Senin, 04 Januari 2010

PERAWAN TUA


“Sayaaang . . . aku ini sedang kesal dengan mamaku . . .!!!!”rajuknya kemudian seperti anak kecil, yang menjadikanku tak mengerti . . . ada apa lagi dengan mamanya yang baru saja ketemu setelah ia mendekati tua. Tapi dengan enteng saja aku menanggapi, karena tak ingin menyinggung perasaannya.

Usianya sudah beranjak tua, bahkan melewati batas normal seorang wanita yang selayaknya sudah menikah. Sekarang ia berumur tiga puluh enam tahun, dengan perawakan tegap, sehat, aktif bahkan segala tingkah lakunya lebih condong pada lelaki dibandingkan sebagai kodratnya. Sehari-harinya ia memakai celana pendek dan kaos singlet yang ketat, yang memperlihatkan hamper separo tubuhnya yang dapat dinyatakan hitam legam sunggu tak menarik. Namun, menurut penuturannya sendiri justru kehitaman-nyalah yang membuat dirinya menarik dan dinyatakan manis dari segi tak tahu lagi aku harus menilainya. Memang, orangnya super ramah . . . bahkan terlalu ramah bagi layaknya orang biasa. Dan yang membuat heran lagi, ia lebih suka latihan bina raga dan sesuatu yang berbau kelaki-lakian. Namun, justru olahraga yang digelutinya membuat dirinya beberapa kali menang dalam perlombaan tingkat daerah tentunya.
Hingga suatu kali, . . . ketika aku menyempatkan diri untuk mengobrol dengannya karena ia selalu secara langsung mengajak aku mengobrol, maka kuberanikan untuk bertanya.
“Mbak . . .apa mbak merasa enjoy dengan keadaan mbak yang sekarang ini. .”tanyaku tanpa tedeng aling-aling di sampingnya. Sedangkan yang ditanya dengan senangnya menjawab dan berceloteh kesana-kemari.
“Aku merasa senang Sayang . . . dengan keadaanku seperti sekarang ini . . .”jawabnya sambil meluncurkan kata-kata sayang yang menurutnya aku telah dianggapnya adik.
“Aku merasa enjoy banget dengan kesendirian . . . tanpa beban . . .tanpa tanggungan dan tak perlu repot-repot ngurusin anak dan suami . . .”lanjutnya sambil tersenyum .
“Ta . . .tapi apakah mbak pernah pacaran . . .?”tanyaku dengan polos dan hati-hati karena tak ingin menyinggung perasaan seseorang yang sedang duduk di sampingku.
“Ha . . ha . . .ha dasar anak kecil . . sudah lusinan kali yang namanya pacaran kulalui dan dengan cowok seperti apapun . . .” cetusnya lagi sambil merangkul bahuku yang memang tak sebesar bahunya tang tegap.
“Ap . . . apa tak ada yang cocok mbak . . .???” tanyaku kemudian sambil menyingkirkan lengan yang menggelayuti bahuku itu. Dan sebelum menjawab iapun tersenyum kepadaku sambil memandang dengan jenaka atau pandangan lain, marah atau entahlah yang tak bisa aku jelaskan.
“Tidak ada yang cocok . . . semua-muanya tidak sesuai dengan seleraku . . . tak ada yang imut-imut dan lucu . . . mereka semua hanya menginginkan sexs,” . . . dan aku tak menyukai mereka semua . . . tapi aku memang . ..”
“Memang selera mbak seperti apa . . .?”cekatku sambil bergeser karena dirasa sudah sedari tadi aku duduk di depan rumah bersamanya.
“Ha . . .ha . . .ha . .kau tanyakan selera Sayang . . .” jawabnya sambil tertawa tanpa sedikit menutup mulutnya dengan tangannya.
“Seleraku lain daripada yang lain . . . Ok kapan kita bisa makan bersama Sayang . . .”tanyanya kemudian sambil menanti jawabanku. Dan inilah pertanyaan yang sudah kutunggu-tunggu. Bagi kebanyakan anak kos . . .apalagi anak kos-kosan seperti diriku yang super mlarat . . .ajakan makan gratis merupakan rejeki nomplok yang gak bakal ditolak.
“Gak usah kapan-kapan lagi mbak . . . sekarangpun aku langsung angkat kaki!!!!”tukasku kemudian. Dan beberapa menit kemudian aku bersama mbak yang baik hati dan tidak sombong itu sudah makan nasi goreng di pinggiran jalan. Memang tak dapat disangkal bahwa nasi gorengnya enak. Lengkap dengan campuran daging ayam, udang, sosis, telur, dan beberpa sayuran lainnya, yang membuatku ketagihan. Untung mbaknya mau gratisin, jadi . . . mumpung ada gratisan aku minta tambah lagi, dan mbaknya pun tak menolak bahkan menganjurkan kalau memang aku masih lapar. Tahu sendiri . . .anak kuliahan kos-kosan lagi, sedari siang memang perutku belum terisi apalagi sorenya praktikum . . . jadi tuntas sudah hari ini aku cuma makan sekerat roti tadi pagi. Dan untungnya mbak ini mau mengajakku makan. Aku memang khusus pesan nasi goreng yang pedas . . . karena aku memang suka yang pedas.
Setelah makan malam bersama yang mengasyikkan itu, mbak yang baik hati itu jadi sering mengajakku makan bersama. Tidak hanya nasi goreng, tapi juga mie goreng, ayam, bakso, kentucky, gudek dan sederet makanan khas Jogja lainnya yang pastinya tak sekalipun aku tolak. Mungkin mbaknya menganggapku kasihan, karena aku anak kos yang jarang sekali jajan dan lebih senang masak sendiri. Memang, ajakan mbaknya telah membuatku jadi tidak bosan . . . , daripada setiap hari harus makan oseng-oseng kangkung, kacang panjang, sawi dan serentet sayuran lainnya yang membuatkan bosan. Tidak hanya sampai di situ saja kebaikan dan kemurahan mbak yang satu itu kepadaku. Sekali, duakali ia membelikan aku sepasnag sepatu, tas dan beberapa baju. Memang kebaikan mbak menurutku wjar-wajar saja. Dari delapan bersaudara yang semuanya perempuan semua, tinggal mbak dan satu adik cewek lagi yang belum menyempatkan diri menikah. Jadi mereka ingin memperlihatkan kasih sayangnya pada diriku yang terlihat lebih muda dan memang perlu diberi kasih sayang. Bukanya ke Ge-Eran, tapi nyatanya memang begitu. Kedua orangtuaku saja tak pernah sekalipun menengokku ketika aku belajar di universitas. Ya akupun maklm saja karena ayah dan ibuku memang tak punya cukup uang untuk bepergian jauh, apalagi ke Jogja yang harus memakan ratusan ribu untuk untuk sekali jalan.Jadi, ketika ada seseorang yang mau berbuat aik dan bermurah hati . . . ya apa salahnya ku terima, toh aku tidak pernah meminta.
Kebaikan dan kemurahan hati mbak-nya kuterima dengan positif saja, ya iseng-iseng sebagai ganti rugi atas waktu yang hilang karena seringnya aku harus ndengerin curhatnya. Hingga sore itupun terulang lagi, aku harus ududk berjam-jam di teras hanya untuk ndengerin mbaknya curhat . . . tapi untungnya setelah itu aku diajaknya makan lagi.
“Sayaaang . . . aku ini sedang kesal dengan mamaku . . .!!!!”rajuknya kemudian seperti anak kecil, yang menjadikanku tak mengerti . . . ada apa lagi dengan mamanya yang baru saja ketemu setelah ia mendekati tua. Tapi dengan enteng saja aku menanggapi, karena tak ingin menyinggung perasaannya.
“Ada apa lagi dengan mama mbak? Bukanya harmonis-harmonis saja . . .!!!!” tukasku kemudian sambil menahan tawa melihat wajah mbak yang cemberut di sela-sela goresan keriput yang nampak di sekitar matanya.
“Mama tidak mau aku ajak makan siang tadi . . . palah makan bareng sama teman satu kantorku . ..!!!” lanjutnya tanpa menghilangkan wajah cemberut yang masih menemplek di permukaan.
“Ya sabar aja mbak . . . mungkin mama mbak sedang sibuk atau memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan teman mbak di kantor . .. jadi ya wajar-wajar saja lah . . ., orang juga ingin berganti suasana kan . . .biar nampak fress. Kalau melihat mbak dengan mama yang baru saja mbak kenal itu terus-menerus jadinya monoton deh . .”jawabku sekenanya yang tampaknya terlihat logis dan masuk akal.
“Iya . . . tapikan mama sudah janji mau makan siang bersamaku . . .Sayang” lanjutnya sambil mengendorkan mukanya yang sedikit-demi sedikit beranjak tua.
“Ya sudahlah . . . masih banyak waktu kan untuk sekedar makan siang bersama???”tanyaku seakan memberikan solusi kepadnya.
Ya begitulah mbak itu, kadang-kadang terlihat aneh kadang-kadang juga bertingkah normal. Namanya Warsi, kutahu beberapa bulan setelah aku ngontrak rumah, keingintahuanku muncul seiring seringnya mbak itu muncul di depanku dengan muka ramahnya. Mbaknya muncul dan mengajakku ngobrol ketika aku sedang masak di dapur atau aktivitas lainnya. Memang dapaurku cukup terbuka, menjadikan siapa saja dapat menengok ke dalam jika mau. Sehingga, kebiasaan itu membuatku tahu segala masalah yang sedang dialami olehnya. Mulai dari masalah mamanya yang ketemu gede, hingga teman-temannya di kantor yang berlaku tidak adil kepadanya. Orang yang dipanggilnya mama itu juga sudah cukup umur namun, belum juga menikah. Umurnya sudah empat puluh dua, dan kebanyakan dari teman-temannya yang diceritakan juga banyak yang belum menikah. Mereka lebih senang mengembara dalam lautan pelayajangan. Untuk sore ini ia menceritakan tentang temannya Wulan. Mbak Warsi dan Wulan adalah teman satu kantor. Tapi Wulan seringkali yang mendapat kepercayaan dri Bosnya dibandingkan dengan dirinya, bahkan masalah keuangan baik pemasukan penjualan ataupun pengeluaran gaji ditangani oleh mbak Wulan. Hingga suatu kali ia dan Wulan ditugasi ke Jakarta untuk mempromosikan hasil karya gerabahnya yang menurutku unik-unik dan bagus. Bahkan aku pernah diberi satu jambangan berbentuk angsa dengan beberapa ukiran yang sangat bagus, dan ditafsir harganya di atas lima ratus ribu. Nah . . . setiap ada pameran di Jakarta dan di tempat-tempat lainnya, peran mbak Warsi lebih besar dibandingan Wulan karena memang ia bertugas dalam pemasaran. Sehingga sudah menjadi kebiasaan baha sehabis pameran maka perusahaannya akan banyak merauk untung. Dan harapan besar pun ada dalam diri mbak Warsi yaitu paling tidak mendapat tips atau bonus hasil dari kerja kerasnya. Namun, bonus ataupun tips yang selalu diharapkannya tak kunjung datang baik dari bosnya sendiri maupun dari Wulan yang bertugas mengurus keuangan. Bahkan acap kali perusahaannya mendapatkan pemasukan empat puluh juta lebih sekali mengadakan pameran, dan anehnya hanya Wulan sendiri yang dapat memborong belanjaan sehabis pameran. Sekali belanja ia dapat menghabiskan berjuta-juta rupiah untuk membeli pakaian, perhiasan, make up, dan tetek bengek lainnya yang menurutnya oleh-oleh untuk kekasihnya. Sehingga, segala tingkah laku Wulan telah tercium di hamper semua karyawan kantor, yang tak pelak lagi mereka semua menjadi membenci Wulan.
Ketika sedang kesal dan jengkel, ia selalu mengundangku ke kosnya. Ia akan menumpahkan segala kesedihan kepadaku hingga pada akhirnya ia akan memintaku untuk menemainya tidur. Ya bagiku wajar saja karena ia memang telah menganggapku sebagai adik yang mau berbagi suka dan duka dengan dirinya, yang hingga kini masih senang dengan kesendiriannya. Tak sekalipun aku merasa kawatir di dekatnya apalagi sama-sama wanita, dan yang lebih menjadikan aku betah adalah banyaknya makanan di dalam kamar kosnya yang menurutnya khusus dibelikan untukku. Ada berbagai macam jenis cemilan dan makanan kecil, bahklan kalau aku tidak habis boleh aku bawa pulang ke kosku sendiri.
Kebiasaan itu terus berlanjut karena aku merasa hepi, bahkan makanan yang seabrek itu acap kali aku bawa ke kampus dan di makan bersama dengan teman-temanku di kampus. Hingga suatu malam yang tak biasanya, yang menjadikan aku menjadi was-was. Ia memang mengelus rambutku seperti biasa layaknya kakak menyayangi adiknya. Namun, lama-kelamaan ia berani mengelus beberapa bagian tubuhku yang lain hingga aku bergidik dan menjauhkan diri. Hingga aku sadari bahwa mbak Warsi adalah seorang homo. Jadi, semenjak itu aku selalu menjauhinya.

Tidak ada komentar: