“Tidak . . . aku akan melanjutkan . . . aku tetap akan sekolah !!!!!!”pintanya terakhir kali kepada orang tuanya yang memang tidak mampu.
Sore itu ia sedang terduduk diam di deretan bangku luliah yang besar dan luas. Dosen yang memberikan mata kuliah dengan semangatnya menjelaskan biokimia dan berbagai tetek bengek DNA dan susunanya. Teman-teman di sampingnya sedang kosentrasi untuk menyerap mata kuliah yang dianggapnya cukup rumit dalam bioteknologi itu. Semua tertunduk patuh mencatat rentetan tulisan cakar ayam yang ditulis dengan tertubu-buru. Mereka dengan segenap daya upaya sudah mencerna mentah-mentah istilah-istilah asing yang meluncur dengan derasnya membahana setiap sendi ruangan yang besar itu. Namun, lain halnya dengan Mala pikirannya sedang sibuk melayang jauh hingga membelah langit lazuardi yang hitam kelam di sore itu. Ia teringat bagaimana sulitnya untuk terus sekolah dan bertahan dalam pendiriannya di tengah-tengah budaya dan pola piker kolot yang hamper menghiasi setiap selubung lingkungannya.
Ia hanya berasal dari sebuah desa terpencil yang jauh dari sentuhan teknolohgi dan berkembangnya kemajuan. Seperti halnya orang-orang yang tinggal di dalamnya, di zaman yang semakin modern ini mereka masih berpandangan bahwa seorang gadis yaitu perempuan sebaiknya tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi, cukup lulus SMP atau SMA lalu bekerja kalau perlu tidak usah jauh-jauh dari lingkungan orang tuannya, dan setelah itu menikah, punya anak dan mengurus rumah tangga. Mereka tak terbayangkan bagaimana seharusnya seorang wanita harus tumbuh dan berkembang. Bagaimana sebaiknya seorang wanita harus mendapatkan pendidikan yang layak, ilmu pengetahuan dan kemajuan, bukan keterbelakangan dan kebodohan yang selayaknya telah menjadi kutukan bagi dirinya semenjak pertama kali diciptakan.
Dan anehnya kutukan itu seperti diterima begitu saja oleh sebagian besar wanita di lingkungannnya, mereka tidak berani menolak ataupun memberontak akan perubahan nasibnya yang seakan telah tercetak tanpa bias diubah kembali. Mereka menerimanya dengan pasrah, tanpa daya dan kekuatan untuk menggempur tembok-tembok penghalang yang mengekang hak-hak dan impiannya. Mereka tidak berani hanya untuk mengatakan ‘TIDAK’ pada lingkungannya. Mereka terlalu lemah untuk bangkit dari gubangan lumpur ketidak berdayaan dan mulai berdiri tegak melangkah untuk menyosong impian dan cita-citannya. Mereka hanya bisa membisu di dalam tawanya, hanya bisa bungkam dalam tangisan batinya. Mereka tak ubahnya seperti keledai dungi yang menurut saja diperintah, tak punya daya dan kebebasan untuk bertindak melawan dari aturan atau hokum yang telah melegenda sejak bertahun-tahun. Wanita seolah hanya berada dalam urutan kesekian dari daftar panjang orang-orang yang mengubah sejarah. Wanita hanya ada di rumah-dan di rumah. Mengurus segala rumah tangga, di dapur, dan segala pekerjaan yang monoton tanpa adanya pemasukan pemahaman dan pengtahuan bru untuk membangun anak-anaknya. Mereka hanya punya keinginan dan cita-cita namun, keinginan dan cita-citanya tak lebih dari sebuah awan putih yang tidak begitu lama akan berubah hitam dan menghilang diterba angin.
Ia benci akan nasib kawan-kawan gadisnya, nasib teman-teman seusiannya yang dengan gampangnya mereka menikah, punya anak, dan mengurus rumah tangga tanpa berani memberontak ataupun melawan. Ia melihat dnegan getir ketika teman-temannya bertemu dalam keadaan sudah menggendong anak pada usia di bawah dua puluh tahun. Senyum yang ditebarkan seakan senyum kepedihan yang tak bisa terucap. Tak terbayangkan dalam pikiran Mala untuk segera menikah dalam usia tujuh belas atau delapan belas tahun seperti teman-temannya. Mala berani melawan dan menggempur tembok yang menyelubungi cita-citanya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk terus sekolah. Mala mengingat percakapannya suatu ketika dengan orang tuanya.
“Tidak . . . . . aku tetap akan melanjutkan . . . aku tetap akan sekolah . . .!!!!!!”pintanya terakhir kali kepada orang tuanya yang memang tidak mampu. Jangankan untuk melanjutkan sekolah ke bangku perguruan tinggi, untuk tetap bertahan hidup di tengah-tengah mahalnya sembakopun begitu sulit. Sehingga ia memutuskan untuk part time job atau istilahnya kerja sambilan di sebuah rumah makan selepasnya hari terakhir ujian nasional. Sambil menunggu kelulusan tiba, Mala kerja full tiga bulan di sebuah rumah makan sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta guna melanjutkan kuliah. Setelah beberapa kali mendaftarkan diri ke uuniversitas dan dinyatakan telah ditutup, karena batas penerimaan mahasiswa baru telah usai, maka ia mendaftarkan diri di salah satu pergutuan tinggi dengan biaya hutang pada saudara-sudaranya. Dan untunglah ia mendapatkan keringanan biaya pembangunan, berhubung ia pernah memenangkan salah satu lomba karya tulis ilmiah ketika SMA di universitas tersebut.
Waktu itu adalah hari jumat, hari di mana akan merubah segala masa depannya. Ia pergi ke Jogja dengan membayar salah satu ojek di kampugnya, yang jauh lagi terpencil di salah satu propinsi di Jawa Tengah. Setelah dinyatakan diterima hari itu juga, Mala langsung mencari tempat kos yang terdekat dengan kampusnya yang terbaru. Setelah menempuh beberapa persyaratan hari seninpun ia langsung mengikuti kuliah, layaknya mahasiswa lainnya. Mala tidak mengikuti Osdi, Makraf dan beberapa kegitan lainnya yang selayaknya diikuti oleh seorang mahasiswa baru. Dan setelah hari itu iapun berubah, berubah menjadi Mala yang bekerja ekstra keras. Berhubung ia seorang mahasiswa baru, maka untuk beberapa minggu pertama belum dipadati oleh berbagai kuliah dan praktikum. Oleh karenannya, ia gunakan waktunya untuk mencari pekerjaan sambilan. Ia bersedia bekerja apa saja asalkan dapat terus hidup dan bersekolah. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan di sebuah loundri pakaian yang kemudian merangkap jaga warnet. Siangnya ia kuliah dan sorenya ia bekerja di Loundri. Sedangkan jaga warnetnya ia ambil shiff malam. Jadi singkatnya tak ada waktu untuknya istirahat, atau bermain layaknya teman-temannya yang lain. Minggupun ia gunakan untuk dobel shiff, karena siangnya ia tetap bekerja di loundri.
Hingga hari demi hari berlalu berganti menjadi bulan, dan Mala putuskan untuk keluar dari ketjannya di Loundri walauopun gajinya dinyatakan cukup untuk hidup. Ia putuskan untuk menerima pengetikan dan sesekali menerima pekerjaan mahasiswa lain yang upahnya cukup untuk ditabung guna membayar semester berikutnya. Rutinitasnya sungguh begiru terus hingga ia mendekati ujian akhir. Siang hari yang padat sampai sore, ditambah malamnya ia harus jaga di warnet sambil merangkap menerima pengetikan membuat seluruh tubuhnya lelah. Tak jarang Mala harus tiba dan melihat kembali tempat tidurnya pukul setengah dua malam, dan setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi selain cepat-cepat tidur. Sedangkan paginya, ia harus cepat-cepat bangun untuk masak dan segera berangkat kuliah. Hingga detik ini Mala menahan kantuk dan lelahnya di ruang kuliah . . . sedangkan dosennya masih tetap mengoceh menjelaskan rentetan genetika yang rumit dan membingungkan. Tapi Mala tetap . . . . .
“Mal . . . tolong jelaskan pembentukan protein mulai dari transcription sampai translation . . .!!!!!” pinta dosennya sekonyong-konyong yang membuat Mala langsung sadar dan kembali kea lam nyata.
“Ap . . . apa Bu . . . protein . . . ???” tanya Mala gelagapan. Dan kemudian dengan menahan rasa kantuk dan lelah sambil mengingat-ngiangt materi yang tadi malam sambil jaga warnet sempat ia buka di website, . . . Mala bangkit berdiri dan mulai menjelaskan di depan power point. Hingga slite demi slite berhasil ia selesaikan dengan cukup lancar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar