Senin, 04 Januari 2010

MUSAFIR UIQUR YANG TERDAMPAR


“Aku harus pergi dari sini . . . “potong Turzun yang membuat wajah Lina berkerut tak mengerti. Tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya ia melanjutkan.
“Aku harus pulang ke Zinjiang . . . belajarku sudah selesai, dan malam ini adalah malam terakhir aku di jogya. Besok aku akan . ..”

Sore yang berawan dan mendung dengan bergelantungan awan hitam di langit, telah membuat suram pemandangan kampus. Bagi mereka yang sore itu akan menantang nyali di lautan ujian, sedikit mengalami penurunan mental apalagi cuaca yang tidak bersahabat sore itu. Namun, lail halnya dengan Turzun, pemuda muslim asal Zinjiang China yang merupakan keturunan etnis Uiqur itu. Ia dengan semangat yang menggebu-gebu, dengan sereret hafalan mata kuliah yng sudah mengendap berhari-hari dalam oraknya, merasa sangat bersemangat dalam langkahnya yang cepat dan panjang. Dengan cekatan ia menerobos rintik-tintik hujan yang sudah mulai turun. Tak peduli dengan suasana cuaca yang sedang cemberut dan menangis pelan, hatinya tetap bungah dan senang menunggu datangnya ujian itu. Turzun adalah salah satu pemuda Uiqur dari lima bersaudara yang datang ke Indonesia dan khusus sekolah bahasa dan agama yang ada di Indonesia. Dari kelima saudara yang pernah mengenyam sekolah bahasa di salah satu kampus di Indonesia, hanya dialah yang masih tersisa dan bersemangat untuk terus menyelesaikan belajarnya hingga ujian akhir sore hari itu.
Temannya yang bernama Abdul Aziz telah pulang setengah tahun kemudian setelah setibanya di Indonesia karena tidak betah dengan budaya dan makananya, Husein temanya yang tinggi semampai telah meninggalkan Indonesia dan kepinjut dengan turis Australia yang sedang berlabuh di Indonesia, dia pergi ke Australia di tengah-tengah jalanya ujian tengah semester, temanya yang ketiga Abdul Wariz memilih pindah sekolah ke Suria setelah enam bulan ia menahan rasa ketidak betahannya, kemudian temanya yang ke-empat Abdul Zakris kembali ke Zinjiang dan memilih bekerja di Negara asalnya. Hingga ujian akhir dilaksanakan, hanya Turzun saja yang masih tersisa dan bertahan dengan segala tantangan dan ujian.
Pertama ia datang di Indonesia khususnya kota Yogyakarta, ia sudah tidak suka dengan makannya yang selalu ada nasi setiap lauknya. Hal pertama yang ia alami adalah mahalnya makanan dan barang yang ia beli. Hanya dalam tempo tiga hari, ia telah menghabiskan uang tiga ratus ribu. Setiap ia memebeli sesuatu, toko atau pedagang yang menjual makanan akan melipat gandakan harganya, melihat yang membeli adalah seorang turis yang bermata sipit lagi putih. Jadi harga makanan yang seharusnya berharga sepuluh ribu menjadi lima kali lipatnya bahkan bisa lebih. Selain itu, bila ia akan pergi kemanapun, harga bis ataupun bejak akan berubah meninggi seiring dengan berubahnya otang yang menaikinya. Harganya akan berlipat-lipat bahkan bila diberi uang lebih, kembaliannya akan kurang dari semestinya. Sehingga, mereka berlima seringnya berganti dengan jalan kaki dibandingkan dengan naik bus atau taksi. Pernah suatu ketika ia mempunyai sepeda baru yang dapat ia pakai ke malioboro atau ke taman-taman wisata lainnya di Yogyakarta. Namun, sudah menjadi budaya warga Indonesia yang tak akan membiarkan barang bagus tergeletak begitu saja. Hingga kemudian ia pulang dengan berjalan kaki.
Segala rintangan dan ujian yang telah diterima oleh kelima Uiqur bersaudara itu telah membuatnya jera, hingga menyisakan satu orang saja. Ia menghadapi ujian mulai jam satu siang hingga jam enam sore menjelang magrib tiba. Sudah beberapa kali dalam dua tahun itu ia menjalani sederetan ujian yang menjemukan sekaligus menantang. Bila ia sedang mengalami rasa sepi, suntuk dan kesal, acapkali I melayangkan pikirannya pada kedua orang tuannya. Jauh-jauh ia datang dari Zinjiang China, sebelah utara Negara China yang hamper ddekat dengan Turkistan di sebelah baratnya dan Rusia di sebelah utaranya. Hanya demi sebuah mimpi, yaitu belajar Islam secara mendalam ia pergi hijrah keluar dari Negara Komunis yang ketat dan kejam. Sering kali ia menuturkan bagaimana pemerintahan Han selalu memonopoli bahkan deskriminan terhadap suku Uiqur yang minoritas Islam. Acap kali sewaktu ia belajar di salah satu kampus di ibukota Zinjiang Urumqi, ia harus mencuri-curi waktu untuk sekedar mendirikan ritual agamanya yaitu Sholat.ia dengan hati-hati hatus menutupi sekala aktivitas agamnya dari teman-temanya, gurunya supaya tidk tercium pemerintah han yang begitu kejam. Bahkan, tidak sedikit suku bangsanya yang mati hanya membela sebuah kebebasan beragama. Oleh karenanya, ia bertekat keluar dari Zinjiang untuk mencari ilmu dan wawasan lebih sekaligus meninggalkan desa kelahirannya Yili. Bagi dirinya yang bermata sipit dan tubuh yang lebih putih dan beberapa berbedaan lainnya dibandingkan mahasiswa Indonesia kebanyakan, tak membuatnya canggung untuk membaur.

***
Tahun terakhir ia berada di Yogyakarta pun akan segera tiba. Hari demi hari, minggu demi minggu, telah berganti menjadi bulan dan tahun. Tak terasa hari ini ia sedang menunggu dengan getir akan penghargaan dan segala sertifikat yang menyatakan bahka dirinya telah usai bersekolah di kampus itu. Dan setelah itu . . . ia harus meninggalkan asrama dan kampus yang disayanginya, entah pulang ke negarannya atau kembali mencari ilmu ke negara lain, atau tetap di Indonesia. Ras getir-getir itu diakibatkan karena seseorang yang telah menyelinap halus dan pelan ke dalam hatinya yang selalu kosong bahkan tak pernah terkamah oleh siapapun. Gadis Jawa itulah yang beberapa kali pernah dijumpainya dan dikenalnya langsung.
Hingga sore itu sore dimana ia terakhir berada di Yogyakarta karena keesokan harinya ia akan pergi, . . . belum pula mengungkapkan perasaannya yang semakin bertambah ciut itu. Sore menjelang magrib ia masih duduk di lantai bawah sebuah gedung bertingkat empat, dengan harap-harap cemas semoga masih dapat menjumpainya untuk terakhir kalinya. Semoga saja praktikum yang dilakukannya belum usai. Menit demi menit telah berlalu, hingga waktu menunjuk setengah enam sore. Namun, seseorang yang dinantinya belum kunjung turun. Hingga pukul enam kurang seperempat ia mendengar keramaian mahasiswa-mhasiwa yang turun dari lantai atas. Dengan keremangan kegelapan di sore yang menjelang malam itu, ia mengamati setiap cewek berkerudung turun. Namun, yang dinantinya belum kunung nampak. Azan magrib telah berkumandang di tengah-tengah masjid kampus, ia ingin beranjak pergi ketiga dilihatnya seseorang turun seorang diri dengan masih mengenakan jasleb berwarna putih. Seketika ia pun berbalim arah dan mengampirinya.
“Lin . . . Lina tunggu . . . .aku . .!!!!!
“Ka . . .kamu kenapa di sini . . . sedang apa?” Tanyanya dengan heran
“Bisakah kita sholat bersama . . . ayo . . .” pintanya tanpa mengajuhkan pertanyaan Lina. Akhirnya dengan wajah lelah sekaligus penasaran ia mengikuti langkah cowok asing itu . .. yang sudah beberapa bulan ini sering dijumpai dan mengobrol dengannya. Tanpa disdarinya lengannya telah ditarik dengan halus olehnya . . . hingga ia tak berani untuk menolak.
Seusai sholat magrib, mereka berdua duduk di sebuah taman di belakang masjid. Dengan perasan yang serasa teriris-iris, dengan getaran kepiluan yang sedang bersemayang di dadanya, ia menghembuskan napas dalam keheningan.
“Ada apa??? . . .”Tanya Lina seakan ada sesuatu yang tidak beres dan tidak seperti biasanya “Kamu punya masalah? Atau ada sesuatu yang ingin kamu ungkapkan?? . . .”Lina termenung dalam diam ikut menunduk, bukan karena sedih tapi ingin melihat sekilas raut wajah seseorang yang termenung di sampingnya.
“Kalau ada yang ingin diungkapkan bicaralah . . . ini sudah hampir malam dan ak . . . aku belum makan sedari tadi siang . . . padahal kamu tahu kan?? Aku selesai praktikum . . .” tukasnya jujur tanp tedeng malu-malu, karena memang sejak sholat tadi pertutnya sudah menagih.
“Huuuuh . . . kalau kamu diam terus seperti patung . . . aku jadi bingung . . .bicaralah atau aku akan pulang aku harus . . ..”
“Aku harus pergi dari sini . . . “potong Turzun yang membuat wajah Lina berkerut tak mengerti. Tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya ia melanjutkan.
“Aku harus pulang ke Zinjiang . . . belajarku sudah selesai, dan malam ini adalah malam terakhir aku di jogya. Besok aku akan . ..”
“Baguslah . . . selamat ya . . . orang tuamu pasti senang . . .” tanpa menunggunya lagi Lina langsung berdiri dan berlari pulang. Ia menahan supaya sesak yang ada di dadanya dapat ditahan. Ia terus berlari dan berlari . . . Entah kearah mana ia berlari . . . hingga ia sampai di depan kolam dan terduduk lemas di sebuah bangku. Ia tak tahu lagi . . . apa yang akan ia katakan. Bahkan ia tak berani mengakui getaran yang sesekali menggetarkannya. Hingga tak terasa ada lelehan hangat ayang menyapu pipinya. Entah perasaan apa yang sedang merayapinya . . ., menggelayutinya, merong-rong setiap senti dalam tubuhnya mernjadi lemas tak berdaya. Seakan segala kekuatan yang tersisa telah lenyap, menguap, seiring kata-kata terakhir yang ia dengar.
Dan beberapa saat kemudiaan, tanpa dinyana, tanpa disangka, dan tanpa diduga-duga, lengannya ditarik dan beberapa detik kemudian dia sudah berada dalam pelukan seseorang.
“Maafkan aku Lin . . . sungguh belum pernah aku seperti ini sebelumnya. Ak . . . aku merasa tak berdaya . . . dan aku minta maaf . . . karena dengn lancang aku telah berani menyukaimu.” Lanjutnya sambil mempererat pelukannya.
“Lina . . . maaf . .. aku harus pulang dulu besok untuk bertemu orang tuaku . . .”lanjutnya sambil melepaskan pelukannya dan menatap gadis yang ada di depannya.”Aku . . . belum pernah berteman dengan seorang cewek hingga seperti ini . . . aku . . . Linaaaaaa . . . “ tanpa bisa dibendung lagi Turzun kembali memeluknya . . .
Ketika ia menatap kedua mata gadis yang telah melelehkan air mata perpisahan itu, dengan lembut ia mencubit bibirnya yang ranum. Dengan pelan dan lemut pula ia menghembuskan napasnya hingga waktu bergulir.
Pagi harinya di sebuah bandara . .. ia menatap dengan sedih. Tatapan yang diiringi getaran dalam setiap dada.
“Lina . . .aku pulang sebentar . . . dan aku akan kembali lagi . . . menjumpaimu” sekilas ia mengecup keningnya dan mengusap pipinya dengan lembut. Beberapa jam kemudian sebuah pesawat telah membawanya ke Quangzo, lalu Zinjiang, Urumqi dan Yili, sebelah barat bagian utara negara China.

Tidak ada komentar: