika Lia F sedang curhat dengan semangat ’45.
Paginya Laine dan Lia F berangkat ke sekolah bersama, setelah sarapan nasi goreng yang lezat dengan campuran sayur kubis, daun bawang, sosis, jamur dan irisan tipis daging babat buatan mamanya Laine. Laine meminjamkan baju seragamnya untuk Lia F. Laine memang mempunyai dua setel baju seragam, satu untuk dirinya sedangkan yang satunya khusus dibeli untuk dipakai Lia F bila ia menginap di rumahnya. Setiap Lia F menginap ia jarang membawa baju seragam untuk keesokan harinya karena, sepulang sekolah ia langsung ke rumah Laine tanpa mau pulang dulu ke rumahnya hanya sekedar mengambil baju seragam untuk besok.
***
Sesampainya di sekolah mereka langsung masuk ke kelas dan duduk di bangku yang sama. Selama siang itu, Laine berkosentrasi pada deretan jadwal pelajaran yang cukup menyita waktu dan pikiran. Laine pun melihat Lia F sudah melupakan sedikit masalahnya dan mulai hening dengan apa yang sedang dibacanya. Waktu pun terus bergulir hingga bel istirahat yang mengagetkan berdering panjang.
“Laine aku pergi ke kantin dulu ya sudah kepalang keroncongan nih !!!, kamu mau ke Perpus kan? Nanti aku nyusul . . . sampai nanti Laine yang baik” tukas Lia F tanpa sempat menunggu jawaban Laine dan langsung ngacir.
Laine memang sudah mengatakan ketika berangkat ke sekolah tadi pagi, bahwa ia akan pergi ke Perpus untuk meminjam tiga novel sekaligus setelah istirahat nanti siang. Jadi, untuk siang itu Lia F tidak mengajaknya ke kantin dengan alasan Laine mau pergi ke Perpus. Padahal, Laine ingin jajan juga karena perutnya sama-sama menagih, tapi ia ingat akan uang yang harus ia tabung untuk membeli sebuah buku cerita baru dan juga teringat masakan mamanya yang lebih enak ketika ia pulang sekolah nanti.
Laine bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Perpustakaan. Beberapa menit kemudian ia sudah menekuri deretan buku novel dengan berbagai ukuran dan versi. Sedangkan di tangan kirinya ia sudah menenteng dua buah novel dan kurang satu buah novel lagi yang akan ia pinjam. Sebenarnya ia ingin meminjam lima atau sepuluh novel lagi, tapi pihak Kepala Perpus hanya membolehkan maksimal peminjaman tiga buku saja. Ketika menemukan novel karya Pramodya Ananta Toer, ia memutuskan novel itulah yang akan ia pinjam. Setelah menyerahkan ke Kepala Perpus untuk ditulis di kartu peminjaman, Laine pun duduk membaca resensi novel yang di pinjamya sambil menunggu Lia F, padahal waktu istirahat sebentar lagi akan habis.
“Laine . . . maaf lama. Ada yang ingin aku katakan!” celetuk Lia F dari belakang punggung Laine hingga Laine setengah kaget.
“Oh kamu . . . sudah kenyang? “ Tanya Laine sambil mengikuti arah tubuh Lia F yang menyeberang meja dan duduk di depannya.
“Sudah, kamu lapar tidak? Aku belikan roti ya?” tukas Lia F kemudian seakan mengerti apa yang sedang dirasakan Laine.
“Gak usah. Sebentar lagi aku pulang dan bisa makan di rumah, tadi apa yang akan kamu katakan?” Tanya Laine kemudian seakan ada yang kurang.
“Vita . . . Vita anak gedongan itu! Huuh sungguh menyebalkan. Dengan sombongnya ia meneriakkan pesta ulang tahun yang akan diadakan minggu depan. Bayangkan Laine . . . dengan suara lantang ia mengatakan, bagi semua anak yang mau datang ke pestanya harus membawa pasangan masing-masing.”
“Lalu apanya yang salah?” Tanya Laine kemudian.
“Tidak ada yang salah hanya keangkuhan dan kesombongannya yang menjengkelkan. Vita akan memamerkan rumah megahnya dan kekayaan yang dimilikinya pada kita semua. Dan yang menjadi masalah syaratnya!” Lanjut Lia F dengan tatapan jengkel.
“Syarat yang harus membawa pasangan itu!!! Apakah kita juga diundang? Kayaknya aku belum memperoleh sepucuk pun surat undangan!”
“Ya iya lah Laine . . . bahkan semua anak di sekolah ini boleh datang ke pestanya minggu depan asalkan tadi!!! membawa pasangan!”
“Lalu . . .
“Lalu bagi kamu dan aku yang jomblo gak bisa datang ke pestanya yang megah itu bila tidak membawa pasangan. Jelas Laine!!!”
“Cukup jelas bagiku, tapi tak cukup menarik bagiku untuk datang ke pestanya! . . .”
“Apa? It . . itu artinya kamu gak bakalan datang ke pesta itu?”
“Ya sudah pasti, . . . aku kan gak punya pasangan dan aku pun gak akan mencarinya!”
“Yaaa, Laine aku juga berpikiran begitu, tapi kalau tidak datang aku takut teman-teman yang lain akan . . . akan mengira kita tidak gaul!.”
“Bagiku tak masalah. Kamu boleh datang kok Li kalau kamu mau!! Bukanya kamu punya Dillon yang bisa kamu ajak ke pestanya?” tukas Laine kemudian sambil menutup novel yang sedang dibacanya.
“Kalau Dillon mau, kalau tidak?”
“Ya kamu ajak lah Li . . .!!!”
“Tapi aku benci sama Vita yang sombong dan norak itu, ia merasa seakan . . . hanya dia saja yang bisa mengadakan pesta yang besar.”
“Ya itu kan haknya. Dia punya uang, rumah dan kedua orang tuannya mendukung Apalagi? Seharusnya kamu bersyukur diundang ke pestanya dan bukannya membencinya!! Anggap saja Vita sedang bersodakoh kepada semua teman-temanya melalui pesta yang akan ia adakan!!!”
“Kok kamu jadi belain Vita si Laine?” tukas Lia F ngambek dan jelas menunjukkan muka tidak senangnya.
“Loo, bukannya belain tapi aku mengatakan apa adanya. Mungkin bila aku punya uang, rumahku besar dan lebar untuk menampung semua siswa di sekolah ini dan orang tuaku respek, aku akan melakukan hal yang sama seperti Vita . . .” tutur Laine santai dan sedatar mungkin tanpa emosi.
“Huuh Laine . . . menjengkelkan!”
“Emmm . . . semua orang menurutmu menjengkelkan!. Mama serta kakakmu, Lita, Vita dan terakhir Aku. Semua orang kamu anggap menjengkelkan bila tidak sesuai dengan kehendakmu. Li . . . kamu harus belajar untuk mengoreksi diri . . . dan jangan . . .
“SUDAH . . .,tidak usah kamu menggurui aku Laine!!!” bentak Lia F kemudian dan langsung mengundurkan kursinya hingga berdenyit, lalu keluar ruangan.
Sepulang sekolah, Laine mengetahui Lia F sudah tidak pulang bersamanya lagi seperti tadi pagi, . . . melainkan terlihat akrab dengan Linda. Lia F menoleh sengit ke arah Laine sebentar, sebelum melanjutkan berjalan dan tertawa riang dengan Linda. Dan Laine menduga, sekarang Lia F sedang membicarakan dirinya yang tidak sepaham dengannya. Ya . . . begitulah Lia F, sedangkan Laine terus berjalan dengan menghirup udara kebebasan tanpa beban . . . tanpa harus menyalahkan hidup dan sekitarnya. Ia merasa bersyukur dengan apa yang ia miliki sekarang tanpa banyak protes dan tuntutan.

Tidak ada komentar: