Lebih baik terasingkan daripada hidup dalam Kemunafikan
Angin dingin membelai reruntuhan dedaunan yang sedang berjalan mesra di awal musim dingin. Pohon oak, ash dan beech yang berumur ratusan tahun kering kerontang hanya meninggalkan ranting-rantinya yang kurus, berjatuhan digelitiki datangnya angin musim dingin di sebuah desa yang bernama Windy Point. Dengan lembut pula angin menerpa jendela apartemen Rena, di desa terpencil yang tenang itu yang terletak di sebelah selatan New Orleans. Bisa dinamakan desa karena ketenangan dan keindahan alamnya . . . namun mirip kota karena kelengkapan fasilitasnya.
Apartemen itu mirip sebuah cottage dengan bangunan yang sudah berumur dengan dinding merah bata yang banyak ditumbuhi lumut, namun tidak meninggalkan nilai artistiknya. Angin itu tidaklah membawa sepucuk surat atau kabar dari negeri yang nun jauh di ujung Timur. Melainkan hanya lambaian dedauan oak yang gugur. Daun itu mirip dengan daun glodokan yang hijau subur di negerinya, hanya saja bentuknya lebih kecil dan agak bulat dengan tepian sedikit bergerigi.
Di apartemenya Rena tetap bergeming pada angin yang membekukan kulit, burung dara yang menelusup masuk ke lorong-lorong gedung tua, segerombolan semak blueberry liar dengan buah-buah sisa musim panas yang mulai mati, ataupun tikus taman yang mencari lubang hibernasi, . . . ia terus melukis dan melukis. Tiga tahun sudah ia pergi dari negeri tercintanya, bukan pergi tapi lebih tepatnya menyembunyikan diri dari segala beban pikiran yang selalu membayanginya, dari luka yang menganga perih, dari keputusasaan dan dari sakit yang tak tertangguhkan.
Melarikan diri dan mengesampingkan rasa sakitnya lebih tepat dibandingkan melupakannya, . . . karena memang ia tidak bisa melupakan ataupun menghapus semua rasa sakit dan kecewa dalam hatinya. Harga dirinya sebagai seorang gadis seakan telah luntur, meleleh, menguap, menyublim tak terbendung.
Tiga setengah tahun masa penantiannya ketika gelar undergraduate ia dapatkan dari salah satu universitas bergengsi di negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi, dengan predikat cumlaude. Namun, waktu yang ia habiskan untuk menunggu itu tidak berbuah seperti yang diharapkannya. Melainkan mati seiring datangnya musim kemarau panjang di lahan gersang. Seseorang yang telah dinantinya dan berjanji akan mengikat janji suci setelah ia selesai belajar, justru meninggalkannya dan menikah dengan gadis pilihan orang tuannya. Luka yang ia rasakan semakin dalam, bukan karena perjodohan yang telah ditetapkan itu, melainkan kepasrahan yang diterima begitu saja oleh dirinya.
Tanpa banyak penolakan ataupun bantahan yang sewajarnya ada dalam diri seseorang yang bernama lelaki. Lelaki itu bernama Turzun. Apakah semua lelaki yang teramat patuh dan saleh itu, tidak berani membantah ataupun mengungkapkan isi hatinya pada oragtuanya? Ataukah barang sekedar menunjukkan bahwa dirinya mencintai gadis lain?. Tidak . . . ia tidak melakukannya sama sekali tidak, ia menerimanya dengan patuh dan trimo ing pantum, gadis yang akan menjadi istrinya seumur hidup dengan mengecampakkan Rena . . . gadis Jawa yang polos dan anggun itu.
Sedangkan yang menjadikan ia lebih remuk lagi adalah penolakannya pada seseorang lelaki yang berasal dari Riau. Ranah Minang yang terletak nun jauh di pulau Sumatera itu. Ia adalah teman sekuliahnya dulu, yang sangat mencintai dan menyayanginya. Ilham . . . ya dialah orangnya. Tiada cacat apapun dalam diri lelaki itu. Baik agama, keluarga, kedudukan maupun kepandaian. Ia saleh, anak orang kaya, pandai berbicara, smart dan setelah lulus nanti . . . sebuah kedudukan penting dalam perusahaan perkebunan telah menantinya. Ia akan memegang sebuah perkebunan kelapa sawit yang tidak dapat dibilang kecil. Dan dengan terang-terangan ia telah melamar Rena untuk menjadi istrinya, dan mengungkapkan segala isi hatinya di tahun terakhir ia belajar.
Tapi, yang membuat ia remuk redam dan penuh penyesalan adalah ia menolaknya dengan halus. Menolak hanya karena ia sudah mempunyai, sedang menunggu dan akan menikah dengan Turzun. Tetapi, seusainya ia belajar? . . . kenyataan berkata lain. Turzun harus pulang ke pelukan orang tuannya dan menikah dengan gadis yang telah dipilihnya.
“Sudah Rena . . . Sudah!!!” teriak Rena mengingatkan dirinya sendiri, seraya membanting kuasnya ke lantai berkarpet dan peranjak ke dapur untuk mengambil segelas kopi hangat. Di dapurnya yang mungil dengan tirai putih berajut rendra sedang melambai-lambai diterpa angin dingin. Di dapurnya tiadalah sampanye, wiski, sherry, brendy ataupun minuman penghangat tubuh yang selayaknya dimiliki setiap penghuni di negeri itu, melainkan hanya Nescaffe, kopi, teh dan susu, minuman yang selalu menyertai hari-hari dan tahunya yang berlalu dalam kesendirian.
Rena sangat menikmati pilihan hidup yang telah ditetapkannya. Dengan salah satu Scholarship yang diterimanya dari program AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation), ia bisa terus menyembunyikan dirinya dalam keterasingan sekaligus menyelami setiap bakat yang ada dalam dirinya.
Sambil meneguk cangkirnya hingga tinggal separo, Rena membersihkan peralatan lukisnya dan memasukkan ke dalam wadah seperti biasa. Ada aliran hangat yang meluncur ke kerongkongannya hingga menjalar ke tubuhnya dan sedikit menenangkan.
Kanvasnya yang masih separo kering dibiarkan terbuka dalam ruang kerjanya. Setelah itu ia memakai switer tebal, dirangkap jaket dengan penutup kepala berbulu yang hangat. Ia membuka pintu dan seketika udara dingin langsung menampar mukanya yang putih dan bersih . . . namun tidak menghapus eksotika wajah Asia.
Dengan langkah mantap nan cepat, Rena menelusuri jalanan yang lengang dengan dedaunan yang terus menggelitiki sepatu butnya yang tinggi. Di sekitar jalan ada beberapa rumah penduduk dan apartemen dengan model Gotic, sedangkan dipersimpangan jalan menuju ke kampusnya ada beberapa kedai dan cafe yang diperuntukkan untuk nongkrong anak-anak muda yang kebanyakan anak-anak seni.
Namun, Rena tidak menuju ke situ. Ada sebuah minimarket yang dapat dibilang super lengkap. Bahkan minimarket ini dapat melayani pembayaran listrik, telepon dan beberapa tagihan bulanan guna mengefektifkan waktu bagi konsumen. Tapi ia juga tidak masuk ke situ. Melainkan ke toko di sebelahnya.
Dilihat dari luar, toko itu seperti sebuah rumah sederhana yang bagian luarnya ditutupi oleh kaca hitam yang tak tembus pandang. Di bagian atas pintunya terukir nama Genvieve Grandeau Shop Art, pemilik toko sekaligus seorang Perancis yang ramah yang sudah dikenalnya beberapa tahun belakangan ini. Ketika Rena mendorong pintu yang agak berat itu . . . seketika udara hangat menjalar di tubuhnya. Lalu ia melepaskan jaket tebalnya dan sebuah sambutan hangat yang sudah dikenalnya langsung menyapa.
Ia mengatakan pada nyonya Grandeau keinginannya membeli beberapa kanvas dan cat minyak, karena persediaan yang ia miliki sudah mulai menipis. Tanpa banyak penjelasan lagi, nyonya Grandeau sudah mengetahui jenis dan merek apa yang dibutuhkan Rena.
Kemudian Rena berkeliling toko itu, melihat-lihat deretan lukisan yang sengaja di pajang. Salah satu lukisan aliran naturalis terlihat bercahaya karena terpaan lampu yang tepat di atasnya. Cahaya itu memantul di sekitarnya termasuk ke wajah Rena yang lembut. Sedangkan di sebelahnya berderetan biola dengan berbegai ukuran. Cahaya redup yang lembut mulai menenggelamkan imajinasi Rena pada lukisan sebuah sungai dengan hiasan perahu yang berjajar rapi, sedang di kanan kirinya hiruk pikuk aktivitas manusia. Tak pelak lagi bahwa itu adalah sebuah negeri kincir angin . . . dengan jalanan ramai khas Amsterdam.
Tahun pertama Rena di Windy Point, ia berkesemptan pergi ke Amsterdam untuk menghadiri sebuah pameran lukisan dan dua karya lukisannya laku terjual, hingga ia dapat secara teratur mengirimi orang tuannya, hingga intan sibungsu dapat terus sekolah hingga SMA.
Tiba-tiba dengan masih memandangi lukisan yang temaran itu, di kepala Rena berdengung “Yr wyf I yn dy garu di,” terdengar di telinganya “Fy nghalon I” Rena merasa betapa . . .
“Hallo Rena? . . .” sebuah suara yang dalam menggetarkan dan mengembalikkan kesadarannya. Memotong lamunanya yang mulai menyublim.
“P’a . . . Pak Gun Apa kabar? kebetulan sekali . .” tukas Rena kemudian setelah sadar dari lamunanya.
Namanya adalah Pak Gunawan Budiarto. Salah satu seniman Indonesia yang mendapatkan Ph.D di bidang seninya di salah satu universitas terkemuka di Boston. Dan beliaulah satu-satunya orang yang mewakili ratusan bahkan ribuan orang Indonesia yang beruntung hingga dapat menetap di New Orleans yang masih dekat dengan Windy Point.
Rasanya sungguh menyenangkan menemukan keluarga di tengah-tengah negeri asing. Pak Gunawan ibarat ayah Rena sendiri, bahkan beberapa kali Rena pernah diajak makan malam bersama keluarganya. Pak Gunawan menjadi salah satu orang yang memberikan setitik embun dalam hatinya yang kering. Hingga mendatangkan kesejukan dalam tiap petuah kata yang diluncurkannya.
“Ya kebetulan yang menyenangkan Nak . . .”tukas Pak Gun kemudian dengan jenaka, khas senyum kebapaan dengan bahasa ibu pertiwi yang masih teramat kental, walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di negeri orang.
“Apa yang sedang kau beli Nak Rena? . . .” Tanyanya kemudian sambil mengusap kepala Rena bak anak gadisnya sendiri. Lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Saya sedang mencari beberapa kanvas dan cat minyak! Bapak sendiri . . .?” Tanya Rena ingin tahu sambil menyunggingkan senyum.
“Ya tujuan yang sama denganmu nak . . ., Oya apakah bulan depan kau akan ikut pameran? ”
“Pameran? Dimana? Kapan? . . . kok saya seperti ketinggalan informasi setelah liburan ini . . .”tutur Rena dengan antusias, dengan menanggalkan segala formalitas.
“Makannya jadi anak jangan bandel. Mbok kolo-kolo dolan ke rumah. Liburan kok . . . ndelik terus . . .” tukasnya dengan dialek jawa campuran, tanpa menjawab pertanyaan Rena.
“Ok Pak! . . . inyaallah akhir pekan besok saya tak main. Tapi beneran ada pameran? dimana . . .?” tuntun Rena kemudian.
“Ini anak opo karepe kudu diturut, dijawab. Emm . . . bulan depan AMINEF penyandang dana Scholarship-mu mengadakan Program Pertukaran Seni dan Budaya, salah satunya pameran lukisan. Jadi, diharapkan beberapa bahkan semua mahasiswa seni yang mendapatkan Scholarshp memamerkan karya-karyanya. Tapi, itu semua dilakukan di Gedung Kesenian Ismail Marzuki . . .” jelasnya sambil berjalan beriringan menuju ke bagian depan.
“Maksudnya di Jak . . . Jakarta Pak?” tukas Rena tak percaya sambil menelan ludah.
“Kau tahu sendiri. Ismail Marzuki hanya ada di Jakarta. Ya di Indonesia tercinta, kau bisa sambil pulang kan? . . .” tukasnya kemudian sambil tersenyum pada nyonya Grandeau. Sekilas alis si- nyonya Grandeau terangkat sebelah, menandakan bahwa bahasa antah berantah yang ia dengar tak dimengerti.
Beberapa menit kemudian . . . kenangan pahit itu mulai menyusup ke dalam otaknya. Bersarang dan mengendap hingga menetesi sebagian luka yang belum mengering dan menjadikannya begitu perih. Ia pergi dari Indonesia untuk berusaha melupakan, mengesampingkan. Memang, tidak bisa ia terus mengasingkan diri, melarikan diri, suatu saat nanti ia harus pulang dan menelan mentah-mentah kenyataan.
Namun, tidak sekarang . . . tidak bulan depan, dirinya? hatinya? belum siap. Ia masih perlu menata lagi, memilah-milah hingga pada nantinya bisa menjawab tuntutan keluargannya untuk masa depan yang akan ia gayuh. Tidak . . . tidak sekarang maupun bulan depan. Jerit Rena dalam hatinya.
“Ren . . . Rena kamu sakit?” Tanya Pak Gun kemudian. Setelah beberapa kali panggilannya tak didengar. Sedangkan muka Rena semu putih kepucatan.
“Emmm . . . Apa? tidak . . . tidak, Sa-saya . . .
“Rena kamu pucat! Kamu sakit? Ayo Aku antar pulang . . .” tukas Pak Gun ramah.
“Ohhh . . tidak . . . saya tidak apa-apa. Mungkin udara dingin yang membuat saya sedikit mengigil. Saya akan pulang sekarang . . .” jawabnya kemudian.
“Baiklah kalau begitu. Aku harap kau tak mengangapku orang lain Nak, . . . bila ada sesuatu yang kau butuhkan kau bisa mehubungiku! ” tukasnya kemudian sebelum keluar dari toko dan memasuki mobilnya.
***
Gedung Ismail Marzuki yang besar penuh dengan orang. Tidak bersedak-desakan . . . namun cukup padat. Banyak pengunjung yang begitu antusias melihat pameran seni bertajuk seni pertukaran budaya dengan tangan-tangan seniman dari mancanegara. Walaupun tidak mengenal banyak pelukis, namun Rena yakin para kolektor, seniman, ataupun orang awam yang cinta seni berdatangan. Mungkin dari kepadatan pengunjung itu, muncul segelintir seniman nasional yang berdedikasi, atau seseorang yang pernah ia kenal. Dari sudut salah satu ruangan, Rena mengamati lukisan cat minyaknya. Sambil mengacuhkan berbagai komentar dari para pengunjung tentang lukisan itu, Rena tersenyum simpul.
Setelah pameran lukisan ini berakhir, Rena berjanji akan pulang ke Jawa Tengah sebentar untuk mengunjungi orang tua dan keluarganya. Sebelum akhirnya ia terbang kembali ke New Orleans dan tinggal di Windy Point yang tenang, dengan terus menciptakan karya-karyanya tanpa gangguan masa lalu yang menyedihkan. Selain melukis . . . ia juga akan menyelesaikan novelnya . . . lalu akan . . .
“Apakah itu lukisanmu Rena?. . .” celetuk sebuah suara membuyarkan lamunanya. Ketika Rena menoleh ke belakang . . . jantungnya langsung berdetak kencang. Ia mengenalnya . . .Ya . . . ia pernah dekat dengannya dialah Ilham. Apakah ini mimpi ataukah hanya ilusi . . .
“Masih kenal aku Ren? . . .” tanyanya kemudian yang membuat suara Rena tercekat di tenggorokan. Ingin rasanya ia bicara tapi terasa ngilu. Sedangkan sekujur tubuhnya seakan lunglai, sendi-sendinya terlepas dan meruntuhkan tubuhnya.
“IL . . . Ilham . . . kaukah itu?” tutur Rena tak percaya. Kemudian tanpa disangka-sangka hawa hangat menjalar di tangannya. Hangat, mantap dan terasa tak kan terlepas lagi. Tanpa perlu kata-kata penjelasan . . . Ilham menuntun Rena keluar dari gedung, seakan itu sebuah kewajiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar