Senin, 04 Januari 2010

KEDUNG DI SUNGAI SIGITES


Pada hari libur kemarin Aku dan seorang adikku serta tiga orang kawanku pergi mencari ikan di sungai. Sungai itu bernama Sigites yang terkenal dengan ikannya yang melimpah serta airnya yang jernih dan tak pernah surut, walaupun musim kemarau tiba. Tapi Sungai Sigites tergolong sungai yang dalam, namun tidak terlalu deras. Kedalamannya belum pernah ada yang mengukurnya, yang kutahu pancang bambu seukuran bendera yang ada di sekolah tak kan pernah muncul lagi ke permukaan, bila di masukkan ke dalamnya. Lebarnya kurang lebih tujuh telentangan tangan anak-anak SMA yang berjajar rapi.
Tempat yang paling mengasyikkan untuk bermandi ria adalah di daerah hilir yang dekat dengan cewek-cewek desa yang sedang mencuci baju. Jadi sekalian menyelam minum air juga. Karena Sungai Sigites bersumber dari pegunungan Sindoro dan Sumbing, maka tak pelak lagi bahwa airnya membuat gigi gemeletuk bila mandi di pagi dan sore hari. Banyak penduduk desa yang memancing dan menjala di areal sungai itu, . . . tak jarang hasil tangkapnnya dapat mencukupi kebutuhan lauk sekeluarga bahkan sampai berhari-hari. Ikan hasil memancing atau menjala, mereka masukkan ke dalam kepis
[1], hingga acap kali kepis yang mereka bawa terasa berat karena kepenuhan.
Nah . . . hari pertama liburanku, . . . Aku mengajak Dino, Saputra dan Anggara. Karena udaranya cukup cerah maka Aku dan ketiga kawanku berangkat jam delapan pagi. Melihat kami semua ingin ke sungai dan menjala ikan adikku Rani memaksa ikut, apalagi melihat jala dan kepis kami bertiga yang berukuran besar.
“Kakak . . . kakak . . . aku ikut ya!!!” rajuk Rani sambil memegang erat ujung bajuku. Bahkan Rani sudah membawa kepis yang dipinjamnya dari paman.
“Rani kamu di rumah saja . . . tidak boleh cewek ikutan ke sungai . . .!!!” jawabku enteng ketika itu.
“Ikut . . . ikuuut . . .” sungut Rani dengan pegangan yang semakin erat di tanganku.
“Ya sudahlah Rani boleh ikut . . . tapi di pinggir saja ya, . . . tidak boleh jauh-jauh dari kakak dan jangan nakal Loo” celetuh Saputra sambil nyubitin pipi adikku yang manis dan nggemesin itu.
Rani adalah adik tunggalku yang baru saja kelas dua SD. Pembawannya riang, lugu dan lucu. Tapi, kalau sudah ngambek dan marah ia akan menampakkan tampang cemberut. Hari ini terpaksa Rani aku ajak, tentunya setelah mendapatkan izin dari ibu. Apalagi cuaca mendukung dan cukup panas, jadi Aku ajak Rani bermain di sekitar sungai. Karena terlampau bersemangat, Rani ikut-ikutan menyangklong Kepis yang talinya kepanjangan.
Berhubung udara cerah dan panas, maka Anggara, Saputra dan Aku berani menjala di bagian tengah sungai yang bernama kedung yang lebih dalam, tapi juga banyak ikannya. Sedangkan Dino, . . . Aku suruh menjaga Rani saja di pagian paling pinggir dekat pohon waru. Apalagi Dino tergolong anak manja yang takut jatuh dan lecet. Tapi justru yang paling doyan sama ikannya kalau sudah dimasak enak.
Maklum, . . . Dino adalah kawan kami yang paling kaya. Sedangkan Saputra dan Anggara adalah dua kawanku yang kontras dengan Dino. Mereka berasal dari keluarga menengah ke atas, tapi tidak manja dan penakut. Bahkan Anggara dan Saputra bagai pinang di belah dua, dengan badan yang sama tinggi, berotot, pemberani, berwajah tampan sekaligus smart. Hanya saja Saputra tidak terlalu lihai dalam berenang.
“Ok . . . Bro kita hentangkan jala di bagian tengah kedung itu yang airnya tenang . . . kayaknya banyak ikannya deh . .!” pinta Saputra pada kami berdua.
“Iya Coy . . . ayo ke sana . . .!!!” ajak Anggara yang juga ikut bersemangat. Sedangkan Aku cuma manggut-manggut saja menyetujui, sambil mengawasi Rani yang kakinya sedang berendam di hilir sungai ditemani Dino.
Ketika jala kami bertiga dihentangkan di kedung sungai yang jernih dan tenang, airpun beriak menimbulkan gelombang yang semakin luas. Lima belas menit kemudian Saputra bersiap-siap menarik jala putihnya dari pinggir tebing yang tidak terlampau curam.
”Waaaah . . . bantuin Bro !!!!!!!! ini jala kayaknya isinya ikan hiu dehhh . . . !!!” celetuk Saputra kepada Anggara yang berdiri di sebelahnya. Sedangkan Aku memancing di bagian hulu, dengan tali pancing yang sudah mulai bergerah karena umpannya mulai termakan ikan.
”Weeee . . . Weeee . . . Bro bantuin Bro . . berat niiih . . . !!!” teriak Saputra lagi hingga membuat Aku meninggalkan pancingku dan bergabung dengan mereka bertiga, lalu mulai menarik jala yang berat itu.
”Ayo sedikit lagi . . . Ayo tarik lagi . . .!!” pinta Anggara menyemangati kami bersama.
”Waaaah . . . bakal dapat banyak kita . . .” dugaku ketika jala yang kami tarik semakin berat. Apalagi tegangan permukaan air kedung menghalau jala yang akan menyembul ke permukaan.
”Ayo tarik lagi . . . ia sedikit lagi . . .” pinta Saputra kemudian.
”Waaaaaaah . . . banyak sekali ikannya . . .” teriakku sambil berjingkrak karena air dan ikan yang ada dalam jala melompat-lompat. Ikan yang kami dapatkan berbagai jenis dan ukurannya. Mulai dari ikan melem, gurami, nila, tombro, sepat, betik dan beberapa ikan kecil yang nyangkut. Ikan-ikan kecil yang berjenis bokor terus melonjat-lonjat di dalam jala tanpa bisa keluar. Ada yang bersisik tebal, ada yang tidak terlalu bersisik. Beberapa ikan melem dan gurami ada yang seukuran paha Anggara bahkan mungkin langsung memenuhi kepis yang dibawahi oleh Rani. Mendengar teriakan senang kami bertiga, . . . Rani terburu-buru berjalan dan melompat diantara bebatuan menuju ke arah kami. Bahkan Dino kuwalahan mengejar Rani yang lincah itu.
”Waaah . . . kakak . . . kakak Rani minta ikannya! . . .”celetuh Adikku dengan mata bersinar senang dan langsung ikutan mengambili ikan dengan supit. Beberapa Ikan yang melompat mencipratkan air ke baju dan mukannya hingga ia mundur ke belakang dengan riang.
”Iya . . . iya Rani boleh memenuhi kepis Rani kalau Rani bisa membawanya dan tidak berat” tukas Saputra sambil mengusap air yang membasahi muka Rani.
***
Keesokan harinya . . . Anggoro dan Saputra bangun pagi-pagi. Nenek dan ibuku terlihat senang karena mereka bertiga menikmati sarapan paginya, walau hanya dengan pepes ikan gurami, sambal terasi dan daun ketela rebus. Mereka begitu lahap walaupun muka mereka merah membara seperti dipanggang di perapian. Rasa pedas telah mengalahkan enaknya masakan. Bahkan Saputra tambal lagi nasi dan pepesnya.
”Putra masih kuat tuuh perut . . . kalau meledah gimana . . .????” tukas Dino yang melongo saja melihat nafsu makan Anggara dan Saputra. Hanya saja Anggara tidak nambah mungkin malu atau memang sudah terlampau kenyang.
”Kagak bakalan . . . Ini perut masih muat . . . Enn siapa tahu ini sarapan terakhirku !!!. . ” tukasnya ngawur sambil membuka pepes yang masih mengebulkan panas, lalu memasukkan daging yang penuh bumbu itu ke mulutnya yang kepedesan.
”Husssss, jangan ngawur . . . besok pagi tooh masih bisa sarapan lagi kan Putra!!! . . ” celetuh ibuku sambil menungakan teh hangat manis di samping Saputra.
”Yaaa . . . siapa tahu Ibu . . nanti saya langsung balik . . ..!!!” jawabnya sambil meneguh teh manis.
”Balik ke jakarta maksudnya . . . Huuuh sana balik sendiri . . gak setia kawan . . .!!” tukasku yang ikut-ikutan nambah nasi karena melihat enaknya nafsu makan Saputra.
Cuaca yang sedikit mendung dengan awan yang menutupi sebagian matahari, . . . membuat cuaca di desa nenekku semakin dingin. Dinginnya cuaca yang diiringi gerimis tipis tak menurunkan minat kami berempat untuk menyantap pisang goreng yang disajikan nenekku.
”Pokoknya Kita bakalan ke sungai itu lagi, ikannya masih banyak Bro . . .”tukas Saputra dengan semangat yang sama seperti kemarin pagi.
”KITA . . . Ogah gue . . . mendingan nonton TV atau tiduran . . . dingin-dingin begini mau nyebur sungai apa??” sambung Dino yang terlihat kurang setuju sambil mempererat jaketnya.
“Gak mau juga gak rugi kok, Lagian Elo anak mami . . . enaknya bantuin cuci piring aja deeeh . . . ” imbuh Saputra sambil ngejitak kepala Dino.
”Ya sana ke sungai . . . biar mati kedinginan Elo semua . . . Gue Ogahan . .” tukas Dino lagi sambil menghabiskan kopi manis di depannya.
”Awaaaas Yaa . . . kalau gak ikutan. Elo bakalan tak lemparin duluan ke kandang sapi . . kita harus setia kawan Bro . . .” tukasku bergurau pada Dino.
”Oke . . oke ayo kita berangkat!! . . . gerimis-gerimis begini???? Dasar otak udang semua” sungut Dino sambil bangkit dari tempat duduknya.
”Tapi nanti kan dapet ikan banyak . . . dan Elo doyan kan Bro . . ..” tukas Anggara sambil bangkit dan merangkul Dino.
***
Mantab sudah pagi itu yang diiringi mendung dan gerimis, tidak membuat semangat Saputra, Anggara dan tentunya Aku serta tidak ketinggalan Dino yang karena desakan, ikut menjala dan memancing juga di sungai yang sama. Sungai Sigites yang jernih dan dalam. Ketika kami sudah sampai pelataran dan hendak keluar dari halaman rumah, tiba-tiba Rani keluar.
”Kakak . . . kakak tunggu Rani . . . Rani ikut” teriak adikku Rani dari dalam rumah. Dengan berlari tak mempedulikan cipratan air ke roknya yang putih bergambar bunga-bunga, ia sudah di depan kami dengan menyangklong kepis yang sama seperti tempo hari.
”Rani . . . sekarang sedang gerimis besok saja ya! kalau cuaca panas . . .” tukasku sambil merangkul Rani.
”Ta . . . tapi Rani ingin ikut dan dapat ikan banyak seperti kemarin . . .” tukas Adikku yang cantik sambil bersungut-sungut menampakkan wajah memelas.
”Rani sayang . . . kakak janji deeeh . . . nanti dapat ikan banyak dan untuk Rani semua” tukas Saputra menyenangkan hati adiku.
”Ta . . . tapi beneran Loo nanti Rani dikasih ikannya yaaaa!!” tukas adikku yang terlihat senang dan tidak keberatan karena tidak ikut ke sungai.
”Iya . . . nanti Rani bakalan dapat ikannya kalau Kakak Putra dipinjemin kepisnya Rani!!!” pinta Saputra kemudian karena memang sedari tadi ia tidak membawa kepis.
***
Setibanya di sungai kami berempat langsung menuju ke kedung yang berair tenang dan yang pastinya banyak ikan. Sedangkan Dino hanya duduk saja sambil menunggui pancingnya tertarik oleh ikan. Ketika Saputra dan Anggara mulai menebarkan jalanya ke tengah kedung, aku menyiapkan kepis yang akan digunakan sebagai wadah. Sedangkan kepis yang dibawa Saputra masih saja di cangklong karena terlalu bersemangat. Aku ingat janji Saputra pada Adikku Rani . . . bahwa ia akan memberikan ikan yang banyak dalam kepisnya dan mengembalikannya. Makannya ia begitu bersemangat menarik jala yang sudah membentang lebar ke tengah kedung.
Karena begitu semangatnya, Saputra berjalan ke bawah menuju bebatuan yang lebih rendah. Namun, ketika kakinya mulai melompat ke bawah . . . Saputra tergelincir dengan bebatuan yang diselimuti lumut tipis tapi cukup licin. Tanpa sepengetahuanku ia sudah terjebur ke dalam kedung yng tenang itu.
”Putra . . . Saputra . . .” teriak Anggara yang langsung menjatuhkan jalanya dan ikutan nyebur ke dalam kedung yang dalam itu. Sedangkan aku langsung teriak memanggil penduduk desa terdekat untuk meminta bantuan. Doni juga ikut membantu berteriak dari atas tebing.
”Angga . . . Angga hati-hati . . . Ini kedung dalam banget . . .ayo berusahalah . . .” teriak Dino yang sekilas kulihat wajahnya sudah pusat basi.
Menit demi menit berlalu dan berganti menjadi jam. Namun, tubuh Saputra belum nonggol juga ke permukaan, hanya Anggara saja yang sedang berusaha berenang ke tepian tebing. Hal itu membuat beberapa warga desa yang sudah kondang keberanian dan ketangkasannya berenang, ikut menjeburkan diri ke dalam kedung untuk menyelamatkan Saputra.
***
Di dalam rumah Adikku Rani menunggu dengan sabar. Ia terus mengayun-ayunkan kakinya yang mungil dan putih sambil berharap mendapatkan ikan yang banyak dari kepisnya yang ia pinjamkan. Samar-samar di balik pepohonan yang rindang . . terlihat Saputra yang berjalan dengan tergesa-gesa. Pakaiannya basah kuyup bahkan mukannya pucat basi dan berona kebiruan. Tingkah lakunya aneh. Dengan berjalan tergopoh-gopoh Saputra mendekati Rani. Rani yang melihat kedatangan Saputra langsung beranjak berdiri dan menghampirinya di halaman rumah. Dengan gerimis yang masih turun Rani dan Saputra berdiri di pelataran rumah.
”Kakak . . . Kakak . . ikanya mana? Rani minta . . .!!!” tanya Rani polos sambil setengah berlari. Sedangkan Saputra langsung berdiri mematung dengan wajah pucat dan terlihat kedinginan. Giginya bergemeletukan. Ia langsung menurunkan kepis dari cangklongannya tanpa menjawab pertanyaan Rani.
”Rani . . . kakak kembalikan kepis ini dan sudah ada ikannya. Kakak harus pergi lagi karena sudah ditunggu . . .” dan Saputra pun meninggalkan Rani yang terbengong kebingungan. Itulah pertemuan Saputra dan Rani untuk terakhir kalinnya. Karena yang datang sore itu adalah arwah Saputra yang merasa masih memiliki janji pada gadis kecil itu.
[1] Wadah ikan yang terbuat dari anyaman bambu hitam dan berbentuk menyerupai kendil

Tidak ada komentar: