Senin, 04 Januari 2010

BAYANG 2 MALAM


“Aku kedinginan dan sendirian . . . jadi . .”
“Enyah kau dari sini Hai Sundal . . .” bentak Endri tanpa rasa takut sambil membidikkan pelatuknya dan gadis itupun menghilang.

Setelah ujian akhir semester berlalu Aku, Danang, Hani Endri dan Randy berencana untuk liburan bersama.
“Bro . . . gmana nih liburan kali ini . . ., gak asyik kalau gak naik gunung” cetus Endri yang berbadan paling tergap, atletis dan doyan banget yang namanya naik gunung.
“Iya Coi, gmana lau Sindoro atau Sumbing aja di daerah Dieng . . .” cetusku senang karena aku bisa mampir pulang ke Wonosobo.
“Waaaaah . . . . badanku gatel-gatel nih lau gak mandi gara-gara dingin . . . mending ke pantai aja, Gmana kalau Bali atau Lombok . . .” Tukas Hani yang berkantong paling tebal sekaligus paling penakut diantara kami.
“Elo mau bayarin kita semua apa? . . . buat makan Enn nginepnya, . . . kita-kita bayar sendiri deh Ngebisnya . . .” selorohku sambil menyikut Danang yang sedang asyik makan molen.
“Betul-betul . . . terutama makannya !!!!Gak mau kan kita nyampai Bali kelaparan dan terjangkit busuk lapar.
“Waaaaaah, . . . kalau Elo tuh gak bakalan terjangkit busuk lapar alias kurang Gizi kelebihan itu baru betul . . .” seloroh Endri “lihat tuh lemaknya dah berkerut-kerut di perutmu. . .
“Biarin . . . gini-gini juga aku pelihara . . .” sambung Danang lagi. Sedangkan si kerempeng Hani manggut-manggut saja, sambil ikut-ikutan njambret Molen di plastik. Sedangkan kawanku yang satunya Randy super pendiam, namun juga rada-rada encer otaknya. Dialah yang pinter cari akal bila kita semua sedang kesulitan. Baik kesulitan duit ataupun masalah pelajaran.
“Gmana nih Ran menurut Elo??” tanyaku padanya ketika kulihat ia hanya asyik baca buku aja.
“Enakan naik gunung atau berlayar di Kute Beach, Bali ??” tanya Endri lagi sambil ikutan ngambil molen yang keburu habis dimakan Danang.
“Liburan tengah semester kemarin kan kita dah ke Pangandaran . . . cari pengalaman yang lain lah . . .”jawabnya sambil membalik halaman buku berikutnya tanpa menoleh ke arah kita yang sedang mencubit-cubit perut Danang yang telah menghabiskan separo lebih molen yang kita beli bersama.
“Jadi kesimpulannya adalah . . .!!!” teriakku sambil mengangkat satu-satunya molen yang masih ada.
“Naik gunung . . .” jawab kita serempak.
“Ogaaaaaah . . . Elo-elo semua mau bikin gue jadi kerempeng apa????” Protes Danang sambil berdiri berkacak pinggang, sedangkan Endri dengan jahil melorotkan jelana kolornya yang kedodoran yang berukuran super Large.
“Ya pasti lah . . . di kecilin sedikit napa perut Elo” sambung Randy seakan membenarkan idenya.
“Waaaaaah kalian semua tega nih . . . masa aku disuruh naik gunung, berjalan lagi . . apa tidak ada . . .”
“Tidak ada tandu maksdunya?? “Tanya Endri “ Pasti ada Bro kalau Elo kungsep dulu ke kawahnya . ..” sambung Endri lagi sambil tertawa
“Ta . . . tapi naik gunung kan dingin . . . padahal aku . . .”
“Padahal kamu suka dingin kan . . .jangan kuatir gue bawain selimut, tenda, air padas, obat, obor dan mintak tanah biar menghangatkan Elo . .” tukasku kemudian pada Hani yang super manja.
“Kebakaran dong nanti . ..” celetuk Danang
“Tapi jangan tinggalin gue Looo . . . kita harus sama-sama terus, nanti kalau ada apa-apa mama dan papaku pasti akan . . .
“Mengubur Elo hidup-hidup . . . karena terlewat manja dan penakut” jawab Randy pedas sambil menyeringai nakal.
“Jangan kuatir kita semua pasti akan sama-sama terus dan saling membantu bila ada kesulitan, Oke Bro . .!!!!” pintaku pada mereka semua sambil menentramkan hati Hani yang rada-rada ciut.
“Iya bener dan jangan lupa bawa makanan . . . jangan sampai kita semua mati kelaparn dan kedinginan . . . mati dengan tidak terhormat . . .” tukas Danang lagi sambil menulis daftar makanan yang akan ia bawa.
“Waaaaah . . . dan jangan karena kebanyakan bawa makanan . . . kita semua jadi gak bisa jalan . . . kalau sampai seperti itu . . . Elo tak tinggalin di bukit . . .” hardik Endri
“Sialan . . . kalau ampe Elo ninggalin gue . . . tak doain mandul tujuh turunan Elo . .” sambung Danang lagi. Dan tak terasa percakapan kita yang tak ada henti-hentinya, membuat sebuah keputusan bulat bahwa minggu depan kita akan naik gunung ke daerah Dieng Wonosobo. Jadi lengkap sudah . . . aku bisa pulang sebentar dan mengambil beberapa peralatan, sebelum mulai perjalanan panjang.
Sabtu pagi kami berlima sudah berada di kaki Sumbeng. Di mulai dari Hani, dia sudah membawa peralatn perang lengkap dengan obat-obatan, baju hangat, selimut, dan beberapa peralatan untuk menghangatkan tubuhserta kompas dan peta. Sedangkan Endri yang bertubuh paling atletik, berotot dan kuat membawa peralatn kemah yang lebih berat, alas tidur dan tikar, yang cukup untuk kami berlima, jas hujan, peralatan tajam seperti pisau, belati dan diam-diam aku ketahui ia juga membawa pematuk dari ayahnya. Sedangkan temanku Randy yang berotak encer, membawa alat masak, baju penghangat, mie kering beserta bumbunya, beberapa buku petunjuk dan peralatan penting lainnya. Aku tak beda jauh dengan yang dibawa Endri, walaupun tubuhku tak sekuat endri namun lebih berotot dibandingkan Hani. Dan sudah pasti temanku yang satu itu memenuhi tasnya dengan makanan, baik kering maupun basah.
“Ingat Danang . . . jangan sampai makanan kami semua ludes sebelum sampai puncak . . ., kalau hal itu terjadi . . . kamu orang pertama yang tak masukin kawah . ..”tandas Endri kejam yang membuat Danang memasukkan separo bakpaonya ke dalam saku jaketnya. Sedangkan aku dan Hani hanya terkekek-kekek.
Ketika matahari sudah sedikit redup, . . . dengan sinar senjanya yang keemasan kami berlima mulai naik. Setelah semua peralatan dinyatakan lengkap dan kesehatan kami semua dinyatakan sehat walafiat . . . kecuali Danang yang berlebihan lemak, membuat kami lebih tenang apalagi ketika sampai di tanjakan pertama rasanya perjalanan panjang yang akan kita lalui terasa lebih mudah. Surup sudah tiba ketika kita sampai di pos pengamanan. Kita hanya makan dan beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya. Endri selaku ketua dari tim kami berharap, kami lebih cepat dalam berjalan dan tak banyak beristirahat supaya besok sebelum subuh sudah sampai di puncak Sumbeng. Namun, dari tadi aku yang berjalan paling belakang merasa perjalanan ini terasa sangat lambat meskipun langkah kaki semua sudah dipercepat. Setelah tiba di beberapa pos pengamanan dan kita melanjutkan perjalanan, aku merasakan ada seseorang yang terus mengikuti kita dari belakang. Aku tidak merasa takut walaupun bulu kuduku sesering mungkin berdiri dan bulu-bulu halus di lenganku merinding. Aku merasa risih bila diikuti terus. Sehingga untuk mengenyahkan pikitan itu aku berjalan berjajar bersama Randy yang ada di depanku.
“Ada apa . ..?” Tanya Randy padaku seakan ia mengetahui sesuatu hingga membuatku berjalan beriringan dengannya.
“Kamu merasakannya . . .?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan darinya.
“Iya dari tadi . . . semenjak pos pengaman . . . setelah tanjakan tajam yang kita lalui . . .” jawab Rendy sambil mempererat jaketnya . . . karena kurasai angin lebih kencang dan hawa dingin mulai menusuk-nusuk tulang kita. Aku dapat melihat dan merasakan-nya . . . walaupun kami berlima tak banyak bicara tapi kita merasakan akan kehadirannya.
Danang dan Hani saling berbisik dan merapat . . . sedangkan Endri selaku ketua tim mencoba mengalihkan perhatian kami dengan terus bercerita akan keindahan pagi ketika matahari mulai muncul dari perut bumi. Endri yang ikut merasakannya . . . terdengar jelas dari getaran suaranya. Kadang-kadang kami semua harus berhenti mendengar pohon tumbang seperti baru saja ditebang. Padahal tidak mungkin malam-malam begini ada orang yang menebang pohon liar. Dan kadang kami mencium semerbak bau harum silih gerganti dengan bau busuk yang membuat perutku mual bila tidak memakan permen mint. Kadang-kadang ada bayang-bayang yang menggelayut di sela-sela pantulan sinar rembulan. Hingga akhirnya Endri memutuskan untuk mendirikan tenta ketika kami telah sampai di areal yang lebih rata.
“Ok . . . kawan-kawanku semua . . . masih semangat kan . . .???” Tanya Endri mencoba mengenyahkan rasa takut dalam dada kita semua. Aku dan Endri mencari kayu bakar di sekitar tenda yang sedang didirikan. Setelah kayu terkumpul . . . jadilah api unggun yang dapat membakar rasa takut yang ada dalam sanubari kita. Randy memasak Mie dan memasukkan beberapa telur di dalamnya.
“Emang betul Ran . . . dari pada mikiran yang enggak-enggak lebih baik tak bantuin masak aja . . .” celetuk Danang sambil mengambil beberapa sawi dan daging matang dalam tas jinjingnya. Sedangkan teman-temanku yang lain mulai bernyanyi sambil memetik gitar kecil yang dibawa Randy.
Ketika aku sedang menuangkan mie hangat yang enak ke dalam mangkok . . ., bau semerbak wangi mulai kami cium. Dan ketika kami sedang asyik menyantap mie bayang –bayang itu memutari kami, tidak terlampau jauh dan tidak terlampau dekat pula.
“Sialan tampakkan wajahmu hai Syetan Betina . . .”hardik Endri yang rasanya telah memendam amarahnya sedari tadi. Setelah meletakkan mangkoknya ia mulai bersenandung dan membesarkan kembali api unggun yang mulai padam. Sedangkan di Sampingku Danang mulai mengantuk.
“Sudahlah . . . anggap saja seorang cewek centil yang sedang merajuk meminta perhatian . . .” tukasku padanya sambil menepuk punggung Endri.
“Oke sebelum istirahat . . . mari kita bertayamum dan Sholat berjamaah . . .” tukas Randy sambil menggelar karpetnya di dekat api unggun yang hangat. Ketika aku masuk ke tenda Danang dan Hani sudah meringkuk. Aku tak tega membangunkannya. Hani tadi sempat kumat asmanya . . . sedangkan Danang yang tak terbiasa berjalan jauh terlalu lelah untuk sekedar membuka sebelah matanya yang bulat. Jadi aku tak tega membangunkannya.
Hanya Aku, Endri dan Randylah yang sholat dan terus berjaga-jaga. Kami bertiga tidak tidur hanya minum bercangkir-cangkir coffimix yang dibawa Randy. Kita terus bernyanyi dan membakar sate yang sudah diramu dari rumah.
“Lebih baik kita ikut beristirahat barang beberapa jam . . . sebelum kita melanjutkan perjalanan dan sampai di puncak dini hari nanti . . .” pinta Endri bijak.
“Baiklah . . . kita memang butuh istirahat walaupun sindrom insomniaku selalu kambuh” tukas Randy sambil berlalu dan masuk ke tenda. Kami berlima tidur bersama dengan satu selimut besar dan tebal yang dibawa Endri. Beberapa menit kemudian aku merasakan kehangatan karena tubuhku merapat ke tubuh Danang yang penuh lemak. Samar-samar aku mendengar Danang berceloteh.
“He . . he . . . he geli jangan ah . . . jangan sentuh aku . . .” celoteh Danang lirih di dekat lelingaku.
“Jangan tarik aku . .. he . . .he . . .he” aku masih mendengar samar-samar celoteh Danang antara bangun dan tidur. Tapi kurasai tubuhku menjadi dingin. Selimut sedikit-demi sedikit melorot dari tubuhku. Aku pikir angin malam mulai menerobos masuk ke tenda hingga menyingkap selimut kami. Dengan sedikit kesadaran dan mata masih terpejam aku menggapai-gapai selimut yang semakin menghilang dari tubuhku.
“Danang . . . jangan rakus . . . beri aku sedikit selimut . . .” pintaku pada Danang yang ngorok di sebelahku. Hawa dingin mulai menyapu wajahku. Walaupun aku memakai jaket tebal . . . aku rasai angin malam mulai menyelundup masuk ke kulitku yang terbalut switer dan jaket tebal. Karena semakin menggigil . . aku bangun dan terduduk. Aku melihat Endri sedang mengucek-ngucek matanya dan berusaha untuk bangkit. Mataku dan mata Endri bertemu saling bertanya.
“Mana selimutnya . . .???’’ Tanya Endri lantang hingga membangunkan Randi, Hani dan terakhir Danang yang tidur pules. Aku yakin walaupun ia dijemplungin ke laut pun pasti tetap tidur pules kalau tidak aku bangunin. Mata kami semua langsung tertuju pada sudut tenda dimana selimut itu berkumpul. Endri langsung mengambil pelatuk dari balik jaketnya dan menyambar selimut itu. Dan ketika selimut tersingkap . . . seorang wanita dengan paras cantik menampakkan diri. Endri langsung melotot tajam sedangkan Hani dan Danang langsung menjerit gemetar sambil memeluk jaget Endri dari belakang.
“Aku kedinginan dan sendirian . . . jadi . . .”
“Enyah kau dari sini Hai Sundal . ..” bentak Endri tanpa rasa takut sambil membidikkan pelatuknya dan gadis itupun menghilang. Aku masih menahan napas tak percaya dengan apa yang aku lihat . . .

Tidak ada komentar: