Senin, 04 Januari 2010

SANG JAGOAN SEPAK BOLA


“Aduh tega sekali dia. Kenapa . . . kenapa aku bisa sampai di . . .”
“Rangga . . . Rangga menggendongmu kemari . .” tukasnya yang membuat seakan udara berhenti di tenggorokanku, aku kaget hingga badanku setengah terduduk namun, kemudian Lita mendorongku untuk kembali tidur.

Siang yang cukup terik dengan matahari yang melotot tajam di atas kepalaku, ditambah sorak-sorak yang penuh hingar-bingar bercampur bau keringat, parfum minyak wangi, tanah bekas hujan tadi pagi dan rerumputan hijau di lapangan sepak bola membuat tubuhku sedikit mual. Aku ikut menonton pertandingan sepak bola dan mencoba untuk menenangkan kegelisahan hatiku dari kejauhan. Kali ini aku duduk dengan temanku Lita yang terus menekuri keripik kentangnya yang tak kunjung habis. Sedangkan mataku terus menatap mengikuti iringan bola yang digiring ke arah gawang dengan lincahnya. Sedangkan tepat di depanku yang berjarak kira-kira satu setengah meter berdiri segerombol cewek-cewek super gaul dan cantik-cantik, dengan yiel-yielnya yang mempekakan telingaku. Seiring semakin menariknya pertandingan sepakbola Final kali ini, semakin kencang pula teriakan gerombolan cewek-cewek di depanku. Dan tak salah lagi Dewi adalah primadona dari kelompok itu.
Dewi salah satu cewek yang menjadi ajang perebutan diantara cowok-cowok di sekolahku. Tidak hanya rupannya saja yang mulus dan putih bak porselin, namun bodinya juga seksi dan menggiurkan. Tak hanya disitu saja keberuntungan yang membayanginya, dia adalah anak tunggal dari seorang pengusaha tersukses di kotaku. Jadi, bukan barang baru lagi jika ia antar jemput dengan sedan mengkilap ke sekolah. Tapi satu hal yang patut aku syukuri selama satu kelas dengan dirinya, tak sekalipun barang satu semester ia dapat mengungguli nilai-nilaiku. Otaknya cendenrung bobol alias tong kosong yang tak berisi.
Sekalipun keinginan untuk meninggalkan lapangan kian membesar, namun hasyat untuk terus memandang dirinya dari kejauhan tak dapat surut. Dengan sedikit terpaan angin nakal di pipiku di tambah helaian lembut di sekitar lenganku yang terbuka aku mencoba duduk dengan tenang dan berusaha mengenyahkan teriakan keras di sekelilingku. Teriakan itu menandakan bahwa tim sepak bola dari sekolah kami telah mencetak gol yang kedua kalinya sehingga kedudukan dengan tim dari sekolah tetangga menjadi berimbang. Keringat yang mengujur deras di pelipis Rangga tak membuat dirinya surut semangat. Ingin rasanya aku menyentuhkan saputanganku di pelipisnya walaupun cuma sekali, namun hasyat dan keinginan itu aku tampik jauh-jauh. Dua tahun sudah aku lalui duduk di sekolah ini, dan inilah tahun terakhirku sebelum aku lulus dan meneruskan hidup. Selama itu pula perasaanku telah aku pendam dan terkunci rapat di sudut hatiku hingga tiada seorang pun yang berani membukanya. Perasaan itu sekali-kali bergetar hingga melimbungakan langkahku, acap kali aku berpapasan tanpa sengaja. Namun, aku hanya berbicara dalam diam, menjabat tanpa merasakan. Hingga getaran itupun kembali melumuri permukaan hatiku, menahan segala keperihan yang menyesakkan dada, menahan segala kerinduan akan bisikan lembut di telinga. Semuanya itu hanyalah mimpi, mimpi yang selalu menggelayutiku hingga malam-malam yang senyap membuatku terjaga. Dan bayangan mimpi itulah yang membuatku akhir-akhir ini dihinggapi sindrom insomnia. Hingga aku harus menulis berlembar-lembar, mencucurkan segala perasaanku pada buku kecilku.
Rangga betapa aku mencintainya, betapa aku menyayanginya. Namun, kenyataan berkata lain. Rangga ibarat sebongkah batu es abadi yang tak kan pernah mencair. Dinginnya akan membuat tangan-tangan di sekitarnya membeku, mati tak bergerak. Tak seorangpun dapat membuat hatinya tersenyum. Ketampananya, kegagahannya dan tubuhnya yang atletik tak menjadi penghalang, bagi setiap gadis yang normal untuk merasakan deburan ombak yang mendebarkan hatinya, hingga terasa akan menoncat keluar bila tidak terpegang dengan erat. Termasuk diriku yang melihat sorot matanya untuk pertama kali, ketika menjadi siswa baru di sekolah ini. Pandangan matanya yang menyelidik dengan halus, menyerobot setiap penghalang hingga sinar dalam diriku serasa redup tertikam oleh kehangatan yang terpancar olehnya.
Berpuluh-puluh cewek dengan menanggalkan segala kehormatan dan keangkuhannya mencoba berkirim surat dan mendekatinya dari segala arah, namun tetap membuatnya bergeming. Melihat segala penolakan yang pernah dialami teman-teman sekelasku, maka keinginan barang berucap salampun aku enyahkan apalagi berkirim surat, hingga kini aku memendamya dalam lautan keheningan dalam hatiku.
“Horeeeeeeeee . . . Gooooooool” teriak para cewek-cewek secara serembak sambil menaburkan kertas warna-warni ke udara. Final sepak bola ini kali dimenangkan oleh tim dari sekolahku, yaitu tiga dua. Pertandingan yang alot dan mendebarkan akhirnya diraih tim sekolahku dengan gol terakhir dari Rangga. Di kejauhan ku layangkan pandang kepadanya yang sedang terguling di dalam tanah dengan pelukan kemenangan dari kawan-kawannya. Beberapa menit kemudian tim yang kalah telah lenyap dari areal lapangan, dan beberapa penonton serta sporter sebagian telah berlalu, aku melihat sekilas bayangan Dewi yang menghampiri Rangga. Rangga tetap bergeming sambil menenteng tasnya ketika Dewi mencekat lenganya dengan kedua tangannya.
“Rangga . . . selamat ya . . . kamu memang hebat . . “tukas Dewi menggelayut manja di lengannya yang putih dan berotor. Namun, sepintas Rangga menarik lenganya dengan sikapnya yang setenang lautan Jawa. Ia terus melangkah keluar dari lapangan ketika Dewi tetap mengikutinya.
“Rangga . . . tunggu!!!” pinta Dewi setengah berlari, ketika mereka berjalan berlawanan dariku. Kulihat wajah Dewi yang memandang sengit ke arahku sambil sedikit mencibirkan bibirnya. Dan setibanya aku di luar karena rong-gongan Lita yang minta makan siang, aku melihat Rangga kembali sebelum masuk ke dalam Jibnya, tanpa menghiraukan celotehan Dewi di dekatnya. Aku tidak mendengar apa yang dikatakannya karena Lita terus menyeret lenganku ke kantin untuk memenuhi panggilan gentongnya.
Keesokan paginya ketika aku masuk ke kelas, di dalamnya ada Dewi beserta gengnya sedang menggunjingkan kemenangan sepak bola yang diraih oleh Rangga dan timnya. Ia begitu bergairah dan memuji-muji kepandaian dan ketangkasan Rangga dalam menggiring bola hingga akhirnya gol kemenangan di raih timnya. Aku berusaha untuk mengenyahkan suara-suara bising itu dan mencoba untuk memusatkan pada novel baru yang aku beli. Ketika aku berhasil menyelesaikan tiga lembar halaman, tiba-tiba Dewi menggebrak meja di depanku hingga aku kaget dan menjatuhkan novel ke lantai.
“Heeeee kutu Buku . . .”cetusnya dengan lengkingan yang mempekakan telingaku. “Ngapain Elo kemarin datang ke pertandingan ??? Gak ada yang ngundang Elo tuh . . . dan kayaknya Elo syirik aja ngelihat aku dan Rangga . . .”
“Tutup mulutmu !!!!! dan pergilah jangan ganggu aku !!!’ pintaku kemudian sambil memungut bukuku yang tergeletak di lantai.
“Sialan Elo mrintah-mrintah gue . . . suka-suka gue Dong!!!”lanjutnya sambil duduk bergeming di atas mejaku. Karena kesal dan seakan darah sudah mengalir di atas ubun-ubunku . . . aku berdiri hingga wajah kami hanya terpaut beberapa senti.
“He gadis manja . . . bisa turun tidak ??? jangan sampai tanganku yang gatal ini mendarat di jidatmu!!! Gertakku sambil melotot tajam ke arahnya.
“Kamu kira kami takut?” seruduk Fenti salah satu gengnya yang juga terkenal doyan gonta-ganti pacar. Tanpa mengindahkan perkataan mereka aku mencoba keluar kelas . . . namun, ketika aku sampai di bibir pintu sebuah benda keras melayang di batok kepalaku hingga beberapa detik kemudian aku tak merasakan apa-apa kecuali rasa nyeri dan ada aliran hangat yang mengalir di tengkukku. Ketika aku raba rambutku, aku mencium bau anyir darah hingga kemudian sekelilingku serasa berpendar dan setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Entah sudah berapa jam aku tertidur di ruangan kecil yang berbau obat ini. Ketika aku mencoba membuka mata ada perasaan nyeri di sekitar kepalaku. Dan kemudian aku teringat kembali pertengkaranku dengan Dewi hingga ada benda yang melayang ke kepalaku. Aku mencoba untuk meraba kepalaku yang nyeri dan sakit ini, seakan memastikakn bahwa batok kepalaku masih utuh.
“Ohhh . . . Lintang Elo tidak apa-apa???”Tanya Lita ketika masuk sambil menenteng keresek penuh yang kuduga adalah makanan. Ia mendekat ke arahku, dan wajahnya yang tempem namun menyiratkan persahabat membuatku tersenyum.
“Ak . . aku tidak apa-apa . . tapi apakah kepalaku masih utuh?? tanyaku serasa tak percaya dengan rasa sakit yang kurasa.
“Masih utuh seratus persen, . . . bahkan rumus-rumus kimia, fisika dan matematikamu masih bersarang dan enggan pergi dari batokmu yang super jenius itu . . .” tukasnya yang membuat hatiku lebih tenang.
“Dan yang pasti akan kuberi pelajaran pada Dewi dan gengnya nanti, . .. cewek-cewek centil itu memang sudah waktunya diberi lombok pedas atau kulumuri mulutnya yang tajam itu dengan saos nanti . . .”gertaknya sambil menggigit sosis dengan kesal. Aku ingin tertawa melihat tingkahnya, namun tawa akan membuat otot di kepalaku serasa berdenyut-denyut.
“Ya . . . kita balas sama-sama nanti . . aku akan . . .”
“Akan aku isi tasnya yang penuh kosmetik itu dengan tahi kuda kering biar mampus “ tukasnya memotong sambil terus mengunyah sosisnya dengan lahap. Badanya yang seperti tong gelinding itu memang dapat diandalkan, dan beberapa kali ia mengerjai Dewi dan gengnya dengan ide-ide gilanya hingga membuat Geng Dewi kalang kabut.
“Iya . . .tapi benda apakah yang melayang di batokku Lita??? Kau tahu . . .”
“Sebuah kubus kayu yang salah satu sudutnya menyobekkan kepala belakangmu . .”
“Aduh tega sekali dia. Kenapa . . .kenapa aku bisa sampai di . . .”
“Rangga . . . Rangga menggendongmu kemari . .” tukasnya yang membuat seakan udara berhenti di tenggorokanku, aku kaget hingga badanku setengah terduduk namun, kemudian Lita mendorongku untuk kembali tidur.
“Aku gak salah dengar Lit . . .” Tanyaku lirih sambil membayangkan bagaimana Rangga menggondongku.
“Ya begitulah nasibmu Lintang, Si dingin Es yang tampan itu memang pantas untukmu”
“Tidak ini tidak benar . . . ta . . .tapi bagaimana bisa terjadi Lit?”
“Kamu terjatuh di depan kelas dengan darah mengalir ditengkukmu, ketika Rangga mau masuk kelas ia melihatmu dan pastilah membawamu kemari . ..”
“Ah itukan kan cuma menolong bukan berarti apa-apa . .. dan aku . ..”
“Elo sebaiknya menanti keberuntunganmu . . .” dan aku masih tidak percaya dengan apa yang telah menimpaku hari ini. Kepalaku sudah lebih baik, hanya pening dan nyeri yang kurasakan ketika aku dan Lita keluar dari Mini Hospital sekolahku.
Ketika aku dan Lita sedang berdiri di halte untuk menunggu bus langganan, tiba-tiba ada sedan merah berhenti di depanku. Dengan membuka jendela yang mengkilap itu, . . . sang pemiliknya menunjukkan mukanya.
“Heeeee si kutu buku . . . kepala Elo jadi pecah kagak ha . ..ha . . ha” hina Dewi dan satu gengnya tertawa penuh kemenangan. Tiba-tiba sebuah bakwan mampir di mukanya . . . , tepat ketika jendela akan ditutup.
“Kalau berani turun Elo Hee banci . . .” teriak Lita sambil menghampiri mobil yang seketika menderung dan tinggal landas. Seketika wajahku berubah menjadi tawa meledak bersama Lita. Tak kusangka bakwan hangat yang sedang digigit Lita dapat mampir tepat di wajah Dewi, hingga sekilas wajah yang berbedak tebal itu seperti diolesi minyak.
Satu minggu kemudian ketika luka di kepalaku sudah pulih dan mengering . . . aku duduk-duduk di serambi sambil membaca novelku yang terbaru lagi. Satu minggu aku tidak masuk sekolah karena mama melarangnya. Kepalaku sering sakit dan pusing jika aku banyak berjalan, apalagi naik bus. Jadi satu minggu full setelah kejadiaan naas yang menimpaku, aku istirahat di rumah. Hari-hari yang kulalui tidak membosankan. Karena Lita dan beberapa temanku yang lain sering mampir dan bermain hingga petang hari. Sedangkan mamaku yang super perhatian sekaligus cerewet, memasakkan makanan kesukaanku. Sedangkan Lita, sesering mungkin membawa opor ayam dan cemilan kecil buatan ibunya khusus untukku. Ia selalu asyik bercerita tetang keadaan sekolah ketika aku tidak masuk. Hingga suatu ketika Lita mengatakan bahwa Rangga mencariku dan menanyakan kepadanya. Lita yang kaget sekaligus kebingungan, tidak bisa menjawab pertanyaan Rangga karena Rangga yang dingin dan super cakep itu menantap tajam ke arah Lita. Hingga pisang goreng yang sedang dimakannya jatuh ke lantai. Baginya, Rangga adalah makhluk langka yang sangat menarik dan menggiurkan. Hingga pertanyaan yang diajukan Rangga padanya ibarat mendapat durian runtuh. Karena tak sembarang cewek digubrisnya apalagi diajak ngobrol. Aku hanya tertawa mendengar ceritanya.
Tapi aku tetap tidak percaya. Bisa saja Rangga menanyakanku hanya sekedar belas kasihan akan musibah yang menimpaku seminggu yang lalu. Dan selebihnya aku tak kan pernah mengharap banyak, walaupun hatiku selalu bergetar. Aku ibarat punguk merindukan rembulan. Atau harapan yang tak kan pernah tercapai. Aku dan Rangga sangat berbeda jauh. Dia anak orang kaya raya, pandai, wajah dan tubuh tanpa cela, sedangkan aku sebaliknya. Semua terasa kontras. Lagian selama dua tahun ini, aku mengenalnya hanya sekedar nama . . . jadi kejadian yang teramat kebetulan itu tak ingin kujadikan harapan yang terlalu muluk.
“Uuuuuuh . . . kenapa aku jadi memikirkannya”gerutuku lirih sambil bangkit dari beranda. Karena kesal tidak bisa mengenyahkan Rangga dari pikiranku, akhirnya aku pergi keluar dan mencari keramaian. Karena letak rumahku di jantung kota, maka aku tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di sekitar lapangan yang sedang diadakan karnaval.
Anehnya kepalaku sudah tidak berdenyut-denyut lagi atau merasa pusing disekitar suara-suara terompet, gamelan dan berbagai alat musik yang bercampur dan bertalu-talu. Entah mengapa aku merasa senang berjalan kaki mengikuti iring-iringan karnaval yang panjang dan menyenangkan itu. Ada segerombol anak kecil yang berdandan dan berpakaian seperti prajurit, ada yang menari kuda kepang dengan asyiknya diiringi bunyi gamelan, dan juga yang berdandan seperti badut dan masih banyak lagi. Aku terus menikmati iring-iringan karnaval itu hingga tak kusadari aku telah di dalam karnaval itu sendiri. Bunyi-bunyian yang mengelilingiku menjadi semakin jelas dan tak karuan. Berbagai macam orang dengan dandanan serta pakaian yang berbeda membuatku semakin bingung. Aku terjebak di tengah-tengah karnaval dan berputar-putar di dalamnya, tak dapat keluar apalagi berbaur bersama mereka. Aku merasakan sekelilingku mulai berwajah dua . . ., suara-suara yang menendang-nendang gendang telingaku bertambah keras dan tajam. Aku mulai pening dan pusing. Aku coba memejamkan mata dan menutup telingaku . . . hingga kusadari ada sebuah tangan yang mencengkeram lenganku dengan kuat. Aku terus menunduk dan memejamkan mata, mencoba menjernihkan kepalaku yang puyeng ketika tangan itu terus menarikku keluar dan membawaku ke tempat yang suara-suara itu sejenak semakin menjauh. Ketika aku membuka mata . . ., aku tak sadar dengan apa yang aku lihat . ...
“Kenapa kamu disitu? Tak seharusnya kamu di dalam karnaval . . .”
“Rang . . . Rangga ak . . . aku . . .” dan tiba-tiba bibirku kilu dan sulit kugerakkan, suaraku tercekat . . . namun mataku masih memandang tak percaya . .. bahwa Rangga ada di depanku sekarang. Ia menarik lenganku dan memelukku . . . seakan takut akan kehilangan diriku.
“Tidak apa-apa kan? Kepalamu masih sakit?” tanyanya sambil terus memelukku.
“Maaf, biarkan aku memelukmu Lintang” dan bagiku nasib telah berkata pada kenyataan.



Tidak ada komentar: