skip to main | skip to sidebar

Liana Blogspot.com. Ubi Voluntas Es Ibi Es Via

Learning, Researching, Teaching, Motivating, Self Improving, Nature, Bology, Botany, Agriculture China-Xinjiang-Yili-Nilika-Wuzan Xiang Jiang a Mai Li Cun 0086 999 4 627 361 University of Urumqi Da Xiui

Sabtu, 29 November 2008

Posted by Ubi Voluntas Es Ibi Es Via at 03.04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Liana

Liana
Ganbate Kodashai

Mengenai Saya

Foto saya
Ubi Voluntas Es Ibi Es Via
Yogyakarta, Jawa tengah, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Label

  • Biodata-Ku
  • Botany
  • Journal
  • Liburan
  • Motivation
  • My first Writte
  • Nature
  • Principle Of Horticulture
  • Tentang Aku
  • सरिता-ceritaku

Hubungan Antara Etnis Cina dan Pribumi

BAB II Hubungan Antara Etnis Cina dan Pribumi (Studi Kasus Komunikasi Antarbudaya Etnis Cina dan Pribumi di Poncowinatan Kecamatan Jetis Kotamadya Yogyakarta) Pengantar Poncowinatan merupakan salah satu tempat tinggal orang-orang Cina. Di Kecamatan Jetis Kotamadya Yogyakarta. Keberadaan mereka terpusat di kawasan antara Kepatihan dan pasar Beringharjo, tepatnya di Ketandan, sepanjang Malioboro, Beskalan, dan Pajeksan. Bila ditinjau dari aspek keamanan, maka tempat tersebut merupakan tempat yang ideal, karena berada di antara kawasan penting, sehingga terjaga keamanannya. Uraian ini juga akan menjelaskan hubungan antara etnis Cina dan pribumi melalui komunikasi antarbudaya. A. Arti Pembauran atau perpaduan Kata “pembauran” bukanlah hal yang sederhana untuk dijelaskan. Kata ini bisa berarti pencampuran ataupun perpaduan. Pada pengertian “pencampuran”, ciri khas masing-masing budaya asal masing-masing tidak lagi terdeteksi, yang terbentuk adalah budaya yang baru (bejana pencampuran atau melting pot). Sedangkan pada pengertian “perpaduan”, masing-masing budaya masih menunjukkan ciri budaya dan masing-masing budaya itu sling melengkapi serta hidup berdampingan. Pembauran ini erat terkait dengan etnisitas etnis cina dengan etnis pribumi. Etnisitas selalu melibatkan minimal dua pihak etnis berbeda. Gerry van klinken mengingatkan bahwa persoalan etnisitas seperti yuang pernah dikatakan oleh Max Weber, terkait denga politik: ‘kepercayaan akan sebuah etnisitas bersama terutama diilhami oleh komunitas politik, tak peduli komunitas tersebut bersifat artifisial’ . Oleh karena itu etnisitas adalah konsep sosiologis yang diciptakan oleh politik dan tidak semata gejala primordial yang berdiri sendiri. Secara teoritis, pemerintahan Orde Baru mendoktrin pembauran sebagai asimilasi sebab pada kenyataan pemerintah Orde baru mengeluarkan berbagai kebijakan asimilasionis. Hal ini mengakibatkan adanya suatu pemaksaan meleburnya berbagai kebudayaan menjadi satu kebudayaan atau penyeragaman. Tak hanya terdapat etnis Cina sebetulnya, tapi juga pada etnis Indonesia yang lain, misalnya Keucik di Aceh, Pesirah di Palembang, dan Nagari di Minang berubah menjadi pemerintah desa. Program transmigrasi dilaksanakan tanpa memperhatikan aspek social dan budaya lingkungan setempat. Memang, pada decade ’60-an kebijakan pembauran asimilasionis diterapkan terhadap etnis Cina dengan lebih ketat, sebab sementara etnis Bugis masih bicara bahasa Bugis, etnis Dayak masih bicara bahasa dayak, etnis Minang masih bicara bahasa Minang, etnis Cina bahkan dilarang menggunakan bahasa nenek moyangnya di ranah publik. B. Pola Hubungan Antar Etnis Pembauran etnis Cina telah lama menjadi wacana terutama sejak masa pemerintahan Orde lama. Pembauran dalam bahasa sehari-hari memiliki makna yang luas, sementara itu pengertian pembauran dalam wacana ilmiah begitu beragam. Pembauran suatu kelompok di masyarakat dalam wacana ilmiah tidak langsung mengarah pada integrasi, asimilasi, atau pun akulturasi, tergantung pada usaha-usaha pembauran itu. Namun umumnya pembauran merujuk pada pola-pola relasi/interaksi tertentu antar kelompok etnis di masyarakat. Berikut macam pola-pola relasi/interaksi tersebut: a. Pola Relasi Pluralisme Budaya Pluralisme merupakan pola-pola relasi di mana setiap kelompok etnis membentuk lingkungan-lingkungan kecil yang segregatif dan tetap mempertahankan budayanya, akan tetapi diikat dalam sebuah system ekonomi politis dan membentuk sebuah masyarakat secara umum. Harold Abramson menyatakan bahwa pluralism merupakan “conditions that produce sustained ethnic differentiation and continued heterogeinity” . Tingkatan dari pluralism adalah pertama, pluralisme kultural dimana kelompok-kelompok masyarakat itu mempertahankan budaya masing-masing tanpa terjadinya segregai ruang hidup; kedua, pluralisme struktural merupakan bentuk eksterm dari pola relasi pluralism karena adanya segregasi ruang hidup masing-masing kelompok. Wirth (1945) memaparkan tipe-tipe minoritas berdasarkan bagaimana mereka merespon keadaan, salah satunya adalah minoritas pluralistik, yaitu kelompok minoritas yang berusaha membangun dan mempertahankan cara-cara budaya mereka saat mereka ada saat bersamaan berpartisipasi salam institusi-institusi sukarela biasanya menggunakan posisi ini setidaknya untuk masa-masa awal kedatangan mereka. Sebagian kelompok membawa ide-ide pluralistik lebih jauh, menghapus hampir semua sistem ekonomi, budaya, dn politik masyarakat umum, misalnya seperti kelompok Hutterities, Amish dan Hasidic Jews di Amerika Serikat yang memisahkan diri mereka meski sebenarnya mereka tidak ditolak kehadirannya oleh kelompok dominan. Minoritas pluralistis biasanya melakukan perkawinan endogami dan menguatkan kerekatan nilai-nilai dan norma-norma dalam kelompok. Dimensi pluralism adalah dimensi budaya dan struktural. Pada dimensi budaya, pluralisme ditunjukkan dengan terpeliharanya sistem-sistem budaya, sedangkan pada dimensi struktural, pluralisme ditunjukkan dengan eksistensi derajat segeregasi ruang-ruang kehidupan sosial dalam komunitas-komunitas. Dalam masyarakat multietnis, terdapat dua bentuk pluralism etnis, yaitu pluralism equalitarian dan inequalitarian. Pada pluralism equalitarian, kelompok-kelompok memelihara otonomi budaya dan struktur dan tetap mempertahankan kedudukan yang setara di kekuasaan ekonomi dn politik, selain itu keterpisahan mereka adalah hal yang sukarela dilakukan. Pada pluralisme inequalitarium, kelompok-kelompok mempertahankan segregasi struktur dan mungkin saja perbedaan budaya pula namun kedudukan mereka di kekuasaan ekonomi dan politik pada tingkat masyarakat luas tidaklah setara; keterpisahan kelompok biasanya terjadi karena paksaan. Pluralisme merupakan salah satu bentuk pembauran, sebagaimana yang disampaikan oleh Olsen (1991, dalam Habib, 2004) bahwa kelompok minoritas memang mungkin saja membaur sejauh kehendak kelompok minoritas, tetapi keragaman etnik dan rasial dihargai dan dihormati serta tiada satu pun bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas ditoleransi. b. Pola Relasi Asimilasionis Pengertian asimilasi berkebalikan dengan pengetian pluralisme. Judson landis merujuk asimilasi sebagai pencampuran maupun penyatuan beberapa budaya yang berbeda sehingga dua budaya atau lebih itu memiliki budaya yang umum diterima oleh semua pihak. Menurut Milton M Gordon, asimilasi adalah proses sosial yang terkait dengan proses dan hasil pertemuan dua kebudayaan atau lebih, yang mengharuskan para migran menyesuaikan diri kepada kebudayaan kelompok yang didatangi. Artinya, kebudayaan golongan mayoritaslah yang digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan individu atau kelompok ketika mereka menyesuaikan diri. Milton M Gordon (1964-61) menyatakan bahwa ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai para ahli sosiologi, sedang para ahli antropologi lebih suka mempergunakan istilah akulturasi. Akan tetapi, ciri-ciri struktural tidak nampak dalam pengertian akulturasi sedngkan dalam pengertian asimilasi ada hubungan bersifat sosio struktural: “sharing their experience” dan “incorporated with in a common cultural life”. Akulturasi adalah salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan asimilasi adalah bagian dari atau satu tahapan dari akulturasi. Akulturasi dimaknai Landis sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh grub minoritas untuk merasuk ke dalam (to blend in) dan untuk mengambil sebanyak mungkin karakter budaya dominan. Salah satu proses sosial lain yang erat kaitannya dengan pemahaman asimilisasi adalah akomodasi. Ernest W. Burgess (1957-404) menyajikan pengertian akomodsi sebagai: “Proses pembuatan penyesuaian sosial terhadap situasi-situasi dengan membangun jarak-jarak sosial di antara kelompok-kelompok dan orang-orang yang bisa jadi mengarah ke konflik. Akan tetapi akomodasi tidak selalu menciptakan asimilasi, terutama apa bila tidak terjadi kontak yang intensif dan mendalam”. Yang terjadi dalam akomodasi adalah kebiasaan-kebiasan lama pupus dan digantikan koordinasi baru. Dengan demikian, berbagai konflik dihindari dan berbagai kebiasaan lama diusahakan diubah serta disesuaikan, sehingga merek yang saling terlibat mendapatkan sesuatu yang berbeda atau yang baru. Ditandai dengan usaha menjaga keseimbangan, menjauhkan hal-hal yang bisa menimbulkan konflik. Abramson (1980) menjabarkan tiga bentuk asimilasi sempurna (complete assimilation) yang mungkin terjadi pada masyarakat multietnis, yaitu pertama, etnis minoritas berasimilasi ke kelompok etnis dominan. Ini artinya kelompok minoritas menanggalkan sebagian besar atau seluruh kebudayaan mereka sendiri dan mengadopsi budaya dominan. Kedua, masing-masing kelompok etnis berasimilasi ke bentuk etnisitas yang sama sekali baru, biasanya disebut bejana pencampuran (melting pot). Budaya baru ini tidak merujuk pada budaya dominan atau pun budaya minoritas. Ketiga, kelompok minoritas berasimilasi ke kelompok etnis atau etnis yang memiliki latar belakang yang tidak dominan, misalnya kelompok-kelompok etnis di USA berasimilasi ke kelompok-kelompok agama Protestan, Katolik dan Yahudi. Kelompok minoritas yang merespon keadaan dengan melakukan absorpsi kelompok mereka ke masyarakat yang lebih luas disebut minoritas asimilasionis. Namun di masyarakat multietnis, prasangka dan diskriminasi dari kelompok dominan masih sering dialami kelompok minoritas meski asimilasi adalah tujuan dari kelompok minoritas. Masih adanya prasangka dan diskriminasi itu menunjukkan tahap asimilasi yang dicapai menurut tahap asimilasi Gordon: Table 1. Tahapan Asimilasi Milton Gordon Tahapan Ciri-Ciri Asimilasi budaya dan perilaku (akulturasi) Perubahan pola-pola budaya ke budaya masyarakat penerima Asimilasi struktural Skala luas masuknya kelompok pendatang ke klik-klik, klub-klub, dan institusi-institusi masyarakat penerima. Asimilasi material (amalgamasi) Skala luas pernikahan antar kelompok Asimilasi Identifikasional Perkembangan cita rasa kebersamaan berdasarkan masyarakat penerima. Asimilasi penerimaan sikap Tidak ada prasangka Asimilasi penerima perilaku Tidak ada diskriminasi Asimilasi sipil Tidak ada konflik nilai dan kekuasaan Beberapa kelompok di masyarakat yang multietnis menunjukkan kecepatan dan hampir utuhnya asimilasi ke masyarakat yang lebih luas, namun sebagian kelompok lainnya tetp terpisah dan menjadi target prasangka dan diskriminasi. Marger (1994) menjelaskan bahwa terdapat beberapa factor penting yang membentuk pengalaman relasi antar kelompok, yaitu bagaimana tingkah laku (manner) suatu kelompok ketika ia memasuki kelompok yang lebih besar, kapan mereka memasuki kelompok lebih besar (semakin dini suatu kelompok memasuki suatu masyarakat, semakin diterima dan terasimilasi), factor dermografi (terpusat/tersebar, jumlah populasi), kesamaan budaya dan vesibilitas (kebutuhan , rasial). Secara konseptual, pluralisme dan asimilasi adalah hal yang berbeda. Namun untuk melihat kenyataan di masyarakat, Merger menegaskan bahwa ada beberapa hal yang perlu diingat: 1. Model relasi antar etnis tidak selalu kompatibel dengan kondisi masyarakat; 2. Kelompok masyarakat dapat berjalan mengikuti satu atau lebih alur beberapa antar etnis pada saat yang bersamaan; 3. Tidak ada satu pun alur relasi antar etnis yang tidak bisa berbalik; 4. Suatu konflik yang terjadi bisa menunjukkan karakteristik pola-pola relasi secara umum; dan 5. Proses dan hasil dari pola relasi antar etnis itu tergantung pada keinginan dan tujuan dari pihak kelompok dominan maupun minoritas. Dari penjelasan pola relasi etnis di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pengertian pembauran secara teoritis dapat dibagi menjadi dua macam aliran, yaitu pembauran pluralis dan pembauran asimilasionis. Melihat kenyataan di Indonesia pembauran yang terjadi dapat dikategorikan sebagai asimilasi (pembauran asimilasionis). Bagaimana pembauran asimilasionis di Indonesia itu dijelaskan di bawah ini. c. Pola Relasi Asimilasionis dan Hambatan Asimilasi Etnis Cina Sosiolog Melvin Tumin mendefinisikan kelompok etnis sebagai suatu kelompok sosial yang dalam suatu system kultural dan sosial yang lebih luas, mengklaim atau disetujui dengan status khusus dalam lingkup suatu ciri etnik yang komplek, yang dipamerkan atau dipercya untuk dipamerkan oleh kelompok tersebut. Kelompok etnis adalah subkultur, yang memelihara karakteristik-karakteristik perilaku tertentu yang dalam beberapa tingkat, memposisikan kelompok-kelompok tersebut dalam arus utama kultur masyarakat. Ciri-ciri cultural yang unik seperti itu merupakan gambaran dari kehidupan sosial. Kelompok minoritas adalah sekelompok orang yang berada di dalam suatu masyarakat yang mana kelompok itu menyadari bahwa mereka memiliki identitas yang berbeda umumnya dan dilihat sebagai kelompok yang diperlakukan berbeda oleh anggota-anggota masyarakat yang lain, meski secara matematis jumlah populasi kelompok itu besar, misalnya seperti kelompok minoritas orang-orang kulit hitam di Afrika, atau wanita di US. Perlakuan berbeda itu bisa berbentuk diingkarinya hak-hak kelompok. Menurut Landis, status minoritas itu timbul karena kebiasaan dan tradisi, dan kelompok manakah pemilik kekuasaan dan kekayaan. Di Indonesia, dari segi jumlah kelompok etnis, masyarakat etnis Jawa merupakan kelompok etnis yang dominan. Pada 1940, jumlah penduduk etnis Pribumi mencangkup 47% dari populasi di negeri ini. Apabila pertumbuhan populasi masing-masing etnis tidak berubah, tingkat jumlah populasi tiap etnis tidak jauh berbeda. Banyak macam kelompok minoritas di Indonesia, seperti etnis Bugis, hingga anak dalam. Namun, Etnis Pribumi dan etnis-etnis minoritas lainnya dianggap sebagai satu kesatuan pribumi yang mayoritas dalam konteks relasi dengan etnis Cina. Etnis Cina termasuk golongan karena jumlah mereka sedikit meski dari segi peranan ekonomi, warga Etnis Cina cenderung mempunyai peran yang cukup potensial. Mengutip pernyataan Bustanil Arifin dalam Pasific Business Forum, F.R. Wulandari menyebutkan bahwa populasi Etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia. Namun Poerwanto menyatakan bahwa dari segi kecenderungan perkawinan endogami dan subordinasi pribumi atas warga Etnis Cina, warga Etnis Cina tetap digolongkan sebagai kelompok minoritas. Selain sebagai kelompok minoritas, etnik Cina juga dipandang sebagai kaum pendatang. Salah satu ciri kelompok etnis adalah kelompok-kelompok etnis terikat dengan suatu teritori secara berbeda dalam masyarakat yang lebih besar. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh etnis Cina-Indonesia. Tidak seperti Etnis Pribumi yang terikat secara emosional dengan tanah jawa, atau pun Etnis Padang dengan tanah Sumatera Barat, Etnis Cina di Indonesia tidak terikat dengan teritori Indonesia sebagaimana kedua etnik yang penulis contohkan. Tanah leluhur Etnis Cina berada di wilayah Indonesia sehingga atas dasar inilah Etnis Cina dipandang sebagai etnis non pribumi. Peran pemerintah terhadap tata kehidupan kelompok etnis minoritas sangat berpengaruh. Kebijakan-kebijakan terhadap kaum etnik minoritas secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi tata pergaulan social dalam masyarakat. Beberapa kebijakan yang mungkin dilakukan terhadap kaum minoritas untuk pembauran adalah asimilasi dan pluralism. Etnis Cina misalnya, melakukan asimilasi terhadap etnis lain di Indonesia melalui anjuran dan pemaksaan sekaligus. Pembauran etnis Cina di Indonesia digalakkan pada masa pemerintah Orde Baru. Secara umum pemerintah Orde Baru mengadopsi konsep asimilasi daripada pluralism budaya. Istilah “asimilasi” itu memang pada masa Orde baru dengan sengaja digantikan dengan istilah “pembauran” oleh para pendukung kebijakan asimilasi. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Sebetulnya hanya etnis Cina yang memiliki karakter budaya yang kental. Namun, pemerintah Indonesia tidak menerapkan kebijakan etnis yang sama antar etnis yang satu dengan etnis lainnya. Misalnya terhadap etnis terasing seperti etnis Anak Dalam, etnik Kubu, beberapa etnik di Papua dan lainnya diupayakan untuk melakukan asimilasi dengan kehidupan yang lebih modern. Upaya yang dilakukan diantaranya dengan memukimkan mereka di dekat penduduk yang telah terbuka dengan dunia luar. Istilah yang sering dialamatkan untuk itu adalah transmigrasi lokal. Program transmigrasi yang dilakukan pemerintah secara tidak langsung juga merupakan kebijakan terhadap kelompok minoritas. Pengalihan penduduk dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain dilakukan dalam upaya mengikatkan wilayah-wilayah itu ke dalam negara kesatuan Indonesia. Kebijakan penaklukan dan pemusnahan atau penjinakan tidak dilakukan pemerintah Indonesia. Namun kebijakan terhadap etnik Aceh sedikit banyak mengandung upaya penaklukan. Dalam upaya mempertahankan wilayah Aceh ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia maka dilakukan penaklukan politis terhadap etnis Aceh. Kebijakan perlindungan legal terhadap kelompok etnik minoritas dimunculkan sebagai bagian dari kebijakan pluralis yang diambil pemerintah Indonesia. Tercatat, etnis yang telah menikmati perlindungan legal adalah etnis Badui di Jawa Barat yang memperoleh hak Istimewa atas tanah adapt. Proses integrasi itu sepertinya selalu satu paket dengan konflik. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1940, pembantaian Cina masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan missal etnis Cina di Jawa 1946-1948, Kerusuhan anti–Cina yang meletus secara berturut-turut juga terjadi pada akhir maret 1963 di daerah Sindanglaut dan Cirebon, meluas hingga Tegal dan Slawi, Bandung, Garut, Bogor dan Sukabumi. Pembantaian orang Cina dimulai lagi pada 1966, pada masa pemusnahan Gestapu. Kerusuhan yang lebih diarahkan pada hartabenda daripada manusianya meletus di Bandung (1963) dan di Solo serta Semarang (1980). Selain itu ada pula peristiwa 10 Mei 1963, dan Malari 1974. Terakhir, etnis Cina menjadi korban pembakaran dan pemerkosaan pada Kerusuhan Mei 1998. Menurut laporan Komnas HAM, korban terbunuh dalam tragedy itu sebanyak 1.188 orang, korban luka-luka sebanyak 101 orang dan korban perempuan etnis Cina diperkosa sebanyak 52 orang. Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan bahwa persoalan yang melibatkan etnis Cina telah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan dan kebijakan-kebijakan atnis yang diambil pemerintah masa kemerdekaan untuk menciptakan integrasi nasional bukan berarti tanpa masalah, termasuk dalam kasus asimilasi etnis Cina di Indonesia. Hambatan atau tantangan asimilasi etnis Cina di Indonesia mencangkup berbagai macam aspek, yaitu antara lain hambatan dari perbedaan budaya, perbedaan ras, perbedaan latar belakang sejarah patriotisme, perbedaan tingkat ekonomi dan solidaritas in group kelompok yang kuat. Semua hambatan itu masih diperparah dengan diskriminasi , prasangka dan sterotip yang terjadi antara kelompok mayoritas dan minoritas. Namun, berbagai bentuk hambatan asimilasi itu pun masih diperdebatkan para sosiolog mengenai sejauh manakah hambatan itu betul-betul menghambat asimilasi. Prasangka bukan monopoli minoritas semata. Kelompok mayoritas juga bisa sangat berprasangka. Dalam kasus Indonesia, prasangka terhadap minoritas etnis Cina cukup besar. Akan tetapi, khusus untuk prasangka terhadap etnis Cina, penyebabnya jauh lebih kompleks ketimbang sekedar posisi mayoritas-mayoritas. Faktor social politik, ekonomi, social dan sejarah turut menyumbang terhadap tumbuhnya prasangka terhadap mereka. Dalam keseharian kita seringkali menemui perkataan-perkataan sarkasme berkaitan dengan persepsi agresi terhadap kelompok etnis lain. Misalnya saat ada seorang anggota etnis Cina tertuduh sebagai koruptor, dan rumahnya juga dibakar massa, banyak anggota etnik lain menerimanya hanya karena korban adalah etnik Cina. Perkataan “rasain, dasar Cina!” kerap terdengar. Lie Te Tjeng menilai bahwa perbedaan latar belakang kebudayaan menyebabkan proses asimilasi berjalan tersendat. Perbedaan latar belakang kebudayaan itu sering menimbulkan prasangka, apakah itu menyangkut intelegensia, kesehatan, kesucian atau moralitas. Perbedaan itu terlihat dalam berbagai hal, misalnya bahasa, gaya hidup, adapt istiadat, memperingati hari raya dan aktivitas social, juga mengenai cara berpikir, sistem nilai budaya, sikap dan penilaian mereka terhadap karya dan keuntungan, cara-cara yang ditempuh guna mencari keuntungan material serta mobilitas social. Selain itu, Lie Te Tjeng berpendapat bahwa tersendatnya asimilasi disebabkan oleh perbedaan agama atau kepercayaan yang dianut orang Cina dan pribumi. Orang Cina menganut ajaran Kong Fu Tse, sedangkan agama yang dipeluk sebagian besar pribumi adalah agama Islam yang melarang makan babi. Asimilasi melalui agama dipandang sebagai sebagai jalan keluar oleh sebagian etnis Cina. Sebagian orang Cina-Indonesia berganti kepercayaan menjadi pemeluk agama Islam. Motif memeluk agama Islam bisa karena dua hal, yaitu panggilan hati dari dalam diri, atau demi diterima oleh masyarakat pribumi. Keun Won-jang, seorang mahasiswa muslim Korea di IAIN menyatakan dalam tesis masternya bahwa mayoritas orang Cina yang beralih ke agama Islam didorong oleh keinginan mereka untuk membebaskan diri dari status non pribumi, dan dengan cara ini mereka menghindari diskriminasi social. Mereka mencari rasa aman. Persamaan antara sesame muslim, seperti yang dipropagandakan Islam, memancarkan daya tarik bagi etnis Cina. Akan tetapi, alasan perbedaan agama dan budaya memiliki masih bisa dibantah dengan argument lain. Agama Islam dating ke Nusantara sekitar abad XIII M, sedang orang Cina yang Kong Fu Tse, jauh sebelum itu telah berkunjung ke Nusantara. Selain itu, dapat dipersoalkan apakah proses asimilasi berjalan lancar di daerah yang penduduknya non Islam dan makan daging babi seperti di Bali, Sulut dan maluku serta daerah lainnya? Untuk menjawab soal ini adalah menarik untuk menelaah karya yang ditulis oleh Chris Hartono (1974) bahwa gereja yang melatarbelakangi Cina masih dihinggapi prasangka terhadap masyarakat yang bukan sesamanya. Hal yang sama juga terjadi di kalangan sebagian orang Cina pemeluk agama Islam yang bernaung dalam wadah PITI, yaitu bahwa asimilasi melalui agama tidak mengurangi diskriminasi dan prasangka yang mereka alami. Latar belakang sejarah dan kebudayaan Indonesia berbeda dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan Arab dan India. Kontak atau hubungan antara orang Cina dengan penduduk Kepulauan Nusantara sama lamanya dengan orang Arab dan India. Unsur-unsur dalam kebudayaan Arab dan India begitu dominan pengaruh dalam kebudayaan Nusantara. Pengaruh budaya Cina juga terjadi. Coppel (2002) menunjukkan bahwa budaya Cina menunjukkan akulturasi dengan budaya Jawa lewat produk seperti batik dan wayang. Asimilasi melalui agama atau akulturasi budaya memang tidak menjamin warga etnis Cina terbebas dari diskriminasi dan prasangka. Paling tidak, asimilasi melalui agama itu menambah kesamaan identitas antara etnis Cina dengan pribumi. Namun, dalam hubungan mayoritas-mayoritas, diskriminasi dan prasangka memang adalah factor yang sering menghambat terjadinya asimilsi. Feagin (1978) membatasi diskriminasi sebagai aksi-aksi atau praktik-praktik yang dilakukan oleh anggota kelompok dominant, atau perwakilannya, yang mana aksi itu akhirnya menimbulkan dampak yang negative dan berbeda terhadap anggota kelompok subordinate. Diskriminasi dapat dipecah menjadi dua macam, yaitu diskriminasi individual, aksi-aksi terhadap kelompok minoritas biasanya disengaja dan merupakan perwujudan dari sikap prasangka. Sedangkan diskriminasi institusional adalah bentuk-bentuk diskriminasi yang terwujud dalam peraturan dan kebijakan dari suatu institusi sehingga hal itu mengakibatkan berkurangnya kesamaan kesempatan suatu kelompok dengan kelompok lain. Diskriminasi dan prasangka terhadap etnis Cina tidak berdiri sendiri. Yang jelas, dalam konteks hubungan orang Cina-pribumi di Indonesia, kurang tepat jika diskriminasi yang berlangsung dikaitkan dengan ras. Menurut Poerwanto (2004), seandainya terdapat unequal of equals, lebih disebabkan oleh hambatan psikologis, terutama karena persepsi mengenai perasaan memiliki atau terlibat serta loyalitas terhadap Negara. Hal ini bias ditelusuri dari latar belakang sejarah etnis Cina pada masa colonial beland, yaitu kebijakan pemerintah kolonial Belanda maupun struktur masyarakat pribumi pada masa itu yang masih feudal. Tabel 2. Argumentasi Penyebab Terhambatnya Asimilasi Kebijakan Kolonial Analisis Lie Tek Tjeng (1971) Tanggapan Hari Poerwanto (2004) Kebijakan kependudukan kolonial Belanda terhadap pribumi dan golongan etnis Cina Kebijakan-kebijakan itu menghambat terjadinya asimilasi. Jika masalah Cina di Indonesia dinilai sebagai warisan kolonial semata, jelaslah ada kecenderungan sikap selalu menyalahkan pihak ketiga, dogmatis dan mempertahankan status quo. Pemerintah kolonial membagi masyarakat Hindia Belanda menjadi tiga golongan, yaitu Europeanean, Vreemde Osterlingen (Cina, Arab, India) dan Inlanders (suku bangsa pribumi). Pembagian ini menyebabkan politik pemerintah lokal berdasarkan criteria ras daripada criteria kewarganegaraan. Secara psikologi, pembagian tersebut menghambat proses asimilasi. Kecenderungan berasimilasi ke atas, yakni kepada golongan Eropa lebih mudah disbanding asimilasi ke bawah, kepada golongan pribumi. Terjadi hambatan psikologi antara orang Cina dengan pribumi. Pelapisan masyarakat diperlukan oleh kolonial belanda untuk memudahkan penyelesaian konflik, meredam gejolak sehingga kepentingan Belanda terlindungi. Hambatan psikologis tidak akan terjadi bila orang Cina tidak merasa berbeda dengan pribumi. Namun orang Cina nyatanya menyebut pribumi dengan Hoan nah atau Fan yin yang berarti manusia barbar. Pemerintah colonial Belanda melakukan praktik devide et impera. Kaum ningrat feudal diperkenankan menduduki fungsi primer di pemerintahan; sednagkan minoritas asing menduduki sector sekunder, yaitu bidang ekonomi. Hal ini dilakukan belanda dengan dalih membela hak-hak pribumi. Tidak mengherankan bila selama tiga setengah abad perekonomian di nusantara dikuasai pedagang Cina. Perantauan Cina di Hindia Belanda adalah pendatang yang kebanyakan pendatang. Mereka tidak mungkin menjadi bagian dari system pemerintahan kerajaan lokal, sehingga orang Cina tidak menjadi pegawai kerajaan local melain pegawai pemerintah kolonial. Sementara itu pribumi banyak yang tidak tertarik menjadi pegawai pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial Belanda memperlakukan warga etnis Cina sebagai kesatuan yang terlepas dari masyarakat setempat, yakni dalam bentuk zooning system yang dipimpin oleh orang Cina sendiri. Terjadi pembatasan interaksi antara pribumi dengan orang Cina sehingga menghambat asimilasi. Jumlah orang cina di kepulauan Nusantara semakin besar sehingga untuk memudahkan pengawasan dan menjaga kepentingan kolonial maka dibentuklah zooning system. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak Cina sehingga menyebabkan munculnya generasi yang hanya bergaul dengan sesame golongannya sendiri. Hal ini menimbulkan eksklusivisme orang Cina yang menghambat asimilasi dengan pribumi. Sekolah khusus Cina (HCS) yang didirikan kolonial hanya menarik minat Cina peranakan, sedangkan Cina totok lebih memilih THHK yang menunjukan semangat nasionalisme Cina dan mempertahankan nilai leluhur. Pada masa pra kemerdekaan, Belanda mengeluarkan kebijakan berupa stratifikasi social di mana etnis Cina memiliki kedudukan lebih tinggi daripada etnis pribumi, pembatasan kawasan tempat tinggal dan usaha etnis Cina (zooning system), dan pendirian sekolah khusus Cina. Akan tetapi Poerwanto (2004) menyatakan bahwa diskriminasi itu lahir tidak semata-mata atas prakarsa pemerintah kolonial. PAda level masyarakat etnis Cina itu sendiri terutama Cina totok malah lebih memilih bersekolah di sekolah yang didirikan oleh komunitasnya, eksklusif dan berorientasi pada tanah leluhur. Selain itu, struktur pemerintahan pribumi juga membatasi etnis cina pada kegiatan ekonomi sehingga membri ruang gerak di bidang politik lokal. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda semakin menguatkan pluralitas masyarakat.Belanda tidak melakukan homogenisasi. Belanda menyadari bahwa masyarakat Indonesia saat itu sangat plural, artinya,setiap kelompok budaya tergabung dalam lingkungan-lingkungan kecil yang segregatif dan tetap mempertahankan budayanya, akan tetapi diikat dalam sebuah sistem ekonomi politis dan membentuk sebuah masyarakat secara umum. Di tiap daerah jajahan, pemerintah kolonial Belanda menerapkan pendekatan dan kebijakan yang berbeda, bahkan mempelajari secara khusus kebudayaan masyarakat lokal. Etnis Cina merupakan bagian dari masyarakat plural pada masa kolonial Belanda di Indonesia, mereka cenderung masih terikat dengan kebudayaan dan tradisi leluhur masih sangat kuat. Perkawinan eksogami pada kedatangan etnis Cina sebelum abad 19 itu pun tetap berkiblat pada kebudayaan Cina. Sejarah asimilasi pra kemerdekaan masih berlanjut hingga masa pendudukan Jepang. Heidhues (1974) menilai bahwa selama pendudukan Jepang, sebagian pemimpin Cina ditahan dan diisolasi dari perkembangan masyarakat Indonesia. Karena berbagai lembaga pendidikan Belanda dilarang, banyak generasi muda Cina baik peranakan maupun totok memasuki sekolah Cina yang masih diizinkan beroperasi. Hubungan orang Cina dengan pribumi menjadi semakin renggang, bahkan diantara kedua belah pihak terjadi saling tuduh. Insiden berdarah muncul, misalnya pembunuhan warga etnis Cina di Tanggerang, Banten dan pembakaran hara milik orang Cina di berbagai kota lainnya di pulau Jawa. Pda masa berikutnya, warga etnis Cina ditekan dan didorong pulang ke negeri leluhurnya. Latar belakang sejarah peran etnis Cina pada masa kolonial ini dilihat Habib (2004) sebagai referensi konstruksi sosial, baik di kalangan etnis Cina maupun pribumi. Bagaikan bola salju, konstruksi sosial itu terus menggelinding sepanjang perjalanan bangsa Indonesia sehingga diskriminasi, prasangka dan streotipdalam lingkar budaya maupun internasional. Selain itu, kondisi relasi etnis Cina-pribumi pada masa kini tidak bisa dilepaskan dari visi para pendiri negara (founding fathers) atas makna kebangsaan dan kebijakan asimilasionis yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru. Presiden Soekarno dalam sebuah pidatonya mengatakan “een natie met minoriteitein is geen nation” (nasion dengan minoritas bukanlah nasion). Pada masa Orde baru, umumnya tujuan kebijakan pembauran asimilasionis ini adalah memupuskan identitas budaya etnis Cina. Kebijakan asimilasi dilakukan baik melalui paksaan ataupun sebagai suatu anjuran. Titik tolak konsep asimilasi ini terdapat dalam Piagam Asimilasi yang merupakan hasil pemikiran bersama para pemuka masyarakat pulau Jawa, WNI Keturunan dan WNI Asli pada 13-15 Januari 1966. Pada piagam tersebut termaktub bahwa: “masuk dan diterimanya orang-orang yang berasal dari keturunan Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia tunggal sedemikian rupa sehingga akhirnya golongan yang semula khas tidak ada lagi.” Pemerintah Orba juga mengeluarkan berbagai kebijakan. Identitas budaya etnis Cina itu sedikit demi sedikit terhapus sejak pemerintah mengeluarkan aturan perubahan nama Cina ke nama lokal (1966); pelarangan festival-festival budaya Cina dan praktik-praktik tradisi Cina di ruang publik (1967); dan sekolah-sekolah Cina (1966). Konfusianisme yang menjadi salah satu bagian kehidupan relijius sebagian etnis Cina pada masa Orde Baru tidak diakui keberadaannya, karena Pancasila hanya mengakui konsep monoteis. Penganut Konfusianisme diakui pemerintah sebagai pemeluk Buddha dan klenteng diubah menjadi wihara. Namun, pemrintah Orde baru tetap membedakan etnis Cina dalam system penanda Kartu Tanda Pengenal (KTP), SBKRI maupun paspor. Kebijakan asimilasionis ini pada dasarnya diturunkan dari paradigma sosiologi yaitu teori keteraturan (order theories). Namun, bukan berarti pada kenyataan asimilasi ini berjalan lancar tanpa adanya konflik. Pertanyaan lain yang juga diajukan oleh para peneliti ilmu sosial berkenaan dengan hubungan antaretnik adalah kondisi sosial apa saja yang mendorong munculnya konflik antar kelompok? Menurut Kleden (1999), perbedaan etnis, budaya, ras bisa menimbulkan kesulitan berkomunikasi tetapi tidak sendirinya menimbulkan dendam antar etnik yang mendalam, yang membawa kepada kekerasan, paling mungkin hanya akan menimbulkan salah pengertian. Hubungan antar etnis baru menimbulkan permusuhan dan kekerasan kalau perbedaan antar etnis yang satu dengan etnis yang lain disertai juga dominasi politik atau pun ekonomi oleh etnis yang satu terhadap etnis yang lain. Dengan demikian konflik yang terjadi antar etnis Jawa dan Cina dilihat Kleden tidak semata permasalahan etnis dan ras, melainkan permasalahan politik ekonomi. Habib (2004) menyatakan bahwa masalah konflik antar etnis di Indonesia adalah masalah yang lebih banyak berhubungan dengan kebijakan pemerintah dan bukan masalah sentimen antar etnis. Sentimen etnis ini sering dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk membungkus konflik yang sebenarnya terjadi karena perbedaan kekuatan ekonomi dan politik, sebab perbedaan etnis secara relatif menjadi kriteria perbedaan kekuatan ekonomi politik. Hambatan asimilasi akhirnya tidak hanya dipandang tidak lagi sebagai masalah social budaya, melainkan juga politik ekonomi.Habib (2004) menerapkan preposisi Simmel, yaitu bahwa semakin suatu konflik menjadi bentuk-bentuk kekerasan, maka semakin meningkat derajat solidaritas internal dalam masing-masing kelompok, untuk menyoroti interaksi antar etnis Cina dengan etnis Jawa di pedesaan. Solidaritas ke dalam para suatu kelompok semakin mengental, maka salah satu penyebabnya adalah tingkat kekerasan konflikyang mereka alami. Usai krisis yang ditimbulkan PKI reda, situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian dirangsang oleh pemrintah Orde Baru, yang tentunya membutuhkan lebih banyak usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negeri, terutama dengan sesama teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara. Banyak etnis Cina mengalami peningkatan status ekonomi daripada kondisi sebelumhya. Akan tetapi pada sisi lain warga etnis Cina dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama (perkebunan, pertambangan, pertanian), dan dilarang memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) maupun kepolisian, dilarang menjadi pegawai administrasi sipil pemerintah dan dilarang memasuki perguruan tinggi negara. Ini berarti pemerintah Orde baru melakukan kebijakan yang diskriminatif pada aspek politik dan ekonomi terhadap etnis Cina. Kebijakan ekonomi yang diskriminatif terhadap etnis Cina sebenarnya sudah berlangsung sejak pemrintah Orde Lama. Status kuat ekonomi etnis Cina tidak berhenti pada masa penjajahan. Pada masa pemrintah Orde Lama, Sistem Banteng mempribumikan usaha-usaha asing, dan para pedagang etnis Cina diusir dari kawasan pedesaan pada awal tahun ’60-an. Pada masa Orde Baru, Keppres No. 14 tahun 1979 yang direvisi menjadi Keppres No. 14 A 1980 memberlakukan kebijakan bahwa departemen dan lembaga-lembaga pemerintah memberikan prioritas kepada para pengusaha dan kontraktor kelompok ekonomi lemah (yaitu pribumi Indonesia). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan itu ternyata tidak mengurangi peranan ekonomi etnis Cina di Indonesia. Pada satu sisi, secara formal pemerintah Indonesia membatasi ruang gerak ekonomi dan politik warga etnis Cina tetapi pada tingkat elit, masa Orde Baru ini merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyangga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian penguasaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menadi poin istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Di kalangan pribumi, kecurigaan besar muncul, yaitu bahwa kemajuan usaha kelompok etnis Cina semata-mata disebabkan oleh etos kerja mereka, melainkan juga karena telah berlangsung semacam kolusi antara para pejabat sebagai penguasa dan pengusaha etnis Cina. Etnis Cina memang tidak secara formal memiliki kekuasaan politik, akan tetapi kedekatan hubungan antara pengusaha etnis Cina dan para pejabat pemerintah telah memberikan imbas terhadap kekuasaan kelompok etnis Cina. Pada praktiknya, hubungan yang erat dengan etnis Cina berlangsung di tingkat politik elit Indonesia. Sebagian warga etnis Cina telah diidentifikasikan sebagai bagian dari kelompok para pejabat pemerintah. Rekanan etnis Cina dengan pejabat pribumi sering disebut dengan istilah Ali Baba. Bahkan, tidak jarang digambarkan bahwa penguasa sebenarnya adalah justru etnis Cina. Ambiguitas antara kebijakan yaitu pembatasan ruang ekonomi ini dan kedekatan warga etnis Cina dengan penguasa berdampak ke kalangan pribumi dan etnis Cina itu sendiri. Apalagi munculnya perusahaan-perusahaan yang dikuasai etnis Cina berdampak negatif, dengan tidak dilibatkannya pengusaha pribumi untuk bekerjasama dalam korporasi perusahaan-perusahaan. Efek negatif yang muncul adalah semakin tajamnya persaingan usaha pribumi dan non pribumi kecemburuan akan peranan ekonomi kalangan etnis Cina yang begitu besar dari kalangan pribumi. Sementara etnis Cina kalangan atas tanpa disadari menciptakan citra negatif, benih-benih permusuhan antara etnis Cina-pribumi tumbuh, terutama di kalangan masyarakat bawah. Posisi dan peran warga etnis Cina dalam sektor ekonomi yang begitu menonjol jika dibanding kaum pribumi, di masa kemerdekaan Indonesia seringkali dipandang sebagai sumber potensial bagi munculknya konflik, baik secara laten maupun terbuka. Faktor peranan ekonomi warga etnis Cina menambah deretan panjang hambatan asimilasi. Seandainya hubungan kedua kelompok tersebut dalam rangka persaingan ekonomi dan masing-masing membawa serta nilai-nilai mereka, maka sumber utama yang potensial bagi munculnya konflik cenderung mengeksploitasi perbedaan latar belakang ekonomi. Perbedaan latar belakang kebudayaan, suku bangsa dan golongan biasanya hanya dianggap sebagai faktor yang memperkuat saja. Dalam rangka hubungan mayoritas dan minoritas perbedaan latar belakang kebudayaan merupakan factor sekunder. Di satu pihak, perbedaan latar belakang ekonomi dapat menjadi sumber utama konflik, dalam hal ini perbedaan latar belakang kebudayaan merupakan sumber sekunder. Stereotip yang timbul dikaitkan dengan peranan ekonomi warga etnis Cina seperti semua orang etnis Cina itu kaya, dan etnis Cina pelit. Diskriminasi dan prasangka antara etnis Cina dan Pribumi barangkali masih berlangsung hingga saat ini. Akan tetapi, walaupun proses asimilasi etnis Cina di Indonesia tidak berlangsung tanpa konflik berdarah, kebijakan asimilasi yang ditetapkan pemerintah Orde Baru itu tampaknya cukup berhasil dari segi budaya. Arsitektur kuno Cina terancam punah karena pemilik menutup bangunan itu dengan mendirikan beton tinggi di depannya. Selain itu, banyak orang Cina masuk agama Nasrani dan sebagian memilih masuk agama Islam. Kalangan generasi muda etnis Cina tidak lagi banyak yang menguasai bahasa nenek moyang. Perkiraan kasar jumlah etnis Cina berada diantara 45-5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia, akan tetapi dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal usul mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai cina. Saat ini di Indonesia kebijakan yang dilakukan cenderung mengarah ke kebijakan pluralis, yaitu semua etnis minoritas dibiarkan untuk meneruskan tradisinya dan mempertahankan identitasnya. Semua etnis dibiarkan untuk menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan social. Akibat perubahan kebijakan ini cukup nyata di kelompok etnis cina. Sekolah-sekolah dan media berbahasa Cina diijinkan untuk beroperasi, dan berbagai ritual tradisi Cina bisa diselenggarakan. Bila akhir-akhir ini kita sering melihat adanya barongsai, tidak lain itu merupakan akibat dari kebijakan pluralis yang diambil pemerintah Indonesia. SBKRI dipertegas ditiadakan, meski pada praktiknya masih banyak orang Cina yang sulit mengurus administrasinya. Hubungan benci tapi cinta terhapat etnis Cina ini entah sampai kapan akan berakhir. d. Diskriminasi pada Etnis Cina Menonjolnya peran ekonomi etnis Cina di negeri ini selalu menjadi bagian pertimbangan pemerintah masa pra kemerdekaan maupun pemerintah masa kemerdekaan dalam menelurkan kebijakan etnis. Belanda menyadari bahwa peran ekonomi etnis Cina di Nusantara cukup kuat. Sementara itu rasa nasionalisme dan keinginan untuk merdeka diantara pribumi semakin mengental. Apalagi pribumi dan etnis Cina menyatukan kekuatan masing-masing, kedudukan pemerintah kolonial Belanda terancam. Oleh karenanya, ia menjalankan kebijakan-kebijakan yang pada dasarnya mengkotak-kotakkan dan meng-kelas-kan antara penduduk pribumi dengan etnis cina.Visi Soekarno mengenai kebangsaan pada awal kemerdekaan terhadap etnis Cina sebenarnya bisa dinilai sebagai usaha untuk menyeimbangkan aspek-aspek kehidupan Cina, yaitu mengurangi peranan ekonomi, dan menguatkan ciri khas ke-Indonesia-an pada budaya etnis Cina. Pandangan dan kebijakan pemerintah Soekarno dapat dianalisis memiliki tujuan agar etnis Cina lebih diterima oleh masyarakat pribumi yang telah terlanjur memersepsi etnis Cina sebagai anak pemerintah kolonial Belanda. Pada masa Orde Baru, kebijakan asimilasionis ditegaskan melalui pemberlakuan berbagai macam peraturan yang melunturkan identitas dan ekspresi budaya ke-Cina-an, dan tetap membatasi sektor ekonomi yang bisa digeluti oleh etnis Cina. Namun, etnis Cina selain memang memiliki jaringan bisnis yang kuat dan keterampilan bisnis yang mumpuni, peranan ekonomi etnis Cina tidak berkurang, bahkan semakin meningkat dengan adanya praktik-praktik per-cukong-an. Pada kehidupan akar rumput, meski identitas Cina berkurang, solidaritas in group kelompok etnis Cina dan pribumi semakin kuat karena prasangka yang belum selesai sejak masa kolonial, timbulnya konflik terbuka dan kenyataan bahwa rata-rata kehidupan ekonomi warga etnis Cina lebih kuat daripada pribumi. Charles Coppel pernah menuliskan: “Orang Tionghoa itu bagaikan memakan buah simalakamang bila memikirkan kegiatanpolitik. Jika mereka terbita dalam kegiatan oposisi,mereka dicap subversive. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik,meteka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untuk belaka.” Etnis Cina memang teraliensi dari kegiatan politik karena keadaan akibat kebijakan pemerintah menuntut demikian. Oleh pemerintah etnis Cina dilarang berkegiatan politik, di bidang ekonomi etnis Cina tidak disukai oleh kalangan pribumi. Pemerintah Orde Baru sebetulnya mewarisi reformasi dari pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan-kebijakan pemerintah reformasi yang membuka kran kemerdekaan. Etnis Cina adalah etnis minoritas dari segi jumlah populasi dan dipandang kuat dari segi ekonomi. Namun, peran ekonomi etnis Cina itulah yang malah menunjukkan etnis Cina sebagai golongan mediator dalam hirarki social system ekonomi Indonesia. Didi Kwartanada mengungkapkan peran etnis Cina sebagai perantara antara etnis cina yang menduduki posisi puncak hirarki kasta dengan etnis yang berada di posisi terbawah tidak hanya terjadi pada masa penjajahan kolonial, tapi juga pada masa kemerdekaan. Meski melayani minoritas dominant maupun subordinate, etnis Cina oleh karenanya rentan terhadap permusuhan dari luar dirinya pada masa-masa krisis. Ia bisa dijadikan kambing hitam oleh penguasa, sekaligus sumber kecemburuan sosial oleh kelompok subordinat. Etnis Cina mustahil menjadi pribumi apabila pribumi dimaknai dalam perspektif kesukubangsaan primordial. Sebab, etnis Cina tidak memiliki wilayah di Indonesia sebagai ‘kampung halaman’. Tidak sebagaimana Minangyang berkampung halaman di Padang, atau Bugis yang berkampung halaman di Makasar. Etnis Cina tidak perlu menjadi pribumi dalam pengertian tersebut untuk merasa terikat secara emosional dengan tanah air Indonesia. Akan tetapi, kalau ada etnis yang paling aman dari persoalan disentregrasi bangsa, maka dialah etnis Cina. Mau disintegrasi kepada siapa mereka? Sebab orang Cina itu telah melebur ke tanah bumi Indonesia ini. Mereka tidak punya teritori yang bisa menjadi alas an bahwa mereka merupakan ancaman bagi disintegrasi. Sebetulnya kebijakan etnis asimilasionis atau pun pluralis tidaklah menjadi masalah untuk diterapkan pada etnis Cina. Akan tetapi, untuk menjadi etnis yang asimilasionis, secara legal formal ia dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk menjadi plural, ekspresi budaya etnis Cina dilarang. Kebijakan asimilasionis yang setengah-setengah ini justru menjadi sumber konflik antara etnis Cina dengan pribumi. Dengan kata lain, selama ini secara politis pemerintahlah yang menyulut kemarahan masyarakat pribumi terhadap etnis Cina. Terbitlah reformasi menjadi peluang bagi komunitas etnis Cina untuk memilih cara yang terbaik menjadi warga Negara Indonesia secara wajar sebagaimana etnis-etnis lainnya di Indonesia. Hanya saja, akibat dari kebijakan asimilasionis yang setengah hati tersebut pemerintah masih perlu memikirkan apakah etnis Cina akan dianggap sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa di Indonesia atau mereka dianggap sebagai sukubangsa sendiri. Apabila etnis Cina dianggap selayaknya sukubangsa-sukubangsa lain di Indonesia, pembauran yang diterapkan kepada mereka adalah pembauran pluralis sebagaimana yang dialami oleh etnis lain. Apabila mereka dianggap sebagai sukubangsa tersendiri, budaya etnis Cina berarti akan disesuaikan (adjust) dengan budaya dominan (etnis lain) di Indonesia, yang bisa jadi penyesuaian itu akan menghilangkan budaya asli dari kalangan etnis tersebut. C. Etnis Cina di Yogyakrta Di Kecamatan Jetis Kotamadya Yogyakarta tepatnya di daerah Poncowinata banyak etnis Cina yang berdomisili dengan berbagai aktivitas perekonomiannya. Bila ditinjau dari aspek keamanan, maka tempat tersebut merupakan tempat yang ideal, karena berada di antara kawasan penting, sehingga terjaga keamanannya. Dengan terpusatnya pemukiman Cina mempermudah pihak Kesultanan untuk melindungi sekaligus mengawasi keberadaan etnis Cina, agar pemberontakan seperti geger Pecinan pada masa Kartasura tidak terulang. Lagi pula pada tahun 1900 pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan yang mengharuskan orang Cina untuk bertempat tinggal di daerah tertentu di kota. Sistem distrik khusus tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan terhadap mereka. Secara keseluruhan jumlah orang-orang Cina yang bermukim di Yogyakarta sejak awal berdirinya kota kerajaan ini, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun terutama pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwanan VII. Menurut data dari Bevolking Solo en Djokja tahun 1893 jumlah orang Cina di Yogyakarta sebanyak 3.245 orang, dan pada tahun 1920 berjumlah 5.643 orang. Kemudian peningkatan jumlah tersebut juga terjadi pada tahun 1970, yaitu sekitar 8.423 orang, selanjutnya dimasa orde baru karena adanya kerusuhan dan pembantaian masal pada etnis cina, maka jumlahnya berkurang menjadi 4.286. Dan setelah orde baru mengguling, selanjutnya Indonesia digantikan dengan sistem pemerintahan yang baru, serta keadaan keamanan di beberapa tempat di Indonesia telah membaik, maka jumlah etnis Cina di Indonesia khususnya di daerah Poncowinata mulai meningkat kembali. Pada tahun 2000 saja jumlahnya telah mencapai 10.548, kemudian 2005 mencapai 10.632, kemudian pada tahun 2007 berjumlah 10.782 dan menurut data terbaru pada tahun 2009 ini, etnis Cina di yogyakrta telah mencapai 11.234 orang. Sehingga dapat diperkirakan bahwa, hampir di setiap wilayah di kota Yogyakarta ada etnis cina-nya. Untuk memperjelas perkembangan jumlah etnis Cina di Yogyakarta, dapat dilihat pada tabel di bawah: Tabel 3. Perkembangan Jumlah Etnis Cina Di Yogyakarta Tahun 1893-2009 No Tahun Jumlah 1 1893 3.245 2 1920 5.643 3 1970 8.423 4 Orde Baru 4.286 5 2000 9.548 6 2005 10.632 7 2007 10.982 8 2009 11.234 Sumber: Data Diolah Seperti halnya di kota-kota pusat pemerintahan lainnya, khususnya di Yogyakarta Pemerintahan Belanda mengangkat seorang Kapiten Cina, yang di kalangan masyarakat Cina disebut Kongkoan. Kapite Cina pertama di Yogyakarta adalah To In (1755-1764). Pejabat selanjutnya adalah Gan Kek Ko, Tan Lek Ko, Gue jin Sing, Tan Jin Sing, Go Wi Kong dan terakhir Que Pin Sing. Di Poncowinata yang menjadi tempat tinggal mayoritas etnis Cina mempunyai keunikan secara fisik berupa arsitektur rumah tinggal dengan ragam hias, dan tata ruang bangunannya, juga fasilitas peribadatan yang berupa klenteng. Semula bangunan klenteng hanya ada di beberapa tempat saja seperti di Jalan Gondomanan saja, tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah warga dibangun lagi klenteng yang bertempat di belakang pasar Kranggan. Walaupun di dalam proses interaksi sosio-kultural kemudian warga Cina menganut agama yang beragam. Banyak dari etnis Cina yang pada awalnya beragama Konghuchu atau Buddha, namun pada akhirnya setelah melalui interaksi yang panjang dengan masyarakat sekitar dan terjadi pembauran yang kental diantara etnis, maka perubahan dan pergantian keyakinan sangat mungkin. Misalnya saja, masyarakat etnis Cina di daerah Poncowinata, pada awalnya memeluk agama nenek moyang mereka yang dibawa dari Cina, namun setelah berdiam diri dan berkomunikasi secara intens dengan masyarakat pribumi di Poncowinata, etnis Cina tersebut berubah aliran menjadi Islam atau agama kejawen yang kebanyakan dianut oleh masyarakat keraton. Hal tersebut juga sesuai dengan perkataan Tuan Kim Ho hasil wawancara penulis, dengan salah satu warga etnis Cina di Poncowinata: “Saya dan keluarga merasa senang hidup dan bekerja di Yogyakarta, karena masyarakat sekitar menerima saya dengan terbuka, selain itu tempatnya aman, jarang terjadi keributan seperti di tempat-tempat lainnya di Indonesia” Selanjutnya ia bercerita bahwa dirinya dan keluarga telah tinggal di Yogyakarta khususnya di Poncowinatan Kecamatan Jetis, selama 6 tahun. Ia menuturkan bahwa ia pergi ke Indonesia pada mulanya hanya untuk menjengok saudaranya yang di Yogyakarta, namun setelah mengetahui bahwa bisnis saudaranya sukses, maka Tuan Kim bermaksud untuk tinggal lebih lama di Indonesia khususnya Jogjakarta. BAB III PEMBAURAN ASIMILASIONIS ETNIS CINA DI PONCOWINATA A. Sejarah Kedatangan Etnis Cina di Indonersia Kedatangan Bangsa Cina ke Indonesia banyak disebabkan oleh adanya bencana seperti kelaparan, penyakit, serta peperangan yang tiada henti di Dataran Cina akibat perebutan kekuasaan. Masyarakat Cina golongan atas (Upper Class) yang terdiri atas kaum Bangsawan dan pelajar banyak yang melarikan diri ke dataran Eropa dan Amerika Utara, akan tetapi masyarakat Cina golongan bawah (lower level Class) yang terdiri atas pedagang, petani, dan buruh, lebih memilih Nanyang (Asia Tenggara) sebagai tempat tujuan migrasi. Sebagian besar yang melarikan diri tersebut pada generasi awal adalah kaum lelaki saja tanpa membawa wanita mengarungi lautan menuju kawasan Nusantara (+Abad 1 M). Para laki-laki migran Cina tersebut kemudian memilih untuk menikahi wanita-wanita lokal pribumi sehingga kemudian membentuk komunitas masyarakat Cina Peranakan. Masyarakat Cina peranakan ini berayah Cina Daratan dan beribu pribumi setempat menyerap kultur lokal sang Ibu, beragama Islam, serta berbahasa lokal setempat. Mereka juga menggunakan budaya sang ayah sehingga melahirkan budaya percampuran antara Cina dan Melayu. Perayaan Imlek yang dilakukan merupakan bukti diri bahwa mereka memiliki leluhur Cina. Hubungan yang harmonis antara masyarakat Cina dan pribumi yang terjalin baik selama ratusan tahun berubah ketika Belanda masuk ke Indonesia. Belanda menerapkan kebijakan untuk membentuk perkampungan berdasarkan etnis dan ini merupakan bentuk nyata politik devide et impera. Masyarakat Cina di Indonesia dipisahkan dari masyarakat pribumi, hal ini kemudian dipertegas dengan adanya aturan penggolongan penduduk dalam hukum perdata yang membagi penduduk dalam tiga golongan, yaitu: golongan Eropa, golongan Cina dan Timur Asing, serta Bumiputera (Pribumi). Hasilnya hingga sekarang dapat dilihat banyaknya kompleks perumahan yang dihuni oleh hanya satu etnis yang sama, demikian pula sekolah, hingga perkantoran di Indonesia. Tindakan Belanda ternyata sangat efektif memecah belah dan secara langsung juga menumbuhkan kecurigaan (prejudice) antar etnis di Nusantara. Pertumpahan darah antar etnis pecah pertama kali pada tanggal 8-10 Oktober 1740 yang memakan korban ±10.000 jiwa etnis keturunan Cina melayang akibat pembantaian yang dilakukan oleh serdadu VOC, para budak, pegawai galangan kapal, masyarakat pribumi, dsb. Ribuan mayat penduduk Cina yang telah dibantai dengan dipenggal kepala baik laki-laki, perempuan, hingga anak-anak dilempar ke sungai Ciliwung sehingga sungai itu berwarna merah akibat genangan darah. Sejak itu lokasi pembuangan di sungai itu disebut Kali Angke yang berarti darah yang mengalir. Setelah kemerdekaan pembantaian terhadap warga Cina juga terjadi dimana-mana akibat kecurigaan warga pribumi atas keberpihakan warga keturunan Cina kepada Tentara Belanda (KNIL), hingga yang terakhir adalah terjadinya kerusuhan etnis terhadap warga keturunan Cina pada tahun 1998. Warisan VOC kemudian juga turut diwariskan secara politik oleh pemerintahan Orde Lama dengan Program Benteng yang melarang warga Cina berdagang hingga ke desa-desa. Orde Baru juga tidak kalah hebatnya meneruskan politik warisan kolonial tersebut dengan menerapkan kebijakan SKBRI yang mewajibkan warga keturunan Cina memiliki surat kewarganegaraan walaupun mereka telah bertempat tinggal selama ratusan tahun di bumi Nusantara ini. Masyarakat etnis Cina di Indonesia walau telah berada di bumi Indonesia sejak berabad silam, akan tetapi hubungan yang terjalin dengan komunitas-komunitas lokal pribumi di Indonesia seringkali berada dalam ruang kecurigaan. Kecurigaan yang muncul lebih disebabkan asumsi-asumsi yang tidak dibangun tidak berdasar pada fakta hubungan sosial yang menyejarah tetapi lebih berdasarkan pada hubungan politik yang telah terjadi sejak masa Kolonial VOC. Masyarakat etnis Cina di Indonesia sebelum masuknya bangsa asing lebih dianggap sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Sebagai contohnya pada masa Majapahit, seni pembuatan perahu yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit mendapat banyak bantuan secara teknis dari warga keturunan Cina tersebut. Pada masa pra-kolonial warga pribumi sangat menyatu dengan warga keturunan etnis Cina, dan bahkan pada masa Mataram hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan dimana korbannya adalah warga keturunan etnis Cina akan mendapat hukuman dua kali lebih berat jika korbannya adalah warga pribumi Jawa. Secara tidak sadar kita telah pula melestarikan kecurigaan antar etnis tersebut, kita menciptakan stereotype bahwa keturunan Cina tidak dapat membaur dan hanya mencari keuntungan dalam hidup. Demikian pula dengan warga keturunan Cina yang menciptakan prejudice bahwa warga pribumi bersikap sangat diskriminatif. Sehingga secara langsung pemerintahan Indonesia telah mewariskan paradigma penjajahan dalam memandang hubungan antar etnis di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan hubungan yang harmonis antara warga etnis Cina dan Pribumi supaya tercipta kedamaian di Indonesia. B. Etnis Cina di Daerah Poncowinatan Informasi, berita dan issu pembauran yang peredar di kanca masyarakat Jogyakarta banyak menampilkan etnis Cina yang memiliki latar belakang profesi bermacam-macam. Kebanyakan pembauran itu meliputi kondisi sosial budaya, politik dan ekonomi warga etnis cina dengan pribumi di Poncowinata Yogyakarta. Seperti halnya umumnya masyarakat Indonesia, kelompok etnis Cina bukan merupakan kelompok yang homogeni. Berdasarkan garis keturunan, secara garis besar etnis Cina terdiri dari golongan Cina Totok dan Cina peranakan. Di Jawa, di daerah Poncowinata, kebanyakan komposisi etnis Cina yang berdiam adalah Cina Peranakan. Cina peranakan ini merupakan hasil perkawinan campuran antara laki-laki migrant Cina ke Indonesia dengan wanita pribumi, sebelum abad 19. Namun, menurut Soeryadinata, istilah “peranakan” seringkali digunakan tidak tepat. Seorang Cina kelahiran kelahiran Indonesia, tidak otomatis tergolong peranakan. Meskipun lahir di Indonesia, beribukan orang pribumi, namun dalam kehidupan sehari-hari masih menggunakan bahasa Cina dan afiliasi budaya lebih jauh kearah budaya Cina, mereka termasuk klasifikasi Totok, artinya orang asing yang lahir di negara lain dan berdarah asing. Secara umum memang Cina Totok adalah migran massal asal Cina yang datang ke Indonesia pada abad 19 dan masih menunjukkan budaya Cina, misalnya menggunakan bahasa Cina untuk komunikasi sehari-hari. Generasi kedua etnis Cina Totok yang berdiam di pulau-pulau selain Jawa seperti di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi masih menunjukkan budaya Cina yang lebih kental daripada Cina di Jawa, sehingga mereka tetap disebut Cina Totok. Soeryadinata menyatakan bahwa di Jawa interaksi antara penduduk pribumi dan minoritas etnis Cina lebih intensif sehingga para pendatang Cina itu “menjadi lebih peranakan”, atau “lebih Indonesia”. Orang Cina Peranakan di Jawa lebih menghayati dan menguasai kebudayaan masyarakat lokal, misalnya bahasa Jawa. Dengan demikian, etnis Cina di Jawa bisa dikatakan telah lebih dulu membaur. Informasi mengenai terkait pembauran di sekitar Poncowinata yang menjadi objek penelitian ini dibuat pada 2008, tujuh tahun setelah reformasi. Banyak hal yang telah berubah terkait dengan masalah etnis Cina pada level masyarakat umumnya di Yogyakarta. Pertama, dari segi legal formal. Perubahan legal formal terjadi di Konstitusi UUD 1945, yaitu dihapuskannya istilah “asli Indonesia” yang mengesankan hanya orang-orang selain Cina saja yang bisa menjabat menjadi presiden. Istilah itu kemudian diganti dengan “memiliki kewarganegaraan Indonesia sejak lahir, tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan lain, ……” . Indonesia juga meratifikasi Perjanjian Internasional atas Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 melalui UU No. 29 tahun 1999. Konfusianisme, kepercayaan yang dianut banyak orang-orang etnis Cina, pun diakui sebagai salah satu agama di Indonesia melalui keppres No. 69 tahun 2000. Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) yang menjadi momok etnis Cina dalam mengurus hak dan kewajiban sebagai warganegara, kembali ditegaskan untuk dihapus melalui instruksi Presiden No. 4 tahun 1999 tentang penghapusan SBKRI yang pernah diputuskan melalui Keppress No. 56 tahun 1996. Kedua, dari segi partisipasi sosial politik, sebagian kalangan etnis Cina telah berinisiatif membentuk partai-partai politik maupun organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, seperti Partai Bhineka Ika (PBI) dan Ikatan Nasional Tionghoa Islam (INTI). Ketiga, dari segi persepsi sosial. Pribumi sejak masa reformasi (makin) menyadari bahwa mereka telah memerlukan etnis ini secara tidak adil diskriminatif dan mulai menerima etnis Cina sebagai warga Negara Indonesia, bahkan sebagian menunjukkan simpati atas penderitaan yang kasat mata yang dialami etnis Cina pada era Soeharto. Etnis Cina juga mengakui bahwa mereka merasakan perubahan sikap pribumi terhadap mereka. Setelah tragedi tersebut, sebagian kalangan menunjukkan perjuangan nyata untuk menyelamatkan hak-hak dan perlakuan adil setelah sekian lama mereka bersikap adil. Akan tetapi ada kompleksitas di sini. Euforia kebebasan etnis Cina dari belenggu diskriminasi itu diiringi dengan rasa was-was, sebab euphoria etnis Cina itu dianggap oleh kalangan pribumi “sedikit agresif”, dan “berlebihan”. Hal ini membingungkan etnis Cina. Padahal, etnis Cina bermaksud untuk menunjukkan identitas budaya tanpa rasa takut dalam rangka mendidik ulang (re-educate) masyarakat untuk menerima bahwa “menjadi Cina” tidak selalu berarti kurang “meng-Indonesia”. Etnis Cina menjadi tidak mengerti apa yang disebut ‘berlebihan’ adalah berlebihan. Tiga aspek perubahan itu memang telah terjadi, namun masih terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi etnis Cina. Meski organisasi-organisasi telah kuat dibentuk, aktivitas-aktivitas organisasi masih perlu dijalankan dengan hati-hati, seperti yang dilakukan oleh INTI dan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB). Kasus Tempo versus Tomy Winata pada 2003 berpotensi menimbulkan arus balik eksistensi etnis Cina. Transisi demokrasi juga menunjukkan arah yang tidak menggembirakan bila tolok ukur yang digunakan adalah penegakan hukum untuk memberantas KKN dan pelanggaran HAM. Sikap waspada etnis Cina meski sudah lebih berani berekspresi amat wajar. Jauh sebelum meletusnya reformasi, terdapat pola yang menunjukkan bahwa situasi politik dan pemerintahan mempengaruhi sikap masyarakat pribumi terhadap etnis Cina. J.A.C. Mackie memastikan bahwa aksi-aksi anti Cina mudah terjadi pada saat di mana Pemerintah Pusat sedang lemah atau goyah, dibandingkan pada waktu pemerintah dalam keadaam kuat. Barangkali, perasaan anti Cina masih ada di benak sebagian golongan masyarakat Indonesia, namun selama pemerintah masih menunjukkan stabilitas pemerintah, aksi-aksi anti Cina teredam. Jadi, belum ‘terbukti’ kembali apabila terjadi gonjang-ganjing hebat di pemerintah pusat akankah hal itu kembali memunculkan sikap agresif terhadap etnis Cina. Memasuki paruh kedua dekade reformasi, jalanya politik dan pemerintahan ketika penelitian ini ditulis relatif cukup stabil apabila tolok ukurnya adalah Pemilu 2004 berjalan lancar tanpa gangguan berarti. Namun, stabilitas pemerintahan ini terkait erat dengan stabilitas ekonomi. Goyangnya pemerintahan Soeharto juga disumbang oleh krisis moneter yang dihadapi Indonesia sejak 1997. Etnis Cina yang hanya 3% dari populasi nasional penduduk menguasai 90% dari perekonomian Indonesia. Pada masa Orde Baru, Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyangga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pilar luar negara menjadi poin istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun 1986-1999. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas. Ketika keadaan moneter dan keuangan goyah, Etnis Cina menjadi sasaran kemarahan. Akhirnya pada awal pemerintahan Habibie, Etnis Cina yang eksodus ke luar negeri diharapkan Habibie kembali pulang ke Indonesia untuk ikut membantu menata perekonomian. Pengaruh pengusaha etnis Cina dalam perekonomian Indonesia membuat negarawan Indonesia seperti Habibie lebih menunjukkan sikap akomodatif terhadap kepentingan etnis Cina, seperti mereformasi legal formal yang dikriminatif, dan membentuk tim investigasi kasus penyerangan terhadap etnis Cina pada Mei 1998. Jadi, apabila pada beberapa waktu ke depan berjalannya pemerintahan menunjukkan instabilitas keadaan ekonomi dan politik, persoalan (anti) Cina masih mungkin kembali muncul. Sebetulnya tidak semua Etnis Cina di Indonesia khususnya Yogyakarta lebih sejahtera dibandingkan rata-rata penduduk pribumi. Etnis Cina pun ada yang miskin. Hal ini ditunjukkan melalui sebuah penelitian terhadap sebuah kelompok Etnis Cina di Kabupaten Sambas, Kecamatan Pemangkat di Kalimantan Barat. Sebagai gambaran, pada survey BPS pada 1997, sebanyak 25,36% dari 93.000 penduduk Kecamatan Pemangkat itu adalah Etnis Cina (Tio Ciu, hakka, Kanton) dan mereka termasuk dalam golongan miskin. Sebagaimana penuturan pengamat budaya yaitu Andreas Susanto bahwa sebagaimana Etnis Cina di kota lain di Indonesia, pada masa pra reformasi orang Cina di Yogyakarta mengalami diskriminsi. Andreas Susanto tidak mengingkari bahwa Etnis Cina di Poncowinata juga mengalami “penerimaan setengah hati”. Berdasarkan penelusurannya, Andreas Susanto menyebutkan bahwa meskipun sudah menjadi warga negara Indonesia, Etnis Cina tetap tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah. Namun, Etnis cina di daerah Poncowinata setidaknya sejak era Orde Baru, tidak pernah mengalami kekerasan massal. Saat Etnis Cina di kota-kota lain menjadi sasaran kekerasan massal, etnis Cina di DIY khususnya daerah Poncowinata lebih adem ayem. Kerusuhan yang terjadi di daerah-daerah lain misalnya saja di Surakarta telah merenggut nyawa dan kerugian yang besar pada etnis Cina, bila dibandingkan dengan Yogyakarta yang notabenen damai sejahtera. Hal tersebut disebabkan karena warga keturunan Tionghoa (etnis Cina) belum diterima secara penuh sebagai orang kita. Dari fenomena-fenomena yang nampak pada berbagai kerusuhan, perusakan, penjarahan, pembakaran rumah-rumah, toko-toko dan perusahaan-perusahaan selalu dialamatkan pada milik etnis keturunan Cina. Dari sekian etnis yang ada di kota-kota di Indonesia khususnya Jawa Tengah, etnis keturunan Cina-lah yang sering menjadi sasaran amuk massa dari warga pribumi. Tragedi yang terakhir adalah tanggal 13–15 Mei 1998, di mana kota Jakarta dan Surakarta terjadi kerusuhan, penjarahan, pengrusakan dan pembakaran rumah, toko, mobil perusahaan yang hampir seluruhnya milik warga etnis keturunan Cina. (Wibowo, 1999). Khusus kerusuhan di kota Surakarta telah menimbulkan korban yang besar. Berikut data kerusakan kerusuhan. Tabel 4. Data kerusuhan Mei 1998 di Surakarta No. Jenis Tingkat Kerusakan Jumlah 1 Perkantoran/Bank Dibakar/dirusak 56 2 Pertokoan/ swalayan Dibakar 27 3 Toko Dibakar/dirusak 217 4 Rumah makan Dibakar 12 5 Showroom motor/mobil Dibakar/dirusak 24 6 Tempat pendidikan Dirusak 1 7 Pabrik Dibakar 8 8 Mobil/truk Dibakar 287 9 Sepeda Motor Dibakar 570 10 Bus Dibakar 10 11 Gedung bioskop Dibakar 2 12 Hotel Dibakar 1 Sumber : Konpilasi data Korem dan Pemda Solo (Dikutip dari Tunjung, 1999) Data ini juga dimuat dalam harian yang menyatakan kerusuhan tanggal 14 –15 Mei 1998 di Surakarta oleh massa yang membakar dan merusak telah menimbulkan kerugian seluruhnya mencapai 457 millyar (Solo Pos 15 Mei 2000). Sedangkan secara non materiil telah menyebabkan tekanan mental dan gangguan psikologi para korban kerusuhan, dan keluarga serta sanak saudara maupun bagi masyarakat lain (golongan wanita, anak-anak, manula yang rentan penyakit jantung), yang secara langsung mengalami kegoncangan akibat bencana kerusuhan. Kesemuanya itu jika tidak diberikan upaya yang relevan untuk mengatasinya, bukan tidak mungkin menimbulkan masalah yang jauh lebih parah, yang pada akhirnya menjurus pada disintegrasi bangsa. Apabila hal ini terjadi maka jelas akan merupakan bencana besar bagi bangsa Indonesia. Untuk menghindari timbulnya konflik-konflik serta mencegah timbulnya tragedi yang pernah terjadi, sekaligus guna menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, maka perlu perekat sosial yang dapat menyatukan pandangan, sikap, cita-cita antara warga pribumi dan non pribumi, khususnya golongan etnis keturunan Cina dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Etnis Cina di Poncowinata memang memiliki karakteristik yang unik. Keunikan lain etnis Cina-Poncowinata menurut Andreas Susanto adalah kemahiran istimewa untuk hidup dalam ketegangan antara “penerimaan dan penolakan”. Andreas Susanto memaparkan bahwa meskipun kepemimpinan kharismatis oleh Sri Sultan HB X telah mampu mencegah merambatnya kerusuhan 1998 yang telah sampai ke kota Solo, harus dikatakan bahwa orang Cina Poncowinata mempunyai andil yang tidak kecil, hasil dari sebuah hidup yang cukup bertanggungjawab. Mereka sangat berhati-hati untuk tidak melukai hati penduduk lokal. Keharmonisan hubungan sosial antara etnis Cina dengan pribumi di daerah Poncowinata nampaknya telah lama terjadi. Hal ini dijelaskan oleh Didi Kwartanada, bahwa dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang tokoh pendiri Boedi Oetomo, adalah sahabat baik komunitas Cina di Yogyakarta. Ia membuka praktek di kawasan Ketandan (Pecinan Yogyakarta). Dalam obituary Wahidin yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantoro, Wahidin kerap membantu menyelesaikan persoalan rumah tangga pasangan Cina oleh karenanya ia dikenal sebagai mediaotor rumah tangga. Tidak heran ketika beliau meninggal banyak orang Cina yang datang melayat. Bukti harmonisnya hubungan etnis Cina-Pribumi sudah tercatat dalam sejarah. Pada tahun 1913, ketika Serikat Islam melakukan aksi anti Cina (Tionghoa) di Solo, Jawa tengah, keadaaan di Poncowinata, Yogyakarta tetap tenang. Serikat Islam cabang Yogyakarta malah pernah mementaskan pertunjukan drama dengn komunitas Cina dengan judul “Bok Sie Hwee” yang separuh hasilnya disumbangkan untuk membiayai pendidikan masyarakat pribumi dan organisasi pribumi lainnya. Hubungan Muhammadiyah dengan komunitas Cina di Yogyakarta pada masa kolonial juga cukup baik. Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari orang Cina di kawasan Ngabean, tempat di mana Muhammadiyah bermarkas. Pasca huru-hara Kudus 1918, Muhammadiyah Yogyakarta merangkul organisasi Tionghoa di Yogya dan Insulinde (perkumpulan multi ras pimpinan dr. Cipto Mangunkusumo) untuk membangun front bersama memajukan hubungan baik antar ras di Indonesia. Pada 1925 Muhammadiyah dan komunitas Cina pernah bersama-sama mengajukan pembatalan salah satu terbitan penerbit Buning dari Belanda yang mendiskusikan Islam dan Cina pada masa raden Patah. Menurut Ir. Soeprajitno, pemerhati masalah Cina, masyarakat etnis Cina datang ke Poncowinata, Yogyakarta dengan tujuan berdagang. Hal ini nampak jelas dalam bentuk arsitektur yang tidak dikenal nuansa budaya Cina-nya. Rumah lebih disesuaikan dengan tujuan untuk berdagang, misalnya di kawasan ketandan. Secara kasat mata, wadah seni budaya etnis Cina di Yogyakarta tidak nampak mencolok dibandingkan dengan etnis Cina di Semarang misalnya. Andreas Susanto menggambarkan etnis Cina Poncowinata telah relatif membaur dengan masyarakat pribumi. Secara umum dapat dikatakan bahwa orang Cina-Poncowinata memiliki gaya hidup yang sederhana (low profile), tidak mencolok, atau memamerkan kekayaan. Pernyataan Andreas Susanto itu mengakui secara langsung bahwa etnis Cina di Poncowinata tergolong Etnis Cina yang berkecukupan. Namun, Etnis Cina Poncowinoto tidak menonjolkan kekayaannya karena tidak ingin menyinggung golongan masyarakat lain, terutama masyarakat pribumi Jawa. Keharmonisan Etnis Cina dengan masyarakat pribumi di Poncowinata, Yogyakarta juga dibuktikan melalui prasasti yang terdapat di Keraton Yogyakarta. Prasasti itu diprakarsai oleh delapan warga keturunan Cina di Yogyakarta yang berisi ucapan terima kasih dari masyarakat Cina kepada Sultan HB IX yang telah melindungi mereka sehingga mereka bisa hidup tenang dan sejahtera tinggal di Yogyakarta. Dari segi budaya, Andreas Susanto menyatakan bahwa banyak dari mereka yang menampakkan afiliasinya ke kultur Jawa daripada Cina. Ia mengutip perkataan beberapa orang Cina, bahwa ke Cina-an mereka mungkin hanya tinggal dalam etos kerja. Umumnya, etnis Cina-Jogja baik totok maupun peranakan sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Mereka menggunakan bahasa Jawa di luar maupun di dalam rumah. Bukan hal yang mengherankan pula bila banyak orang Cina senang nonton wayang, bahkan beberapa menjadi pemain wayang ketoprak, atau penari tradisional. Tidak sedikit yang mempelajari kejawen dan masuk ke dalam kelompok-kelompok kebatinan. Interaksi Etnis Cina dengan pribumi di daerah Poncowinata, Yogyakarta memang lebih membaur daripada Etnis Cina di daerah lainnya, misalnya di Kecamatan Pemangkat, Sambas, Kalimantan barat. Warga Etnis Cina di kawasan Pemangkat itu enggan mengikuti usaha masing-masing, akan tetapi mereka mendirikan perkumpulan-perkumpulan yang eksklusif beranggotakan orang-rang Etnis Cina saja. Menilik dari sejarah kolonial, pemerintahan Orde Baru dan reformasi, sudah sepantasnya etnis Cina di Poncowinata Yogyakarta dapat dikatakan telah cukup membaur, di samping masyarakat pribumi yang juga telah mampu memelihara ketentraman sosial. Kata “pembauran” bukanlah hal yang sederhana untuk dijelaskan. Kata ini bisa berarti pencampuran ataupun perpaduan. Pada pengertian “pencampuran”, ciri khas masing-masing budaya asal masing-masing tidak lagi terdeteksi, yang terbentuk adalah budaya yang baru (bejana pencampuran atau melting pot). Sedangkan pada pengertian “perpaduan”, masing-masing budaya masih menunjukkan ciri budaya dan masing-masing budaya itu sling melengkapi serta hidup berdampingan. Pembauran ini erat terkait dengan etnisitas etnis cina dengan etnis pribumi. Etnisitas selalu melibatkan minimal dua pihak etnis berbeda. Gerry van klinken mengingatkan bahwa persoalan etnisitas seperti yuang pernah dikatakan oleh Max Weber, terkait denga politik: ‘kepercayaan akan sebuah etnisitas bersama terutama diilhami oleh komunitas politik, tak peduli komunitas tersebut bersifat artifisial’ . Oleh karena itu etnisitas adalah konsep sosiologis yang diciptakan oleh politik dan tidak semata gejala primordial yang berdiri sendiri. Secara teoritis, pemerintahan Orde Baru mendoktrin pembauran sebagai asimilasi sebab pada kenyataan pemerintah Orde baru mengeluarkan berbagai kebijakan asimilasionis. Hal ini mengakibatkan adanya suatu pemaksaan meleburnya berbagai kebudayaan menjadi satu kebudayaan atau penyeragaman. Tak hanya terdapat etnis Cina sebetulnya, tapi juga pada etnis Indonesia yang lain, misalnya Keucik di Aceh, Pesirah di Palembang, dan Nagari di Minang berubah menjadi pemerintah desa. Program transmigrasi dilaksanakan tanpa memperhatikan aspek sosial dan budaya lingkungan setempat. Memang, pada dekade ’60-an kebijakan pembauran asimilasionis diterapkan terhadap etnis Cina dengan lebih ketat, sebab sementara etnis Bugis masih bicara bahasa Bugis, etnis Dayak masih bicara bahasa dayak, etnis Minang masih bicara bahasa Minang, etnis Cina bahkan dilarang menggunakan bahasa nenek moyangnya di ranah publik. B. Revitalisasi Budaya Etnis Cina Persepsi mengenai hilangnya budaya Cina tidak terlepas dari kekangan yang dialami etnis Cina selama Orde Baru. Tak terkecuali etnis Cina di daerak Poncowinatan. Oleh karena itu, isu penting pasca-Orba adalah bagaimana merevitalisasi peran etnis Cina dalam segi kehidupan yang lebih luas. Dalam proses revitalisasi ini, dialog antar etnis dalam konteks masyarakat multikultur menjadi syarat utama. Arif Akhyat selaku Staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada mengatakan sebagai berikut: "Dia (warga etnis Cina) harus membuka diri dan juga merasa sebagai bagian dari budaya yang lebih luas dalam konteks Indonesia. Dengan begitu, akan muncul solidaritas antaretnis. Pengamat kebudayaan Tiong-hoa dari UGM Hari Purwanto mengatakan, bahwa walaupun kesenjangan diantara etnis Cina dan Pribumi sudah mulai mencair, namun masih ada beberapa daerah yang merasa terkekang atau takut untuk mengaktualisasikan kebudayaan nenek moyangnya yang berasal dari negeri China. Pembauran total seperti yang dicita-citakan dalam masyarakat multikultur masih perlu diusahakan. "Masih ada keengganan pada masyarakat etnis Cina untuk membaur. Demikian juga dengan pribumi yang masih mengambil jarak dan berprasangka bila bergaul dengan orang Cina," katanya. Menurut Hari, untuk menciptakan pembauran dan penghargaan antaretnis itu diperlukan usaha dari kedua belah pihak. Masyarakat etnis Cina perlu mengikis eksklusivitas mereka dan lebih membuka diri dengan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat di luar etnis Cina, termasuk pemerintah, juga mesti menghilangkan sikap diskriminatif warisan penjajah Belanda yang selama ini kerap menimpa warga etnis Cina. Sebagai upaya untuk melakukan pembauran antar etnis, telah diselenggarakan Pekan Budaya Tionghoa (PBT) Yogyakarta, misalnya, selain melibatkan panitia yang berasal dari warga yang bukan keturunan etnis Cina, perayaan Imlek terbuka bagi siapa saja. Antonius Tjundaka Prabawa, selaku Ketua RW 05 Ketandan, Poncowinatan berpendapat bahwa PBT merupakan embrio untuk mendukung Ketandan sebagai kawasan pecinan. Antusiasme masyarakat menandakan bahwa seni budaya etnis Cina memang menarik dan dibutuhkan. Proses berbaur antara etnis Cina dan pribumi bisa kembali terjalin sehingga memunculkan sikap saling menghargai. Antonius juga menuturkan sebagai berikut: "Dulu saat saya SD, masih ada yang menyebut saya wong Cino. Tetapi sejak reformasi, panggilan itu tak saya terima lagi," ujarnya. Ancaman konflik antaretnis merupakan ancaman terbesar di masa depan bagi bangsa seperti Indonesia. Bagi bangsa yang didiami dan dibangun oleh beragam etnis dengan karakter berbeda, seringkali kesulitan menempatkan pluralitas dalam bingkai yang tepat, yakni dalam kehidupan yang harmoni dan bertoleransi tinggi. Di antara mereka bahkan tak jarang memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda tentang bagaimana kehidupan berbangsa ini dijalani. Sejarah konflik bernuansa rasialisme di tanah air sudah sering terjadi. Pertikaian antaretnik, khususnya yang melibatkan keberadaan etnis Cina, dianggap merupakan ancaman dan tantangan bagi bangsa ini dalam rangka mengelola pluralitas yang ada. Kasus kerusuhan sekitar 1998 yang menyebabkan harta benda milik warga etnis Cina diluluhlantakkan dan sebagian perempuannya disiksa dan diperkosa, sering dinyatakan sebagai titik terendah sejarah keberadaan etnis Cina di Indonesia. Studi tentang konflik antaretnik yang meneropong pasang surut hubungan etnis Cina dan Pribumi Jawa di wilayah pedesaan, dengan kasus di Desa Sumberwedi Provinsi Jawa Timur ini, merupakan kajian yang memperkaya studi tentang interaksi etnis Cina-Pribumi yang umumnya dilakukan di kawasan perkotaan. Lika-liku interaksi mereka dikaji dalam perspektif sosiologis dan antropologis, dengan didasari kajian dari aspek kesejarahan yang cukup representatif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa konflik antar etnis acapkali terjadi di daerah perkotaan. Hal ini karena pada umumnya mayoritas etnis Cina tinggal di wilayah perkotaan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan konflik di wilayah pedesaan juga terjadi. Dari konteks sejarah diketahui bahwa warga Dusun Sumberwedi umumnya adalah pendatang, baik etnis Pribumi maupun Cina. Kedatangan warga Cina sendiri karena keinginan mereka untuk membuka lahan pertanian dari tanah bekas perkebunan yang terletak di sekitar wilayah tersebut. Masyarakat Cina memahami bahwa tanah di lokasi tersebut merupakan tanah subur yang bisa diolah jika dilakukan dengan kerja keras. Hal ini bertolak belakang dari asumsi masyarakat pribumi yang mula-mula merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengelola tanah tersebut. Bermula dari menyewa tanah untuk dijadikan lahan pertanian, kini etnis Cina sudah meraih hasilnya. Mereka menunjukkan bahwa hasil dari kerja keras mereka berpuluh-puluh tahun mengubah lahan yang semula ‘tidak dianggap’ menjadi lahan yang amat produktif. Umumnya etnis Pribumi Jawa sendiri, karena alasan kekurangan modal dan tidak memiliki pengetahuan dan teknologi yang cukup untuk mengelola lahan pertanian tersebut, hanya menjadi buruh. Dan inilah yang menjadi konstruksi positif dalam sejarah hubungan antara kedua etnis tersebut. Di sisi lain, peluang konflik terjadi ketika dalam perjalanannya, kesuksesan etnis Cina sering ditanggapi dengan sikap kecemburuan sosial masyarakat setempat. Dasar kecemburuan sosial ini sering diperkuat melalui landasan perbedaan budaya, agama dan sisi sosial lainnya. Karena itu tak mengherankan kalau sampai ada beberapa investor Cina yang harus diusir dengan beragam kepentingan. Hal tersebut merupakan sekelumit contoh pergolakan antara etnis Cina dan pribumi di beberapa daerah. Etnis Cina di Poncowinatan maupun di daerah lainnya di Indonesia juga mengalami pahit getirnya perjalanan Indonesia sebagai bangsa. Mereka mengalami masa-masa pergolakan kebijakan politik Indonesia, mulai dari G30S/PKI sampai keluarnya aturan yang membatasi usaha etnis Cina di pedesaan, bahkan sampai ketika kebijakan land reform diterapkan. Dapat dinyatakan bahwa konflik yang terjadi antar etnis Cina dan Pribumi umumnya dibungkus dalam arena kompetisi bernuansa bisnis. Masyarakat pribumi Jawa dalam konteks tertentu merasa sering ditipu dengan kelihaian etnis Cina dalam memainkan bisnisnya. Misalnya ketika mereka menyembunyikan jenis pupuk yang dipakai agar tidak ditiru kesuksesannya oleh penduduk pribumi, hingga pada akhirnya penduduk pribumi melakukan pencurian pupuk yang dimaksud. Hubungan antara buruh dan majikan (etnis Jawa dan etnis Cina) pun seringkali berakhir dalam hubungan yang runyam, meskipun tidak sedikit pula kasus yang menunjukkan dari hubungan tersebut lalu mengarah pada proses pembelajaran. Ini semua terjadi dalam kerangka kompetisi bisnis dan persaingan ekonomi. Sehingga, akar mula konflik yang terjadi antar etnis Cina dan Pribumi dapat dikatakan lahir dari persaingan untuk memperebutkan aset-aset ekonomi. Pasang surut hubungan kedua etnis ini menunjukkan bahwa kerangka bisnis dan perebutan lahan ekonomi tidak bisa dilepaskan dalam interaksi antarkeduanya. Keberhasilan etnis Cina dalam mengelola bisnisnya menjadi maju dan berkembang, seharusnya membuka mata bagi penduduk pribumi bahwa hanya dengan kerja keras, kesuksesan dapat diraih. D. Komunikasi Budaya Antara Etnis Cina Dan pribumi Komunikasi budaya antara etnis Cina dan pribumi khususnya daerah di Poncowinata, Yogyakarta mempunyai keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Keunikan secara fisik dapat dilihat melalui arsitektur rumah tinggal dengan ragam hias dan tata ruang bangunannya, juga fasilitas peribadatan yang berupa klenteng. Misalnya saja dalam penyambutan tahun baru implek di klenteng, warga etnis Cina di Poncowinata, maupun klenteng yang bertempat di belakang pasar Kranggan selalu menyajikan tumpeng dalam peribadatannya dan bukan lagi buah-buahan atau sesaji khas leluhur etnis Cina. Padahal kalau dilihat dari asal mula tumpeng merupakan sasaji yang berasal dari pribumi jawa. Dengan adanya nuansa adat Jawa yang hadir dalam perayaan imlek tersebut, maka diharapkan akan mendorong terjadinya kerukunan antar etnis Cina dan pribumi. Hal tersebut juga sesuai dengan penuturan pemimpin perayaan imlek yaitu Thjei Tjay Ing dalam doa dan harapan agar Indonesia berjaya dan lepas dari derita bencana beruntun yang dialami. Thjei Tjay Ing mengungkapkan sebagai berikut: "Kita mendoakan pula agar pemimpin memprioritaskan rakyat sebagai pilar utama, tanpa membedakan suku dan agama, ras maupun etnis agar mampu menciptakan kesejahteraan rakyat. Kalau mereka sejahtera otomatis negara jadi kuat," katanya. Dengan adanya nuansa adat Jawa dalam upacara keagamaan tersebut, maka tumpeng menjadi salah satu simbol akulturasi budaya antara etnis Cina dan pribumi jawa yang tercermin dalam kehidupanyang harmonis antar suku di daerah Poncowinatan, Yogyakarta. Tidak hanya hal itu saja, menurut penuturan Lusy selaku salah satu penganut Konghuchu yang merayakan imlek aroma akulturasi tradisi Imlek dengan nuansa Jawa juga sangat terasa ketika ratusan warga duduk di meja panjang untuk makan bersama. Menu yang tersedia juga sangat khas, kering tempe, mi goreng, telur goring dan gudangan berupa sayuran yang diberi bumbu parutan kelapa serta sambal. Gautama Fathoni Ketua panitia perayaan Imlek menjelaskan akulturasi budaya yang tercipta itu tidaklah lepas dari peranan Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa sehingga kehidupan antar-suku terasa harmonis dan guyub. Menilik dari sejarahnya bahwa warga etnis Cina mendapat tanah sekitar satu hektar di daerah Poncowinatan pada tahun 1850 oleh Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Oleh warga keturunan etnis Cina dibangunlah sekolah, tempat peribadatan yang kini dikenal dengan klenteng Poncowinatan. Istilah kelenteng sendiri disebutnya sebagai pelafalan dari kata chau lenting yang maknanya rumah tempat pembelajaran. Namun, lidah masyarakat Jawa menyebut kelenteng yang akhirnya di gunakan hingga kini. Selain itu, akulturasi yang terjadi tidak berhenti di soal kenduri saja. Sejak tiga tahun terakhir, di Yogyakarta mulai dirintis adanya Pekan Budaya Tionghoa yang mengiringi perayaan Imlek. Selain berupaya mengenalkan beragam budaya asal negeri leluhurnya dukungan berasal dari Pemerintah Kota Yogyakarta berupa fasilitasi promosi dilakukan. Sejak tiga tahun lalu secara rutin digelar Pekan Budaya Tionghoa setiap tahun baru Imlek tiba. Tidak hanya warga etnis Cina, berbagai lapisan masyarakat, pemerintah setempat pun secara sukarela mendukung sebagai sarana melestarikan budaya. Berbagai macam spanduk mencolok bertuliskan Gong Xi Fa Cai, berwarna-warni lampion dan naga kertas berwarna merah keemasan mudah ditemui di sejumlah pusat keramaian. Hal tersebut menandakan bahwa kesan kebebasan yang dibuka pasca-Orde Baru (Orba) menjadi titik mula suasana semarak tersebut. Sebelumnya, selama lebih dari 30 tahun, tahun baru Imlek hanya bisa dirayakan dengan diam-diam. Begitu juga dengan segala ekspresi budaya milik warga etnis Cina yang dipaksa kehilangan ruang berkembang. Margo Mulyo, selaku pengurus Kelenteng Tjen Ling Kiong, Poncowinatan, Kranggan, Yogyakarta, mengatakan pasca-Orba kebudayaan etnis Cina di Yogyakarta berkembang pesat. Bahkan, pertunjukan seperti barongsai dan liong kini tidak hanya dilakukan dalam ritual keagamaan saja, tetapi juga digelar di mal dan acara festival kesenian. Sesuai dengan pernyataan beliau sebagai berikut: "Kalau dulu jangankan barongsai, mau sembahyang saja harus minta izin. Sekarang umat bisa setiap saat datang ke kelenteng dan menikmati pertunjukan yang dulu dilarang," Meski demikian, dampak kekangan yang terjadi selama lebih dari 30 tahun tentu saja tidak dapat ditebus hanya dengan munculnya pertunjukan barongsai atau semarak lampion. Di pelosok wilayah DIY, masih banyak keturunan etnis Cina yang tak lagi mengenal budayanya. Artinya, meski sudah ada kebebasan, masih ada keraguan untuk menularkan budaya leluhur kepada generasi muda. Di Wates, Kulon Progo, warga keturunan Etnis Cina sudah lama meninggalkan tradisi perayaan Imlek. Buntoro atau Nyoo Bun Han, pemilik Toko Sepeda Liem di Wates, menuturkan bahwa ia bersama keluarga merayakan Imlek dengan sederhana. “Jangankan berkesenian, menyalakan lampion dan petasan saja tidak,” ujarnya. Sedangkan di Wonosari, Gunung Kidul, mayoritas warga etnis Cina bahkan tidak lagi mengenal budaya nenek moyang, apalagi merayakan tahun baru China. Tahun baru yang mereka rayakan pun hanya tahun baru Hijriah yang jatuh pada 1 Januari lalu. "Bagaimana bisa rindu merayakan Imlek, mengenal pun tidak," tutur Supriyadi alias Tan Sin Pie, pemilik Toko Bintang Terang. Meskipun begitu, secara keseluruhan perayaan Imlek maupun upacara-upacara keagamaan etnis Cina pasca-Orba makin tahun makin semarak. Ini menunjukkan keterbukaan dan mendapatkan sambutan bukan hanya dari kalangan warga keturunan etnis Cina, tetapi juga warga pribumi secara keseluruhan. Selain itu dukungan menyelenggarakan budaya etnis Cina juga terjadi di kampus Atma Jaya Yogyakarta, hal itu sesuai dengan penuturan Rektor Atma Jaya Dibyo Prabowo: "Kami merayakan Imlek di kampus lebih untuk mengenalkan sisi budaya dan seni agar warga kampus bisa mengenal dan menikmati karya berbagai budaya," Perayaan Imlek di kampus yang telah mendeklarasikan diri sebagai kampus multikultural itu berlangsung selama beberapa hari, dengan menampilkan seni dan tradisi Tionghoa. Selain itu, Staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Arif Akhyat mengatakan, dalam konteks Jawa, sebenarnya tidak ada pemisahan tegas antara budaya China dan Pribumi Jawa. Budaya Pribumi Jawa yang sekarang ada terbentuk dari berbagai unsur budaya lain, termasuk budaya China. "Pengaruh budaya China dalam proses pembentukan budaya Jawa itu besar," ucapnya BAB IV PENDEKATAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS Pengantar Penggambaran realitas yang muncul dalam kenyataan mengenai pembauran menunjukkan pandangan asimilasionis terhadap pembauran etnis Cina dan Pribumi di Poncowinatan, Yogyakarta. Berbagai pandangan yang muncul di masyarakat, seperti asimilasionis dan sejenisnya, tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik antara etnis Cina-pribumi. Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya konflik sebagaimana yang sekarang banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, Khususnya daerah Poncowinatan, Yogyakarta perlu diupayakan temuan model pendekatan yang dapat menyatukan pandangan untuk mencegah terjadinya disintegrasi sosial. Dari berbagai temuan di lapangan selama ini, berbagai penyebab yang diduga merupakan pemicu timbulnya disintegrasi sosial antara lain karena factor : agama, ekonomi, sosial budaya, politik, asimilasi, diskriminasi dan kebijakan pemerintah. Dari berbagai faktor ini perlu dicari faktor mana yang dominan untuk diupayakan pendekatan dalam rangka mengatasi persoalan hubungan antar etnis. Salah satu upaya pendekatannya adalah dengan model perekat sosial. A. Pendekatan Social Capital dalam Penyelesaian Konflim Etnis Penyelesaian konflik antar etnis hendaknya tidak dilakukan hanya dengan kepentingan sesaat atau jangka pendek. Menurut Prasodjo, upaya penyelesain konflik sesaat seperti pengungsian warga tidak akan menyelesaikan persoalan, dan justru akan memberikan motif kepada etnis yang lain untuk melakukan penyerobotan tanah demi keuntungan-keuntungan meteriil lainnya akibat konflik seperti itu (Kompas 2 Maret 2001). Berbagai konflik antar etnis telah merebak di berbagai wilayah Indonesia, tak terkecuali di daerah Poncowinatan, Yogyakarta yang pada awalnya disulut dengan isu anti Cina. Masalah anti Cina menjadi pembicaraan yang hangat sejak peristiwa Mei 1998. Padahal masalah antar etnis khususnya Cina, telah diatur dalam kebijakan asimilasi yang dicanangkan oleh pemerintah orde baru sejak tahun 1967. Kebijakan itu antara lain meliputi pelarangan sekolah-sekolah dan penerbitan-penerbitan berbahasa Cina, pembatasan aktivitas ritual keagamaan tradisional kelompok etnis keturunan Cina pada lingkup keluarga dan mendorong penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia. Selain itu penduduk keturunan Cina dianjurkan untuk melakukan kawin campur atau masuk Islam (Lan, 1999). Meskipun demikian model perekat sosial antar etnis tersebut belum mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Cina dengan komunitas pribumi secara tuntas. Jarak sosial antar etnis yang renggang sering menjadi faktor konflik, hal demikian sebenarnya tidak perlu terjadi jika sejak awal diupayakan bagaimana mereka secara sosial sebagai bagian komunitas integral. Karena itu model perekat sosial sebagai media integrasi, sangat urgen bagi kelangsungan hidup damai antar etnis. Sejauh ini upaya penanganan konflik masih sebatas bersifat teknis, sedangkan yang substansial dengan pendekatan sosial-budaya belum menjadi titik tolak. Pendekatan perekat sosial yang relevan mendasarkan prinsip social capital, yakni saling percaya antara etnis dengan cara bekerja sama menjalin hubungan secara timbal balik. Social capital ini berupa pengetahuan, pengertian, norma, aturan, dan harapan milik bersama sebagai pola interaksi yang dilakukan kelompok individu dalam menyelesaikan suatu persoalan (Fukuyama dalam Solow, 1999; 6-12). Penyelesaian dengan mempererat antar etnis yang bertikai melalui pendekatan social capital dapat dilakukan dengan tindakan bersama yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Narayan dan Pritchett, hubungan sosial melibatkan kerjasama menyangkut soal yang bersifat material dan non material, dapat menjadi fasilitas untuk melakukan tindakan bersama yang saling bergantung satu sama lain, untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan di antara kedua etnis (1999; 269-295). Bentuk-bentuk struktur sosial dari social capital dapat memaksimalkan peranan, aturan, prosedur yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Menurut Coleman dkk (1988) bentuk social capital dalam pengembangan program dapat berupa unsur pokok seperti pada bagan berikut di bawah ini. Skema 1: Bentuk social capital Selanjutnya menurut pandangan Coleman ada tiga ciri-ciri umum social capital. Pertama social capital berupa asosiasi informal dan lokal horizontal. Kedua social capital berupa asosiasi informal, horizontal dan vertikal. Ketiga seperti dua tersebut ditambah struktur nasional secara resmi seperti pemerintah dan aturan hukum. Model pendekatan social capital secara resmi maupun tidak resmi, dapat mendukung paling tidak empat fungsi dan kegiatan yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Keempat kegiatan tersebut mencakup, pertama membuat keputusan (tahap merencanakan dan menilai hasil yang dicapai), kedua memobilisasi dan mengatur sumber (tahap penyesuaian), dan ketiga berkenaan dengan komunikasi dan koordinasi (tahap integrasi) serta resolusi konflik atau (tahap pemeliharaan). Dampak social capital dalam penyelesaian konflik adalah dapat mengembangkan atau mengentaskan masalah secara adil. Karena social capital merupakan seperangkat asosiasi horisontal di antara rakyat yang berdampak pada produktivitas masyarakat. Asosiasi ini berupa jaringan perekatan warga dan norma sosial. Pendekatan masalah konflik antar etnis dengan prinsip social capital juga mampu menyatukan kedua etnis secara bersama berfungsi dalam penataan sosial dengan identitas budaya, secara umum, rasa memiliki bersama dan norma perlakuan bersama. Rasa kebersamaan ini mampu menjadi perekat internal yang secara terus-menerus menuju pada proses hingga tingkat integratif (Serageldin, 1996). B. Alternatif Model Perekat Sosial Berbasis Social Capital Beberapa perekat sosial yang memanfaatkan pendekatan social capital, telah dilakukan beberapa peneliti seperti pada uraian berikut. Alqadrie, (1999), dalam penelitian konflik antar etnis di Ambon dan Sambas yang dikaji secara sosiologis, telah dihasilkan beberapa saran model penanganannya. Menurutnya penanganan ekses konflik antar etnis di Ambon dan Sambas sebaiknya dilakukan dengan pemecahan yang bersifat jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Sosusi dalam pemecahan konflik antar etnis di ambon tersebut dapat dijadikan patokan dalam menciptakan kerukunan antar etnis Cina-Pribumi di Poncowinatan, Yogyakarta pada khususnya dan daerah-daerah di Indonesia pada umumnya. Solusi pemecahan konflik antar etnis tersebut dalam jangka pendek hendaknya dilakukan dengan cara : (1) melaksanakan dan melanjutkan pelaksanaan upacara adat leluhur etnis Cina pada hari-hari besar nasional, dengan memasukkan upacara tersebut dalam acara tambahan atau hiburan. Dalam teknik pelaksanaan acara tersebut anggota kelompok etnis yang beragama tionghoa, Islam maupun Kristen dilibatkan secara seimbang dan adil. Sedangkan solusi jarak menengah, model perekat sosial yang ditawarkan adalah : (1) Perlunya melakukan kawin campur antar etnis, dan (2) kemudian perlu mendirikan forum komunikasi antar kelompok etnis dan agama yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda dalam berbagai tingkat pemerintahan (Dati II, Kecamatan, Lingkungan, Kampung). Penyelesaian konflik untuk jangka panjang dengan : (1) Perlunya peningkatan pembinaan umat agama masing-masing secara terus menerus agar tidak hanya memiliki hubungan vertikal (hablum minallah), tetapi juga hubungan horisontal (hablum minannaas) yang tinggi. (2) Perlu otonomi daerah atas setiap propinsi yang lebih ditingkatkan dan diperluas, (3) Pemerintah pusat hendaknya mengurangi kebijakan yang sentralistik dengan prinsip Top-Down Policy. Menurut Pelly, (1999) alternatif perekat sosial untuk meredam konflik antar etnis yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia tak terkecuali di Poncowinatan, Yogyakarta seharusnya dengan cara: (1) Membebaskan rakyat dari segala bentuk monopoli pusat dan rekayasa sosial yang terselubung atau tidak baik dalam bidang pertanian, perdagangan, birokrasi pemerintahan dan kehidupan sosial budaya. (2) Menata kembali division of labour dalam perkembangan yang adil dan proporsional antar masyarakat Pribumi Jawa dan masyarakat etnis Cina. (3) Menghidupkan kembali kesepakatan bersama terhadap wilayah kawasan domisili kelompok-kelompok keturunan etnis Cina yang mengatur lokasi pemukiman utama orang etnis Cina tersebut sebelum kedatangan Belanda. Sedangkan dalam kasus anti etnis keturunan Cina di Medan dan Jakarta, sebagai contoh Pelly juga menyarankan solusi konflik antar etnis dengan : (1) Perlunya kerjasama antara pemuka masyarakat, pemerintahan, dan aparat terutama para pemuka kelompok masyarakat etnis, adat dan agama yang baik dan tangguh. (2) Perlunya daya akomodatif, kekuatan moral dan independensi masyarakat kota yang masih kuat untuk menerima perbedaan, tantangan dan hasutan dari pihak luar (29-31). Pada kasus lain Alhumani, (1999) menawarkan beberapa hal model perekat sosial yang bersifat integratif. Menurutnya faktor integratif yang bisa meredam konflik adalah : (1) Doktrin agama Islam, dalam hal ini faham ahlusunnah wal jamaah. Doktrin ini memuat ajaran ukuwah islamiah yang menjadi pegangan setiap kelompok sosial yang terlibat konflik. Kesadaran sebagai sesama pemeluk Islam menyebabkan mereka tetap harus saling menjaga keutuhan dan menghindari perpecahan. (2) Kepemimpinan Kyai yang menjadi figur sentral dalam masyarakat. Dengan kharisma dan kewibawaan seorang Kyai menjadikan setiap orang wajib menghormati atau bersikap tunduk dan patuh kepadanya. (3) Hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan dapat disebut faktor integratif yang dominan khususnya menyangkut konflik ideologi keagamaan. Tradisi masyarakat Pribumi Jawa yang menempatkan hubungan kekerabatan pada posisi yang amat tinggi. (4) Kebudayaan lokal. Struktur kebudayaan di Jawa dibangun atas sendi-sendi harmoni sosial yang lebih mengutamakan keselarasan, keseimbangan, toleransi dan tenggang rasa dalam proses interaksi antar warga masyarakat. Keempat faktor ini menjadi elemen perekat dan sekaligus mengatasi pertentangan-pertentangan sosial. Model perekat sosial dengan memanfaatkan kepercayaan satu sama lain dalam hubungan antar etnis akan berdampak positif. Menurut Uphoff supaya berhasil mengembangkan hubungan baik secara sosial agar tidak terjadi konflik perlu memperhatikan dua hal penting. Pertama, perlu pemahaman struktur yang mengutamakan pentingnya aspek peranan, norma dan prosedur serta mekanisme kerja yang harus dilakukan dalam menjalin kerjasama agar saling memperoleh keuntungan kedua belah pihak. Kedua, perlu pemahaman pengetahuan yang berkaitan dengan norma, nilai, sikap dan kepercayaan antara kelompok yang akan menjalin kerjasama (215-221). Pengelompokkan social capital secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut. Tabel 5: Pengelompokkan social capital Keterangan Aspek struktur Aspek kesadaran Sumber-sumber dan manifestasi Peranan dan aturan, jaringan dan hubungan antar pribadi, hubungan prosedur Norma, nilai, sikap, kepercayaan Faktor-faktor dinamis Organisasi sosial, hubungan horisontal dan vertikal Budaya kewarganegaraan, kepercayaan, solidaritas, kerjasama Elemen-elemen umum Harapan yang mengarah kerja sama yang menghasilkan keuntungan kedua pihak Prosedur ini merupakan proses pemahaman untuk melakukan kegiatan dan fungsi melalui peranan dan aturan yang secara luas dimengerti dan diterima. Hal-hal yang perlu dicontoh adalah tindakan yang memperkuat nilai-nilai dari peranan, aturan-aturan serta prosedurnya. Contoh bentuk social capital yang bagus secara struktural ialah dengan sanksi, yang memperkuat dan mengatur perjanjian dan pembagian tindakan bersama.sanksi dilakukan untuk memperkokoh aturan dan dilaksanakan menurut aturan dan prosedur dengan mengutamakan hal-hal yang positif (sifat keteladanan). Dengan demikian sanksi mampu membuat kerjasama yang lebih banyak, sebab perilaku dan tindakan yang lain dapat diperhitungkan, dan membuat kerjasama menjadi luas, bijaksana dan menguntungkan. Sedangkan alternatif perekat sosial yang memanfaatkan pendekatan social capital juga ditawarkan, seperti tersebut pada hasil penelitian Lokollo, (1999) tentang Kerusuhan di Maluku: Beberapa Masalah dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional, telah membuahkan rekomendasi bentuk solusi alternatif, yakni perlunya : (1) Peningkatan hubungan-hubungan dialogis lintas SARA dengan mengadakan forum dialog. (2) Redefinisi dan revitalisasi peran dan fungsi institusi adat. Diperlukan pula legitimasi formal bagi institusi-intitusi adat. (3) Diperlukan kebijakan kriminal pemerintah (di daerah) yang dimaksudkan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat, seperti norma hukum, norma agama, adat dan kebudayaan. (4) Perlu dibutuhkan kebijakan pemerintah mengenai kependudukan dan penataan ruang untuk pengendalian arus urbanisasi dan migrasi. (5) Perlunya ketentuan-ketentuan dan peluang berusaha yang memperhatikan aspek-aspek pemerataan, keadilan, kesetaraan, tanpa berpihak pada kelompok manapun, dari segi etnis, agama, maupun ras. (6) Perlunya pembinaan dibidang kemasyarakatan terutama penanaman kesadaran, jiwa, semangat dan wawasan kebangsaan melalui kebijakan-kebijakan terpadu dengan melibatkan kepolisian, TNI, komponen masyarakat, agama dan pemuda. (7) Diperlukan upaya sosialisasi kesadaran bela negara dalam keluarga, lingkungan desa atau kota, wilayah melalui jalur pendidikan formal dan informal. Penelitian Prihandoko (1999), tentang Faktor Penghambat Pembauran Etnis Cina dan Pribumi di Tangerang, salah satu kesimpulan menyebutkan bahwa komunitas etnis Cina dan pribumi (Sunda), di antara mereka ada kesadaran berpartisipasi bersama dalam berbagai bentuk perekat sosial. Berbagai model perekat sosial tersebut antara lain adalah : gotong royong, pengumpulan dana desa, permainan anak-anak-orang dewasa, dan melalui sarana pengobatan alternatif melalui dukun, di mana komunitas etnis Cina mau menggunakan jasa dukun dari komunitas etnis pribumi. Sebaliknya komunitas etnis Sunda mau menggunakan jasa dari ahli pengobatan yang diberikan oleh dukun Cina. Alternatif ini sangat baik karena telah menerapkan pendekatan social capital sebagai bentuk perekat sosial. Menurut La Porta bentuk kesadaran yang mencakup elemen norma-norma, nilai-nilai, sikap dan kepercayaan akan emmperkuat saling secara positif terhadap fungsi pragmatis yang mendukung tindakan kelompok yang sama-sama merasa diuntungkan (1999, 310-320). Berbagai rekomendasi sebagai kelanjutan hasil penelitian tersebut masih sebatas alternatif. Sedangkan secara aplikatif dengan model panduan yang baku dengan model perekat sosial belum ditemukan. Langkah penemuan ini sangat penting untuk kemudian dikembangkan sebagai salah satu model integrasi sosial etnis potensi konflik. Lagi pula sejauh ini meskipun konflik Cina dan Jawa telah lama berlangsung belum pernah dicari bentuk solusinya secara tuntas. Namun demikian keragaman alternatif perekat sosial yang ditawarkan tersebut di atas, sangat baik sebagai landasan dan pembanding dalam menemukan model perekat sosial pada kasus dan tempat yang lain, seperti hal yang akan ditemukan di kota Surakarta. DAFTAR PUSTAKA Alhumani, Amich. (1999). “Konflik dan Integrasi di Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat” dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya. Tahun XXIII no. 58 Januari-April. Jakarta : Fisipol UI. hlm. 82-84. Alqadri, Syarif Ibrahim. (1999). “Konflik Etnis di Ambon dan Sambas : Suatu Tinjauan Sosiologis”. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Th. XXIII, No. 58 Januari – April. Jakarta : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Fukuyama, Francis. (1997). Social Capital. Tanner Lecturers, Brasenose College, Ofxord: Processed, Institute of Public Policy, George Mason University, Fairfax, Virginia. Lan, Thung Ju. (1999). Masalah Cina : Konflik Etnis Yang Tak Kunjung Selesai dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya Tahun XXIII N0. 58 Januari-April. Jakarta : Fisipol UI. h. 21-34. Pelly, Usman. (1999). “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia”. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Th. XXIII, No. 58 Januari-April. Jakarta : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Uphoff, Norman. (1999). ‘Understanding Social Capital Learning from the Analysis and Experience of Participant’ dalam Social Capital (Dasgupta, P. and Serageldin, I, ed.) Washington, D.C. The World Bank. P. 215-252. By Liana 20 Juni 2009

PROFIL DARI UNODC

BAB I

PROFIL DARI UNODC

(United Nations Office On Drugs And Crime)

A. Seluk-beluk UNODC (United Nations Office On Drugs And Crime)

Dewasa ini, negara-negara di dunia tengah memperingati 100 tahun terbentuknya rezim global tentang pengawasan obat-obatan (drug control) di bawah naungan Konferensi Shanghai China yang berdiri semenjak 1909. Munculnya rezim itu merupakan suatu perkembangan dari bentuk kolonialisme Barat akan kebutuhan obat pengurang rasa sakit yang berasal dari kokain dan sejenisnya serta manifestasinya terhadap sosio-ekonomi masyarakat yang merupakan 'korban' penjajahan dan perdagangan kokain dan narkotika, seperti yang sekarang ini sedang pesatnya berkembang di negara-negara Barat. Khususnya kolombia yang menjadi sentral produksi kokain.

Manifestasi yang paling jelas terlihat dan berdampak buruk adalah meningkatnya masyarakat dunia akan penyalahgunaan kokain dan opiat (klasifikasi dari turunan opium, seperti heroin, morfin, dan candu) serta timbulnya perdagangan gelap kokain dan sejenisnya karena merupakan pasar yang sangat lucrative (menggiurkan) dengan keuntungan finansial. Oleh sebab itu, muncul kesadaran dunia untuk mengelola dan mengawasi perdagangan kokain dan zat terlarang lainnya, untuk kepentingan medis dan pengetahuan, bukan untuk kepentingan rekreasi pribadi yang diprakarsai Konferensi Shanghai China.[1]

Selanjutnya, secara perlahan pengawasan obat-obatan mulai tertuang dalam perjanjian-perjanjian internasional yang berawal dari Konvensi Den Hag (1912). Perlahan juga perjanjian-perjanjian pengawasan obat-obatan, khususnya narkotika mulai di-broker (dikembangkan) organisasi internasional, seperti Liga Bangsa-Bangsa (LBB) setelah Perang Dunia pertama dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia kedua.

Saat ini terdapat tiga perjanjian internasional yang berada di bawah naungan PBB dan ditaati negara-negara anggota PBB, yakni Single Convention on Narcotic Drugs (1961 yang diamendemen dengan Protokol 1972), UN Convention on Psychotropic Substances (1971), dan UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (1988). Ketiga konvensi internasional tersebut merupakan dasar hukum internasional dari rejim pengawasan obat-obatan internasional yang, antara lain mengatur dan mengawasi perdagangan legal narkotika, psikotropika dan terakhir prekursor, yakni zat-zat kimia yang dapat digunakan untuk memproduksi narkotika dan psikotropika. Tidak luput pula sejak 1960-an terbentuk lembaga internasional yang disebut United Nations Office on Drugs and Crime atau disingkat UNODC dan International Narcotics Control Board (INCB) yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan ketiga konvensi dimaksud.[2]

Ketika melihat lebih jauh lagi hasil yang telah dicapai berdasarkan laporan tahunan Kantor PBB untuk Obat-Obatan dan Kejahatan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) disebutkan bahwa produksi opium global telah turun 78% antara periode 1906/1907 dan 2007. Hal itu juga menunjukkan bahwa rezim pengawasan obat-obatan global berhasil menahan (contain) masalah narkoba terhadap 0,6% dari seluruh populasi dewasa dunia (umur 15-64 tahun), yakni sebesar 25 juta orang. Bila dibandingkan dengan produksi tembakau yang tidak diawasi, narkoba 'hanya' merenggut sebanyak 200.000 nyawa per tahun dan tembakau sebanyak 5 juta. Argumen itu menunjukkan bahwa eksistensi sistem pengawasan global dapat 'menahan' laju pertumbuhan penyalahgunaan narkoba.[3]

Selain itu, argumen lain menunjukkan bahwa rezim pengawasan global juga mendapat dukungan (universal adherence) yang cukup berarti dari negara-negara anggota PBB. Konvensi PBB mengenai narkoba (2002) dan telah diratifikasi 186 negara sebesar 96% dari total 192 negara-negara anggota PBB. Konvensi PBB mengenai psikotropika (2003) telah diratifikasi 183 negara dan Konvensi PBB mengenai pengedaran gelap narkoba dan psikotropika (2003) juga telah diratifikasi 182 negara.[4] Tunduknya negara-negara terhadap ketiga instrumen internasional memperlihatkan suatu sisi ketaatan yang signifikan terhadap instrumen-instrumen global lainnya. Salah satunya adalah Kolombia, dimana negara tersebut memproduksi kokain dalam jumlah besar di dunia, merupakan salah satu negara anggota PBB yang ikut serta meratifikasi ketiga instrumen tersebut, ketimbang dengan instrumen internasional lainnya, antara lain terkait dengan masalah terorisme ataupun nuklir. Terhadap masalah narkoba Kolombia telah melengkapi kewajiban internasionalnya, walaupun masalah pelaksanaan atau implementasi terhadap ketiga instrumen narkoba tersebut Kolombia belum sepenuhnya dijalankan, seperti mengkriminalisasikan diversifikasi prekursor.

Namun, di balik kesuksesan dalam upaya containment terhadap suplai kokain dan sejenis narkoba lainnya, serta tingginya tingkat kepatuhan negara-negara terhadap konvensi-konvensi PBB terkait dengan pengawasan obat-obatan, UNODC menilai, terdapat lima unintended consequences dari kebijakan containment yang dijalankan.

Pertama, masih banyaknya sindikat kejahatan ataupun kejahatan terorganisir yang tergiur untuk mengendalikan pasar gelap obat-obatan terlarang. Kedua, terjadinya policy displacement dalam masalah kokain dan sejenis narkoba lainnya, di mana kebijakan publik lebih banyak terarah pada public security ketimbang public health. Contoh kedua erat sekali dengan pemahaman di negara-negara berkembang, seperti Kolombia yang melihat masalah kokain sebagai masalah penegakan hukum ketimbang masalah kesehatan.

Ketiga, terjadinya geographical displacement yang diakibatkan efek balon, ketika upaya containment di satu wilayah dapat menyebabkan pembengkakan pada wilayah lain. Sebagai contoh, penurunan penanaman gelap di wilayah Segitiga Emas mengakibatkan peningkatan penanaman gelap di Golden Crescent (wilayah Bulan Sabit Emas). Keempat, terjadinya substance displacement dengan perubahan, baik dari sisi suplai maupun permintaan di mana suatu zat yang di-contain akan berpindah ke zat lain yang memiliki psikoaktif efek yang sama dan tidak secara ketat diawasi ataupun sulit diawasi seperti penyalahgunaan kokain yang berpindah dengan menggunakan amfetamin. Kelima, permasalahan negara dalam menghadapi penyalahgunaan obat-obatan. Hal itu terkait erat dengan upaya negara untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan obat-obatan.

Jika dilihat dari argumentasi UNODC dengan mempertimbangkan aspek suplai dan permintaan, tiga permasalahan yang disebutkan sebelumnya, seperti masalah pasar gelap kokain dan sejenis narkoba lainnya,, substance displacement dan geographical displacement merupakan permasalahan kokain yang bisa ditanggulangi melalui pendekatan pengurangan suplai atau dikenal dengan supply reduction yang sarat dengan pendekatan penegakan hukum. Masalah policy displacement dan masalah penanggulangan penyalahgunaan kokain merupakan masalah yang bisa ditanggulangi melalui pendekatan pengurangan permintaan, atau lazim dikenal dengan demand reduction, seperti pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi. Namun, perlu disadari ketiga konvensi internasional terkait dengan pengawasan obat-obatan lebih banyak menekankan pada aspek supply reduction, sedangkan masalah demand reduction merupakan tanggung jawab dari tiap-tiap negara.

Perlu dicatat bahwa di dalam sistem PBB sendiri sudah diupayakan untuk mengarusutamakan pendekatan demand reduction yang dimulai dengan munculnya istilah comprehensive multidisciplinary outline (CMO) yang disahkan pada Konferensi Internasional Penyalahgunaan Narkoba dan Pengedaran Gelap pada 1987. CMO itu sendiri merupakan gagasan untuk mengintegrasikan supply reduction dan demand reduction sebagai suatu pendekatan yang komprehensif dan berimbang. Lebih lanjut lagi, pada 1998 telah dikeluarkan Guiding Principles on Drug Demand Reduction yang disahkan sesi khusus sidang majelis umum PBB, yang juga menekankan pada pendekatan komprehensif dan berimbang serta memajukan isu demand reduction sebagai upaya untuk mencegah, mengobati, merehabilitasi, serta mencegah dampak buruk terhadap kesehatan dan sosial dari penyalahgunaan kokain. Guiding principles itulah yang sampai sekarang merupakan dasar bagi negara-negara anggota PBB untuk melaksanakan program dan strategi demand reduction nasionalnya salah satunya adalah Kolombia.

Namun, setelah 10 tahun disahkannya guiding principles namun pada kenyataannya demand reduction belum mendapat perhatian yang layak. UNODC menilai bahwa hal itu disebabkan karena guiding principles tidak mengikat, seperti ketiga konvensi internasional yang terkait dengan pengawasan narkoba dan kecenderungan negara-negara untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban traktatnya saja. Selain itu, pada saat ketiga konvensi dibentuk, masalah kesehatan belum mencapai taraf yang memprihatinkan, seperti sekarang ini baik dengan adanya HIV/AIDS maupun penyakit menular lainnya dan keterkaitannya dengan penyalahgunaan obat-obatan. Hal itulah yang mendasari pemikiran UNODC agar masalah kokain dan jenis narkoba lainnya, dikembalikan pada fitrahnya, yakni sebagai masalah kesehatan publik. Dalam hal ini, maka UNODC menawarkan suatu pendekatan komprehensif dengan melaksanakan program supply reduction dan demand reduction secara bersamaan, yakni pertama, menegakkan hukum dengan tetap mengacu pada ketiga konvensi kedua, mencegah penyalahgunaan obat-obatan, ketiga, mengobati dan rehabilitasi penyalah guna obat-obatan, dan keempat, mengurangi dampak buruk akibat dari penyalahgunaan obat-obatan pada komunitas berisiko terbatas yang berujung pada kebijakan abstinensi.

Bila dilihat kembali, yang ditawarkan UNODC tidak lain adalah hal yang sama dan pernah dikumandangkan CMO (1987) serta guiding principles (1998). Hanya kali ini UNODC merangkai pendekatan berimbang dengan pendekatan yang mengedepankan aspek kesehatan publik serta aspek hak asasi manusia untuk mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan. Hal itu dilihat dari pendekatan UNODC untuk menengarai pengobatan dan rehabilitasi penyalah guna narkoba sebagai upaya yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak buruk akibat dari penyalah guna obat-obatan. Konsekuensinya muncul paradigma baru, yakni dengan melihat penyalah guna obat-obatan sebagai korban (victim) yang membutuhkan perawatan serta munculnya pendekatan-pendekatan baru yang masih kontroversial di percaturan dunia internasional, seperti harm reduction yang antara lain menyangkut langkah pemberian jarum suntik bersih agar penyalah guna narkoba tidak menggunakan jarum suntik yang terkontaminasi virus HIV/AIDS, substitution treatment dengan menggantikan pola penyuntikan dengan zat-zat psikoaktif lain melalui cara oral dan distribusi kondom dalam upaya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS di kalangan perilaku seks bebas.

Kolombia, sebagai salah satu anggota PBB, tentunya harus menghormati kebijakan yang telah disepakati. Hanya secara bijaksana tentunya dan juga harus mengkontekstualisasikan dengan nilai/norma yang berlaku di Kolombia, sehingga kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan selalu melihat kepentingan manusia yang harus berujung pada berubahnya perilaku manusia itu (pecandu). Jadi singkatnya, jika saran kebijakan UNODC diimplementasikan, tolok ukur yang utama adalah memanusiakan pecandu di Kolombia.

B. Peran UNODC di Tengah Peredaran Kokain di Kolombia

UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime pada akhir tahun 2008, memberikan gambaran kondisi di dunia saat ini, sangat banyak kejahatan dan kasus pencucian uang. Sangat banyak orang dipenjara. Sangat sedikit orang mengikuti pelayanan kesehatan, sangat sedikit sumber-sumber untuk pencegahan, terapi, dan rehabilitasi. Sangat banyak perhatian dan sumber-sumber dikerahkan untuk upaya pemberantasan tumbuhan kokain dan jenis narkoba lainnya, tetapi sangat sedikit upaya untuk menanggulangi kemiskinan yang merupakan akar dari semua permasalahan.

Di seluruh dunia, laju pertumbuhan permasalahan kokain dan jenis narkoba lainnya, baik penyalahgunaan maupun pengedaran gelap dapat ditahan, tetapi di Kolombia justru menunjukkan gejala terus meningkat tajam. Fakta tersebut jelas menunjukkan betapa ketinggalan dan tidak berhasilnya upaya penanggulangan bahaya narkoba di Kolombia jika dibandingkan dengan upaya yang sama di seluruh dunia pada umumnya, dan di negara-negara tetangga khususnya.

Hasil Survei UNODC dan dibantu oleh Badan Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkoba Kolobia, pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Seluruh Kolombia, tahun 2006, yang diselenggarakan oleh menyimpulkan bahwa 48% dari pelajar SLTP, SLTA, dan mahasiswa perguruan tinggi/akademi yang dijadikan responden penelitian (73.842 siswa dan mahasiswa dari SLTP, SLTA, akademi/ perguruan tinggi dari 33 provinsi di seluruh Kolombia), mengaku pernah menyalahgunakan kokain dan jenis narkoba lainnya, atau tingkat prevalensi penyalahgunaan untuk kategori pernah dan 15% untuk kategori pernah memakai dalam satu tahun terakhir. Bila dibandingkan dengan hasil Survei UNODCdan Badan Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di seluruh Kolombia tahun 2003, prevalensi penyalahgunaan narkoba adalah sebesar 23,9%, terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun (2003-2007).[5]

Hasil survei nasional 2006 lebih jauh menunjukkan sekitar 54% penyalah guna adalah siswa SLTA dan lebih dari separuh mahasiswa akademi/PT mengaku pernah memakai kokain dalam setahun terakhir. Sekitar 15% sampai 25% penyalah guna narkoba di semua jenjang pendidikan mengaku memakai ekstasi dan sabu. Pemakai sabu meningkat sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Sekitar 17% penyalah guna di semua jenjang pendidikan menggunakan heroin dan atau morfin. Sekitar 44%-54% mengaku menggunakan kokain, LSD, ketamin, dan yaba. Empat dari 10 pelajar dan mahasiswa penyalah guna mulai menggunakan narkoba pada usia satu tahun lebih muda.[6]

Kokain merupakan jenis narkoba yang paling banyak digunakan pertama kali terutama di Kolombia. Hal tersebut dikarenakan negara itu penghasil kokain nomor satu di dunia. Lima belas persen sampai 25% pelajar dan mahasiswa mengaku pernah menggunakan kokain dengan jarum suntik. Angka ini hampir merata di seluruh Kolombia dan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Hanya 48% dari penyalah guna narkoba yang mengaku pernah mengikuti terapi dan rehabilitasi. Sebanyak 80% dari semua pelajar dan mahasiswa yang dijadikan responden penelitian mengaku pernah terpapar (exposed) promosi pencegahan narkoba dan 75% di antaranya mengaku memahami pesan promosi pencegahan tersebut (2007).[7] Sementara itu, angka-angka tentang tahanan dan narapidana menunjukkan bahwa proporsi tahanan dan narapidana narkoba meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, 28,71% dari 112.744 tahanan dan narapidana di seluruh Kolombia adalah tahanan dan narapidana kokain dan jenis narkoba lainnya, jauh melampaui proporsi tahanan dan narapidana pelaku tindak kejahatan lainnya (pencurian 12,34%, pembunuhan 7,2%, perjudian 3,82%, dan penganiayaan 3,61%, pelanggaran ketertiban 2,66% lain-lain 41,67%).[8]

Angka-angka ini menunjukkan, proporsi tahanan dan narapidana narkoba bukan saja paling tinggi, jauh melampaui bahkan beberapa kali lipat dari proporsi tahanan dan narapidana tindak kejahatan lainnya yang proporsinya tinggi (pencurian, pembunuhan, perjudian, penganiayaan, dan pelanggaran ketertiban), tetapi juga paling tinggi peningkatan per tahunnya. Proporsi tahanan dan narapidana narkoba tahun 2005 sebesar 24%, tahun 2006 meningkat menjadi 28,71%, atau sebesar hampir 5% dalam satu tahun.[9] Kalau gelagat itu berlangsung terus seperti itu, rumah tahanan dan penjara yang ada akan penuh dengan tahanan dan narapidana narkoba.

Fakta lainnya yang sangat memprihatinkan adalah maraknya pengedaran gelap kokain di dalam rumah tahanan dan LP, sehingga LP seolah-olah telah berfungsi sebagai lembaga tempat memasyarakatkan (socializing) pengedaran dan penyalahgunaan narkoba. Lebih memprihatinkan lagi, adanya penghuni LP yang telah divonis hukuman mati, namun dapat dengan leluasa mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara, sebagaimana telah diutarakan dalam tulisan sebelumnya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan kepada kita semua bahwa: Pelaku dan korban penyalahgunaan narkoba adalah remaja dan pemuda (pelajar SLTP, SLTA, dan mahasiswa perguruan tinggi), yang merupakan aset dan penentu masa depan bangsa dan negara. Karena itu terhadap mereka (sesuai dengan hak asasinya) seharusnya dilakukan perlindungan dan penyelamatan, bukan malahan memenjarakan para remaja dan pemuda ini.Proporsi tahanan dan narapidana kokain bukan saja tinggi, tetapi juga meningkat tajam, sehingga semua rumah tahanan dan penjara yang ada akan penuh dengan tahanan dan narapidana kokain dan jenis narkoba lainnya. Dengan demikian, semua fasilitas rumah tahanan dan penjara yang ada, yang sudah overcapacity akan makin sesak, dan pasti akan menambah beban APBN Kolombia. Pemenjaraan penyalah guna kokain dan jenis narkoba lainnya di Kolombia, apalagi bila dibaurkan dengan napi lainnya, tentu akan menularkan penyalahgunaan dan ketergantungan kokain dan jenis narkoba lainnya kepada napi yang lain, sehingga menjadikan LP sebagai tempat yang nyaman untuk perdagangan gelap kokain dan narkoba. Sehingga di sini peran UNODC dalam mengawasi pengedar dan pengguna kokain sangat dibutuhkan.

C. Kegiatan UNODC (United Nations Office On Drugs And Crime)

Kejahatan transnasional, khususnya kejahatan narkotika berkembang sangat pesat dalam beberapa dekade ini. Penggunaan dan peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang berkembang dengan pesat. Hal ini membuat resah semua negara di dunia dan menimbulkan suatu masalah bagi setiap negara. Oleh karena itu terbentuklah United Nations Office On Drugs And Crime (UNODC) internasional yang berperan untuk memberantas peredaran narkotika, sehingga membantu negara-negara di dunia dalam memerangi kejahatan narkotika. UNODC bekerjasama dengan organisasi-ordanisasi internasional seperti Policy Officer and Assistant to Dutch Aids Ambassador-Health, Gender and Civil Society Departement, Global Coordinator HIV/AIDS, yang bersama-sama bergerak dalam bidang pencegahan, rehabilitasi HIV/AIDS, serta pecandu narkotika. Kerjasama antara UNODC tersebut terus terjalin erat, dikarenakan proses pencegahan, rehabilisasi dari ketergantungan zat terlarang seperti kokain dan narkotika bagi pengguna dan pengedar di beberapa negara dapat diselesaikan dengan mudah, selain itu UNODC bekerja untuk menurunkan tingkat kriminalitas, yang disebabkan karena dampak peredaran kokain serta narkotika.

Salah satu kegiatan UNODC untuk memerangi penyalahgunaan narkoba dan tindak kejahatan yaitu bekerjasama dengan para atelit serta tokoh masyarakat dunia, untuk dijadikan jurubicara UNODC atau Badan PBB perihal masalah Narkotika dan Kriminalitas, sehingga diharapkan anjuran dan penjelasannya dapat diterapkan bahkan diaplikasikan oleh masyarakat internasional. Karena dengan adanya figur masyarakat yang dijadikan sebagai juru bicara kampanye, maka diharapkan penggunaan zat terlarang seperti kokain dapat dicegah, atau bahkan dapat menggugah mereka untuk berubah dan mencoba sesuatu yang bermanfaat. Salah satu kampanye yang pernah dilakukan adalah mengenai "Value Yourself, Make Healthy Choices" yang dipelopori oleh seorang Perenang Austria, yang juga peraih medali emas Olimpiade yaitu Markus Rogan, yang juga terpilih menjadi jurubicara UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime/ Badan PBB untuk Narkoba dan Kriminalitas) tahun 2005.[10]

Dengan diadakannya kegiatan serupa di beberapa negara, maka penggunaan zat terlarang tersebut dapat ditekan. Sebab, penggunanya kebanyakan adalah kalangan remaja usia sekolah, yang mencoba mendekati nikotin sampai kokain karena dengan mencoba zat terlarang itu, mereka akan mendapatkan kesenangan sementara, namun mereka akan merasakan kesengsaraan karena ketagihan narkoba tanpa ada arti apa-apa. Mereka hanya akan menemui kesulitan dalam hidupnya yang justru akan menenggelamkan masa depannya. Dan penggunaan zat terlarang tersebut akan membawa dampak negatif yang semakin meluas, apabila tidak ada organisasi yang menangani serta melawan kejahatan peredaran kokain khususnya di Kolombia yang menjadi sentral produksi Kokain terbesar di dunia.[11] Oleh karenanya UNODC, berperan dan ikut campur tangan dalam melawan dan memberantas peredaran kokain dan sejenisnya di Kolombia. Sebab bila hal tersebut tidak dilakukan, justru akan menimbulkan kesejahteraan bagi para bandarnya karena hasil penjualannya memiliki nilai finansial yang tinggi. Ditambah lagi sebagian besar petani Kolombia menanam dan mengembangkan kokain untuk mencukupi kebutuhan perekonomiannya, baik dalam lahan skala besar maupun kecil di areal terpencil.

Kemajuan pembangunan alternatif (alternatif development) yang telah cukup berhasil dilaksanakan di berbagai negara khususnya di Kolombia, merupakan hasil pekerjaan penduduknya yang menggantungkan hidup dari menanam tanaman narkotika, seperti: Erythroxylon coca (kokain), atau Papaverum somniferatum (opium), Cannabis sativa (mariyuana, ganja). Pembangunan alternatif dimaksudkan untuk mendidik dan melatih penduduk setempat agar mengalihkan kebiasaan menanam tanaman narkotika menjadi tanaman-tanaman pertanian dan perkebunan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan adanya pembangunan alternatif tersebut, penduduk diajak untuk meningkatkan perekonomian melalui jalan yang benar dengan meningkatkan dan memanfaatkan potensi SDA yang ada, tanpa menimbulkan kerugian yang besar dari hasil keuntungan sesaat yang dianggap besar secara finansial saja.

Dengan penanaman kokain khususnya di Kolombia yang menjadi sentral produksi terbesar di dunia, maka akan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi para pengedar yang sasarannya justru yang masih berusia muda ataupun remaja sekolah yang berdampak nyata pada timbulnya kejahatan sosial lainnya, seperti pencurian, penyelundupan, konflik bersenjata, penculikan dan persengketaan sosial. Hal tersebut sesuai dengan laporan tahunan UNODC yang (United Nation Office on Drugs and Crime) dalam World Drugs Report 2006 yang mengemukakan bahwa di seluruh dunia terdapat sekitar 200 juta penyalahgunaan narkoba, dengan 162 juta di antaranya menyalahgunakan ganja; 32 juta ATS, 16 juta opium dan 13 juta kokain. Kokain merupakan narkoba yang paling banyak digunakan setelah ganja dan opium, dan diperdagangkan secara ilegal di seluruh dunia terutama di Kolombia. Produksi kokain dunia pada 2004 diperkirakan lebih dari 7.500 ton, sekitar 3.000 ton (40%) di antaranya diproduksi di Kolombia. Termasuk dalam 142 negara produsen kokain ilegal adalah Indonesia, Amerika Utara, Kolombia, Paraguay, Albania, Pakistan, dan Belanda.[12] Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Peningkatan Jumlah Penghabusan Kokain

Tahun

Jumlah Bubuk yang disita (kg)

Jumlah batang yang dimusnahkan (batang)

Luas tanaman yang dimusnahkan (ha)

2003

24.200,4

165.541

44

2004

8.494

214.914

115,7

2005

22.835

187.602

62,33

2006

11.718

1.019.307

289,64

2007

31.877

1.828.803

242,02

Jumlah

99.124,4

3.416.167

751,69

Kenaikan Rata-rata

56,8%

135%

117%

Sumber: Data diolah

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah penghapusan kokain dalam bentuk batang, jumlah bubuk per kilonya maupun luas tanam, setiap tahun dimulai dari tahun 2003 hingga 2007 terus mengalami peningkatan. Jumlah penghapusan bubuk per kilonya terbesar pada tahun 2007 yaitu 31,877 kg, sedangkan dalam bentuk batang berjumlah 1.828.803 batang dan luas tanam yang dimusnahkan sekitar 242,02 ha. Dengan jumlah keseluruhan kokain yang dimusnahkan dalam bentuk bubuk per kilogramnya 99.124,4 atau 56,8%, sedangkan dalam bentuk batang 3.416.167 atau 135% dan jumlah luas lahan yang dimusnahkan 751,69 atau 117%. Sesuai dengan data di atas, maka jumlah pengguna dan peredar setiap tahun mengalami peningkatan, yang berdampak pada jumlah penghapusan kokain yang semakin besar jumlahnhya. Sebenarnya, tidak hanya kokain saja yang menjadi polemik perkepanjangan di masyarakat khususnya pada dunia muda, namun ganja yang salah satu zat terlarang juga menjadi masalah timbulnya tindakan kejahatan.

Menurut laporan tahunan UNODC pada 2006 itu merupakan laporan yang pertama kalinya mengangkat permasalahan kokain dan menyimpulkan bahwa permasalahan kokain selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat internasional. Di beberapa negara seperti Kolombia, angka-angka yang menunjukkan jumlah sitaan kokain kering, jumlah kokain batang yang dihancurkan dan luas tanaman ilegal kokain yang dimusnahkan terus bertambah, namun sebaliknya peredaran dan penyelundupan kokain dan zat terlarang ke negara-negara Amerika, Eropa dan sebagian Asia juga meningkat. Hal tersebut disebabkan banyaknya penyelundup-penyelundup rahasia, yang menyelundupkan barangnya dalam skala kecil-kecil namun ke banyak bagian negara, sehingga proses penyelundupannya sulit diungkap. Dan pada umumnya, para penyalah guna narkoba (sekitar 75%) memasuki kebiasaan menyalahgunakan narkoba melalui konsumsi ganja, sebelum beralih ke kokain, sabu, putaw dan jenis-jenis narkoba lainnya.



[1] Chrisnayudhanto, Andhika. 100 Tahun Aksi Dunia Melawan Narkoba. http://www.slbdharmawanita-bengkulu.net/index.php?menu=news1&id1=7049, diakses tanggal 30 Mei 2009.

[2] Ibid.

[3] Ibid..

[4] Ibid.

[5] Anonim. http://www.politik.lipi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=32%3Alidya-christin-sinaga&catidhtml.diakses tanggal 30 Mei 2009.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Anonim, http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/, diakses tanggal 31 Mai 2009.

[10] “The Kaiser Daily HIV/AIDS Report” , http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=1408, diakses tanggal 31 Mai 2009

[11] Anonim, http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/, diakses tanggal 31 Mai 2009.

[12] Sianipar, togar. M., Pembangunan Alternatif bagi Penanam Ilegal Ganja di Provinsi NAD,http://www.mediaindonesia.com/webtorial/ycab_old/?ar_id.html, diakses tanggal 31 Mei 2009.

Daftar Blog Saya

  • webmediacenter.com | Webmedia Medan
    Fakta Penting: 85% Bisnis Berkembang Pesat Berkat Digital Marketing
    2 minggu yang lalu

Daftar Blog Saya

  • IlmuKomputer.Com Learning Network

Daftar Blog Saya

  • Website XL > Splash
  • Brainmatics - Home

Daftar Blog Saya

  • eUniversity

Daftar Blog Saya

  • IlmuKomputer.Com Learning Network

Daftar Blog Saya

  • RomiSatriaWahono.Net
    Big Data Trends 2018
    7 tahun yang lalu

Arsip Blog

  • ►  2010 (15)
    • ►  Januari (15)
  • ▼  2008 (20)
    • ►  Desember (1)
    • ▼  November (19)
      • The functioning of the Swedish food system from a ...
      • Lihatlah Mereka Tersenyum
      • Hari Ini Lebih Baik Dari Hari Kemarin
      • Pendidikan merupakan hal yang terpenting unt...
      • Plant Organization
      • Tanpa judul
      • Soil as a Growing Medium
      • Liana, Lahir di Wonosobo, 22 Pebruari 1989. Menye...
      • Horticulture in Context
      • Plant Cell Structure
      • Imaging the passage of a single hydrocarbon chain ...
      • Arabidopsis thaliana
      • Plant tissue culture
      • Greenland gambles on warmer, richer climate
      • Minerals yield signs of early plate tectonics
      • Cosmic-ray hot spots puzzle researchers
      • ot on the heels of speculation that cosmic rays ma...
      • Monbukagakusho
      • Hari Ini Hari Senin

Pengikut

 

Harapan Terindah Bak sakura yang Berguguran

Harapan  Terindah  Bak  sakura yang  Berguguran

Damainya Hati Dalam Mimpi Yang Terdalam

Damainya Hati  Dalam Mimpi  Yang Terdalam