“Apa yang membuatmu begitu senang putriku sayang . . .??” celetuk mamanya masih tak percaya.
“Dia datang tadi malam mama . . . untuk yang terakhir kali . . .” tukasnya sambil keluar menenteng koper bawaanya ke mobil.
Mendung mulai menyelimuti langit sore yang tadinya cerah. Awan hitam bergelantungan di langit senja yang memilukan. Matahari yang melolot tajam di siang hari telah berganti dengan kegelapan suram. Hujan mulai deras. Butiranya bersahutan di genting rumah. Sedangkan percikannya membasahi gaun Indi yang putih lembut. Gaun itu berlengan panjang tipis dan berendra di bagian ujungnya. Panjangnya hingga menutupi lututnya, mengembang di terba angin sore yang nakal. Menggelitiki kulitnya yang putih dan halus bak pualam tersepuh.
Entah apa yang sedang dipikarnya. Kejadian serupa sering kali melandanya. Indi diam, memandangai langit kelabu, dan tak menghiraukan orang di sekitarnya. Ia duduk membeku dengan sesekali menitikkan air mata dalam wajahnya yang ayu tiada cela. Bahkan ia sering kali tak mengacuhkan nasehat dan rasa khawatir mamanya.
“Indi sudah hampir malam . . . kenapa kamu belum menutup jendela . ..” tegur mamanya lembut ketika Indi masih terduduk diam di pelataran kamarnya di lantai dua.
Indi tetap terduduk diam, . . . seakan tidak menggubris kehadiran mamanya. Hujan lebat tadi sore telah berhenti, digantikan rintik-rintik halus yang enggan mengeringkan dedaunan di pot kamar Indi. Indi masik membisu . . . ketika pembantuya meletakkan dua cangkir teh dan potongan kue kesayangannya. Tapi dia tetap diam.
Malam pun semakin larut. Hampir mendekati penghujung malam. Indi tetap duduk bergeming tanpa menyentuh teh ataupun kue kesukaannya. Hingga Dani duduk di sebelahnya.
Indi menoleh dan tersenyum. Senyum yang mengembang di bibir tipisnya akan membuat siapapun bergetar melihatnya. Matanya memancarkan kebahagian, bukan lagi kesedihan. Indi masih tersenyum tanpa bersuara. Hingga belaian lembut itu. . . hinggap di pipinya yang halus dan dingin.
“Kamu baik dan sehat kan . . .?” tanyanya kemudian memecah keheningan diantara mereka berdua. Indi yang ditanya hanya mengangguk pelan. Ia ingin mengangkat tangannya dan menggapai seseorang di sebelahnya, namun ia urungkan. Hingga tangan yang putih pucat dan dingin itu menyentuh lengan Indi yang halus.
“Kamu kemana saja . . .? perjalananmu mudah kan . . .? Tanya Indi kemudian sambil terus menatapnya.
“Ya . . . aku pergi kemana-mana . . . ke tempat yang aman termasuk di sini . .. di dekatmu . . .” jawabnya sambil tersenyum.
“Aman . . . dari siapa . . .???, bukankah tidak ada yang melukaimu lagi. . .” Tanya Indi tak percaya. Sinar matanya menahan titik air mata yang sudah menggendong di kelopak matanya. Sedangkan bulu lentik matanya mengejap-ngejap.
Dan beberapa menit kemudian Indi mendengar bapak penjual Siomay yang biasa lewat di depan pelataran rumahnya. Bunyi tik . . . tok . . . tik . . . tok, menciptakan keheningan di antara kami.
Bapak penjual Siomay memandang ke arah Indi. Matanya melotot terus . . . entah karena tidak ada yang membelinya. Ehhhh . . . bukan ke arah Indi tapi ke arah kita berdua. Dia terus melotot . . . dan mungkin kalau di lihat dari dekat matanya telah merah karena kesal kelamaan melotot. Hingga kemudian Indi melambaikan tangan pertanda tidak mau membeli.
“Apakah dia lihat aku . . .?
“Mungkin . . . tapi biarlah . . . kamu mau minum . .?” Tanya Indi tanpa menunggu jawaban, sambil menuangkan teh yang sudah dingin ke dalam cangkir.
“Aduuuh . .. maaf . .. tehnya sudah dingin biar aku amb . ..
“Tidak . . . tidak Indi aku tidak minum teh lagi . . . lupakah kau . . .?” ucapnya mengingatkan, sedangkan Indi duduk kembali tidak jadi mengambil teh.
“Bagaimana rasanya tidak minum teh atau kopi atau coffemix kesukaanmu . . .??”tukasnya lagi sambil menoleh ke arah samping.
“Ahhhhh . . . tiada rasa hanya dingin dan beku . . .” tukasnya pelan . . . seakan waktu telah merenggut sebagian suara merdunya.
“Indi . . . kamu bahagia kan tanpaku….?”yang ditanya justru ketawa
“Kamu ini . . . idiiiiiih masih seperti dulu . . . pertanyaan satu belum terjawab . . . mau tanya lagi . . .” tukas Indi riang seakan . . . acara ngobol diantara mereka berdua masih seperti dulu. Walaupun kenyataan telah berkata lain . . .
“Yang Apa . . . . Emmm . . .Ohhh yang tempat aman . . . aku aman kalau di tempat sepi Indi . . .”
“Dan kamu memang dari dulu suka yang sepi-sepi kan . . . hi . .. hi . .hi . .” celetuk Indi riang.
“Apakah kamu masih ingat kenangan SMA dulu . . .”
“Ya . . … walaupun aku sudah berganti-ganti tempat aku tidak pernah mepulakannya . . . Indiku Sayang . . . kamu suka hujan-hujanan sepulang sekolah dengan sepatu dilepas dan dijinjing . . . setelah itu aku boncengin kamu pulang dalam keadaan basah kuyup . . .” kenang Dani di samping Indi.
“Lalu . . ..”
“Lalu mamamu yang cantik itu akan terus mengomel sebelum kamu ganti baju dan pembantumu itu akan ikut-ikutan, . . . karena lantai yang habis dipel itu banyak bekas telapak kakimu yang kotor . . .
“He . . . He . . .he . . .”mereka tertawa berdua “Tapi . . . .”
“Tapi keesokan harinya ketika hujan turun kamu akan melakukannya lagi . . . .” dan mereka berduapun kembali tertawa.
“Apakah kamu masih suka melukis? . . . seperti dulu di SMA . . .kamu menculikku dan membawaku ke taman . . . lalu kau sibuk melukis . . .” keang Indi sambil tersenyum.
“Tidak . . . tidak ada yang bisa aku lukis . . . “jawabnya singkat sambil menatap Indi seakan obrolannya dikejar waktu “Kenapa kamu bertambah kurus . . .?” Tanya Dani lagi yang juga bertambah dingin.
“Ak . . . Aku .…. Aku tidak tahu Dani . . . kenapa Aku seperti ini . . .”
“Kamu harus bangkit Indi . . . harus melanjutkan hidupmu demi aku . . .”
“Ta . . . tapi aku tidak bisa!!! . . .” tukas Indi halus sambil menitikkan butiran hangat di wajahnya yang semakin hari bertambah tirus.
“Aku mohon Indi . . . sebentar lagi aku pergi . . . dan aku tidak . . .
“Tidaaaaaaak . . .” teriak indi dengan nada yang serak karena air matanya tumpah
“Indi Sayang Aku mohon berhentilah dengan segala mimpu . . ., kita tidak mungkin bersama terus . . . dan aku . . ..
“Tidak . . .” potong Indi pelan “ Aku masih bisa ketemu kamu kan . . . ?? kita masih bia mengobrol dan . . .
“Indi sadarlah . . . Aku sudah tidak ada . . . Aku dan kamu sudah berbeda . . . sebentr lagi aku akan pulang . . .
“Berjanjilah Dani . . . kamu sesekali datang ke mimpiku . . ., dan aku akan melanjutkan hidupku . . ., aku akan sakolah lagi” tukas Indi kemudian seakan tidak ingin melihat kepergian orang terdekatnya.
“Iya Indi . . . dan malam ini aku datang yang terakhir, sebelum Aku benar-benar pulang . . .” cetus Dani sedih dengan raut muka yang semakin putih pucat, nampak benar kehangatan matahari tidak pernah menyorotinya lagi.
“Dani . . . tetaplah di sini aku akan ambilkan sesuatu . . .!!!” pita Indi yang langsung berdiri dengan berpegng tangan kursi kayu. Sekilas Dani merasakan kesedihan dan kepuluan yang melanda Indi selama ini. Dari arah belakang tubuhnya semakin langsing, . . lngsing karena kurus.
Dani masih memandang ke depan dengan kosong ketika Indi sudah kembali di sebelahnya.
“Indi . . .berjanjilah supaya kamu banyak makan dan keluar rumah, berjanjilah Indi . . .demi aku . . . .
“Dani . . .ak . . aku
“Indi kalau Aku pulang keadaanmu masih seperti ini . . . aku tidak tenang Indi . . .” tukasnya lagi sambil mencengkerm bahu yang kurus itu erat-erat.
“Ak . ..Iya . . . aku berjanji . .. dan lihatlah Dani . . .” Indi membuka sebuah album tebal yang isinya beragam fotonya ketika SMA bersama Dani dan kawan-kawanya yang lain.
“Aku akan bangkit . . . aku akan hidup dengan ini . . ., kalau aku kangen aku bisa melihatmu di sini . . . bersamaku . . .” tukas Indi.
“Indi . . .” dan Dani pun memeluknya untuk terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.
***
Matahari pagi yang hangat . . . menelusup masuk melewati kelambu putih lembut di jedela kamar Indi. Kehangatanya menebar bau harum bunga yang bermekaran di taman. Sesekali angina pagi yang dingin menyibak rambut Indi yang tergerai panjang. Pagi ini ia akan berangkat ke Nederland karena beasiswa Erasmus Mundus. Indi akan melanjutkan belajar dan akan mendalami seni lukis. Wajahnya berseri-seri dan kelihatan lebih bahagia, walaupun sebentar lagi akan berpisah dengan mama dan papanya. Tak ada lagi goresan kesedihan di raut wajahnya yang cantik.
Ia mematung di depan cermin dengan seragam formal, bercirikan mahasiswa berprestasi kandidat penerima beasiswa. Ia sudah berjanji tadi malam, bahwa dirinya akan bangkit dan meenruskn hidup demi Dani.
Sesampainya di lantai dasar, . . . mama papanya terlihat kaget . . . karena penampilan Indi yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat bahkan lebih. Indi terlihat cantik dan berseri-seri . . .bahkan sudah siap dengan koper bawaannya yang super besar.
“Indi kamu tidak apa-apa kan . . .??” Tanya mamanya yang justru tampak gelisah.
“Indi sayang . . . benar kamu sudah siap ke bandara pagi ini . . .” Tanya papanya kemudian tanpa sempat menjawap pertanyaan pertama.
“Iya mama dan papa . . . aku sudah siap . . ..” jawab Indi singkat sambil mencium pipi mama dan papanya.
“Apa yang membuatmu begitu senang putriku sayang . . .??” celetuk mamanya masih tak percaya.
“Dia datang tadi malam mama . . . untuk yang terakhir kali . . .” tukasnya sambil keluar menenteng koper bawaanya ke mobil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar