Lain halnya dengan Intan, yang harus bangun sebelum subuh, menyalakan tungku, memasak air dan menanak nasi, kemudian menyambi mencuci berkakas, mencucu baju setembor, isi pakaian orang satu rumah, menyapu, memberi makan ternak, dan banyak sekali. Kalau lapar ingin sarapan, ya harus masak dulu, ingin mandi mandi sendiri, ingin baju yang bersih ya mencuci sendiri, dan itu baru berumur 8 tahun, baru kelas 2 SD. Betapa kakek dan neneknya mengajar keras pada dirinya sejak dini, dengan harapan suatu saat bisa bertarung keras berkompetisi melawan dingin dan kerasnya dunia luar.
Ketika akan berangkat sekolah Intan harus berjalan kaki, jangankan diantar pake sepeda motor, atau barang digandeng tangannya oleh ibu, ia harus berani berjalan sendiri menghadapi tantangan di jalan, seperti banyak kendaraan yang lewat, ada anjing tetangga yang siap menggonggong dan menggigit, ada banyak hewan ternak di jalanan, yang siap mengeluarkan kotoran, dan melewati pesawahan yang licin setelah digujur hujan. Tapi ia beranikan berangat dengan semangat menuntut ilmu. Jangankan Diberi saku dan antarpun tidak. begitu kerasnya ia harus belajar.
Namun, satu hal yang membuat dirinya merasa tenang, walaupun jarang diberi uang saku, karena kalau ingin jajan ia diharuska bekerja terlebih dahulu di lahan, ia tetap diwajibkan sarapan pagi, walaupun hanya dengan ikan asin atau sambal bawang mentah. Jadi perutnya merasa tenang, dan bisa menahan keinginan untuk jajan.
Banyak teman-temanya yang dengan enaknya membeli roti-roti manis, kembang gula, dan jajanan enak lainnya, namun Intan hanya menahan segala keinginan itu, karena memang ia tak punya uang untuk membelinya. Ia yang sejak kecil sudah tak punya ayah, bahkan semenjak ia dalam kandungan ibunya, ia tidak pernah merasakan sentuhan lembut ayahnya, usapan halus di kepala atau bahkan hanya memandang wajahnya. Jadi sejak bayi pun Intan sudah diajarkan untuk hidup tanpa ayah, untuk menjadi seorang gadis yang kuat, yang pemperani, yang berani bertarung berkompetisi dalam kejamnya hidup.
Oleh karena kesibukannya untuk bekerja dan belajar, ia jarang merasakan indahnya bermain dengan teman-temanya, ia banyak bekerja dan mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan untuk sekedar menonton televisi pun jarang ia lakukan. Anak yang barus berusia 8 tahun itu, harus bekerja di sawah membantu kakek neneknya menanam padi, memetik sayur untuk dijual, yang uangnya bisa ia gunakan untuk membeli buku. Bahkan bila ia ingin mendapatkan uang jajan yang lebih, ia harus berani bertempur dengan lumpur yang gatal untuk sekedar mencari sayur genjer, bila ia mendapatkan lebih dari satu ember, maka ia dapat menjual lebih banyak dan uangnya dapat ia belikan sedikit roti atuu es crim keliling kesukaannya. Begitulah kakek dan neneknya mengajarkannya. Hingga ia dapat terus melanjutkan pendidikan di SMP.
Ketika di SMP perjoengannya lebih keras lagi, dibandigkan di SD. Karena kakek dan neneknya tak dapat membiayainya, maka ia harus tinggal d rumah bibi dan pamanya unuk bisa terus sekolah. Di sana Ia harus membantu di sawah, mulai dari pagi sebelum berangakat sekolah, dan sesudah pulang sekolah hingga menjelang magrib tiba. Setelah itu ia harus mencari air di kali untuk mandi pamanya dan memenuhi gentong-gentong tampungan yang tidak sedikit jumlahnya. Baru setelah itu ia memasak untuk makan malam, lalu belanja untuk masak esok pagi sambil sekedar membelkkan cerutu untuk pamanya. Ketika menjelang malam baru ia bisa bergelut dengan buku-bukunya untuk sekedar mendapatkan beasiswa. Ia terus berjoeang untuk terus melanjutkan sekolahnya. Hingga suatu ketika ia mendapatkan beasisswa Full hingga ia lulus SMP, rasanya Perjueangannya selama ini tak sia-sia. Kerja kerasnya, belajarnya sambil menahan kantuk dan lelah, membuahkan hasil.
Waktu terus bergulir, hingga ia ia duduk di bangku SMA, dan kemudian ia bisa melanjutka ke perguruan tinggi.
Ingin tahu kelanjutannya . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar