Senin, 04 Januari 2010
MENCURI KARENA TERPAKSA
“Baiklah Saudari Fiona tolong ke depan untuk Presentasi makalah anda!” pinta ibu guru Rena yang cantik dan cerdas itu.
“Baik Bu . . .” jawab Fiona kemudian setelah beberapa menit berusaha mengumpulkan energi yang masih tersisa dalam tubuhnya. Walaupun tubuhnya super ceking, tapi Fiona masih memiliki tumpukan sedikit energi di bawah kulitnya yang sawo matang nan pucat.
Fiona adalah seorang gadis cantik tak berbapak yang dibesarkan oleh kedua kakek dan neneknya. Ibunya sudah menikah lagi dan merantau ke Sumatera dengan suami barunya dan memiliki dua anak, yang kemudian mereka menjadi dua adik tiri Fiona. Sedangkan ayah kandung Fiona telah meninggalkannya sebelum umurnya genap sebelas tahun. Sehingga sejak kecil ia menjadi asuhan kedua kakek dan nenek yang sangat menyayanginya, walaupun kehidupannya penuh dengan kemelaratan dan kemiskinan.
Fiona anak yang rajin dan suka bekerja keras. Ia acap kali membantu kedua kakek dan neneknya di lahan. Ia bisa menanam kacang panjang, kangkung darat, bayam, gembili, tela rambat, dan sayuran lainnya yang hasilnya ia jual sedangkan uangnya ia kumpulan untuk bisa membeli buku-buku bekas di rongsokan.
Hingga pagi itu ia disuruh presentasi tentang makalah ilmiahnya yang akan ia lombakan ke tingkat provinsi, tapi ia sedang merasakan perut yang melilit karena seperti biasanya ia tidak pernah sarapan pagi. Bukan karena tidak mau, . . . melainkan beras yang akan dimasak belum ada. Beras itu akan dapat ia makan disore hari . . . ketika kakeknya sudah berhasil menjual barang rongsokan yang dikumpulkannya sehari. Fiona tahu bahwa untuk bisa terus hidup . . . ia tidak bisa terus mengandalkan sawahnya yang hanya sepetak. Maka, selain membantu di sawah Fiona berusaha bekerja part time di sebuah lestoran sepulang sekolah. Seperti biasa pula ia menahan rasa lapar. Dan ia selalu menangguhkan rasa lapar yang perih itu hingga istirahat keduannya di siang hari.
“Metose ilmiah yang saya lakukan yaitu dengan metode eksperimental . . .” tukas Fiona menjelaskan sambil menggigit bibir bawahnya supaya tidak mencengkeram perutnya yang kempis.
“Jadi kesimpulan dari penelitian saya adalah bahwa Azolla pinnata atau paku kiambang dapat dijadikan alternatif pengganti pupuk urea yang ada di pasaran . . .” tutur Fiona pada akhirnya setelah sekitar dua puluh menit ia presentasi di depan teman-teman dan gurunya. Dan semuanya yang mendengar memberikan ap plause.
Beberapa menit kemudian bel istirahat pertama berbunyi, teman-teman Fiona langsung menghambur ke luar kelas. Ada yang menuju ke kantin, ke perpus, WC dan sebagainya. Sedangkan Fiona terduduk lemas tiada daya di meja. Sambil terus menggigit bibir ia menahan rasa lapar yang semakin menggerogoti sisa-sisa lemak yang ada dalam perutnya. Ia tidak berani memegang perutnya . . . karena takut ada temannya yang mengetahui bahwa setiap pagi ia sakit perut.
“Hallo Fio . . . keluar Yuk kok di kelas aja?” sapa salah satu temannya yang tergolong gendut sambil memberondong makanan di tangannya.
“Tidak aku di kelas aja . . .” jawab Fiona lirih sambil terus menunduk.
“Fio kamu sakit, kok wajah kamu pucat terus?”
“Enggak cuma kecapean . . .” jawab Fiola mengelak.
Walaupun Fiona dari golongan siswa menengah ke bawah, tapi melalui beasiswa prestasi ia dapat memasuki sekolah di SMA favorit di kotanya. Fiona tahu bahwa teman-temannya dari golongan menengah hingga menengah ke atas, sehingga untuk dapat sepadan dengan mereka ia harus mendongkrak nilai-nilainya supaya terus konstan di atas rata-rata kelas.
“Ya udah Gue keluar dulu Fio! . . . di dalam terus sumpek!” lanjut si gendut dengan nama Lala, tanpa menawarkan makanan yang sedang dibawanya.
***
Di kantin yang sumpek dan penuh . . . teman-teman Fiona sedang membicarakan cowok keren, yang menjadi idola sekaligus juara bertahan dalam menduduki nilai-nilai eksakta di kelas maupun umum. Tak hanya di situ saja . . . ia juga jago melukis dalam ekstrakurikuler seni rupa. Dia adalah Grant. Anak keturunan Jawa dengan California dengan wajah tirus dan putih. Dialah salah satu saingan terberat Fiona dalam hal kimia, biologi dan fisika. Namun, untuk nilai Fisika ia selalu menjadi juara dan perwakilan sekolah dalam setiap pertandingan Olimpiade. Dia adalah Grant.
“Wuuui Grant menang lagi dalam Olimpiade tingkat provinsi Loo!, . . . dia memang smart dan tampannya gak ada yang nandingin!!!” celetuk Lara bersemangat sambil menyeruput teh botolnya.
“Emang!!!, . . . tapi dia kagak pernah balas surat dan puisi gue yang gue taroh di kolong mejanya . . .!” celetuk Fifi kemudian sambil menunjukkan muka melonya.
“Ya Elo yang naroh puisi! . . . ampe Elo buluken kagak pernah yang namanya Grant mau balas” celetuk Lara kemudian dengan sinis.
“Idiiih apaan si Elo?, Jealous ya? . . . aku percaya suatu saat nanti Grant akan balas surat Gue!”
“Elo itu ibarat punguk merindukan bulan . . ., yang bulannya gak bakalan bersinar lagi . . . alias gak bakalan ada jawaban dari Grant” tukas Vita kemudian sambil menyikut lengan Fifi yang masih melongo membayangkan Grant.
“Kalau gue udah pasti! . . . cintanya gak bakalan ditolak ama Grant! Gue . . .
“Buktinya? . . .” tandas Fifi gak percaya pada Vita.
“Kemarin Grant nyapa gue Tuuh! . . . terus dia . . .
“Alaaah baru disapa aja udah kegeeran . . .,” potong Lara kemudian sambil nyengir.
Ketika mereka masih ngotot soal Grant . . . tiba-tiba anak yang dimaksud datang ke kantin dengan tiga kawanya yang sama-sama ganteng. Tapi . . . yang pastinya paling ganteng En smart adalah Grant. Seketika Lara, Fifi dan Vita melongo tak berkedip ketika Grant dan kawan-kawanya lewat di depan mereka.
***
Waktu pun terus bergulir hingga waktu istirahat yang hanya setengah jam di siang hari dengan matahari yang melotot tajam di atas ubun-ubun usai sudah. Semua guru-guru keluar dari kantornya untuk segera memberikan mata pelajaran. Semenit, dua menit, lima menit . . . hingga berakhir di lima belas menit kesabaran Fiona habis . . . dan ia pun keluar. Inilah waktu yang telah ditunggu-tunggu sejak tadi pagi. Dioa berjalan santai namun pelan . . .ia melewati belakang gedung yang cukup besar. Beberapa menit kemudian . .. Fiona sampai di sebelah kiri ruangan kantor yang besar itu dengan pintu yang terbuka. Di dalamnya sudah sepi hanya tinggal dua orang guru yang sedang berdiskusi. Fiona terpaksa menunggu di balik jendela kaca bening hingga kedua guru tersebut kelur ruangan.
Tak begitu lama Fiona pun telah berada di ambang pintu. Ia menebarkan sekilas pandangan ke atas meja. Masih ada beberapa bungkusan putih yang tertutup rapat belum terbuka. Itulah jatah makan siang beberapa gurunya yang belum disantap. Dengan Cekatan ia mengambil bungkusan putih yang terbuat dari sterofoam itu dengan cekatan. Sekilas ia mencium ayam goring hangat dan satur lodeh yang ada di dalamnya. Seketika Fiona menelan ludahnya. Kemudian dia tetap berjalan tenang dan langsung menuju ke belakang gedung, dengan rerimbunan pohon beringin yang batangnya tak dapat dijangkau oleh Fiona bila kedua tangannya ditautkan.
“Uuups . . . Fio?” celetuk sebuah suara ketika Fiona menyadari bahwa ia telah menubruk seseorang. Karena terlampau cepat berjalan ia tidak melihat Grant yang juga berjalan cepat dari arah berlawanan.
“Gr . . .Grant!!! ka . . . kamu . . .?” karena terlampau kelu untuk berucap . ..namun cukup sadar dengan apa yang sedang dibawanya . . ., Fio langsung menyembunyikan sterofoam putih itu di belakng punggungnya. Namun, Grant justru tersenyum . .. yang gak tahu apa maksudnya.
“Fio elo kenapa ?. . . kok pucat!”
“Ak . . . aku . . . Emmm . . .” karena sudah tertangkap basah, Fio pun tertunduk dengan tangan terjatuh di samping tubunya. Tangan kanan membawa bungkusan itu.
Tanpa sadar lengan Fiona telah di seret ke balik beringin itu oleh Grant. Merasa bersalah sekaligus lapar . . . Fiona tidak bisa berkata, melainkan terus tertunduk.
“Ok Fio . . . makan dulu . . . setelah itu kamu ceritakan padaku alasannya!”tugas Grant kemudian sambil menepuk-nepuk bahu Fiola yang terguncang karena menangis.
“Grant . . .
Tukas Fiola kemudian setelah sekian lama membisu.
“Janji tidak bilang siapa-siapa ya!” tukas Fiola sambil mengusap air matanya di punggung tangan.
“Ok . . . it is OK for me . . .” jawabnya kemudian sambil mengembangkan sebuah senyuman yang membuat hati Fiola menjadi tenang. Grant tidak marah, tidak mencaci, tidak menuduh . . .dan tidak mengeluarkan kata-kata yang akan membuat hati Fiona menjadi semakin ciut. Melainkan sebaliknya Grant tersenyum simpati.
“Grant . . . Ak . . . aku, mencuri jatah makan guru . . . aku . . .
Dan Fiona pun menceritakan perihal dirinya dengan terbuka. Ia terus menunduk dengan air mata yang terus mengalir deras. Ia percaya pada Grant . . .yang beberapa kali telah menjadi timnya dalam beberapa berlombaan. Dan Grant pun baik hati. Ta-tapi menceritakan kesulitan hidupnya itu adalah Privacy yang sudah lama ia jaga. Dan siang itu ia telah membuka tabir Privacy-nya sendiri dengan Grant yang mendengarkan tanpa sepatah katapun memotong.
“Sudahlah Fio . . . tidak apa-apa. Ini hapus air matamu!” tukas Grant kemudian sambil mengulurkan sapu tangannya.
“Ka-kamu tidk marah? Ka . . . kamu tidak menyalahkan aku? . . .” Tanya Fiola kemudian sambil mengusap air matanya. Sedangkan jatah makan siang itu belum ia makan.
“Ha . . . Ha Fio . . . Fio, kalau aku jadi kamu mungkin lebih parah lagi. Aku juga pernah nyolong ayam ketika sedang liburan ke rumah nenekku. Sudahlah . . . tidak usah kamu pikirkan. Anggap saja sedang memberi pelajaran balik ke guru-guru kita . . . yang emang udah kaya-kaya kan? Mereka itu udah kelebihan makanan Fio. Lihat Tuuu bawaannya aja mobil semua. Jadi, sebungkus makanan yang hilang di siang hari, bagi mereka ibarat secuil nasi yang jatuh ke kolong jembatan.” Tukas Grant kemudian dengan rendah diri. Padahal ia juga anaknya orang kaya.
“Fio . . . kita sahabat bukan? Kalau ada kesulitan jangan segan-segan bilang aku . ..yaaa!” tukas Grant kemudian sambil beranjak berdiri.
“Ok Fio yang manis. Gue ada Fisika Niih . . ., besok kita sambung lagi ceritanya. Intinya Elo kagak salah. Seharusnya mereka yang kaya-kaya lebih bersimpati . . .” tukas Grant terakhir kalinya sebelum meninggalkan Fio sendiri.
Setelah itu . . . Fiola memakan isi bungkusan itu dengan lahap tanpa ada beban. Dia berpikir . . . itulah makan siang hasil curianya untuk terakhir kali. Ia akan berusaha part time di kantin atau di tempatnya Pak Sarto yang jualan bakso supaya ia dapat makan.
***
Keesokan paginya . . . dengan napas ngos-ngosan sambil mengayuh sepedanya ia memasuki parkiran. Tinggal lima menit lagi bel masuk kelas berbunyi. Ia terlambat mengantar koran tadi pagi, gerimis tipis yang membuat jalanan licin membuat Fiona sulit ngebut, untungnya Fiona tidak jatuh dan baju seragam putih birunya masih cukup bersih . . . walaupun tidak dapat lagi dibilang baru.
Setibanya di kelas ia langsung terduduk dan memasukkan tasnya yang kucel ke dalam kolong meja. Tapi ia mendengar bunyi kemresek. Setelah ia intip . . . ternyata ada bungkusan yang entah apa isinya. Setelah ia mengintip sedikit . . . ada bau makanan yang menyeruak ke hidungnya dan langsung mengalir turun ke perutnya yang kosong. Dengan perasaan senang sekaligus bingung . . . Fiona menggigit sepotong gue yang masih hangat.
“Siapa yang menaruh ini?” Tanya Fiona dalam hati.
Keesokan paginya bungkusan itu ada lagi di kolong mejanya. Bahkan isinya beragam dari hari ke hari. Itu terus berlanjut hingga sudah seminggu Fiona menikmati makanan itu dengan gratis. Karena kepanasaran Fiona datang ke sekolah lebih awal dan mengintip dari balik jendela. Selang waktu tak lama Grant masuk dan mengeluarkan bungkusan itu dari tasnya lalu memasukkan ke dalam kolong meja Fiona.
Kejadian itu masih berlanjut hingga Fiona lulus dari sekolah Favorit di kotanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar